PURA KEREBAN LANGIT


Pura Kereban Langit diperkirakan sudah ada sejak tahun 923 Caka atau tahun 1001 Masehi., Pura ini terletak di Desa Sading Kecamatan Mengwi. Pura ini dulunya diempon oleh Puri Mengwi dan sekarang pertanggungjawaban atas pura ini diserahkan ke Puri Sading, dimana jumlah pengempon pura ini hanya 4 KK.

Sejak terbentuknya Kerajaan Mengwiraja pada tahun 1634, di bawah pimpinan I Gusti Agung Putu yang mabhiseka menjadi seorang raja maka disebutlah beliau dengan gelar Cokorda Sakti Blambangan. Maka Desa Sading menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Mengwi. Dikarenakan terjadi pengembangan di keluarga Puri Mengwi, salah satunya adalah membangun Puri Sading bersama masyarakat disekitar sana dan Pura Kereban Langit menjadi milik Puri Sading sehingga beberapa warga disana diberikan tugas untuk mengempon pura tersebut.

Pura Kereban Langit  ini memiliki struktur bangunan yang unik, selain dihiasi dengan arca dan patung patung khas purbakala. Struktur pura juga cukup unik, karena pura ini berlokasi didalam sebuah goa yang memiliki kedalaman sekitar 6 meter dari tebing atas dan pada dasar goa yang berjenjang. Namun di tengah tengah atap goa tersebut berlubang sehingga sinar matahari dapat tembus masuk kedalam goa. Kondisi pura tersebutlah yang membuat pura ini dinamakan Pura Kereban Langit. Pura Kereban Langit dapat diartikan sebagai pura yang Beratapkan langit.

Didalam goa inilah terdapat Tirtha Selaka yang dicari ketika proses kelahiran Sri Masula Sri Masuli. Selain terdapat Tirtha Selaka, didalam pura yang memiliki bentuk memanjang ini terdapat beberapa Pelinggih, yaitu Pelinggih Ratu Gede, Pelinggih Ratu Made dan Pelinggih Ratu Ayu yang berada tepat di sebelah kanan pancoran Tirtha Selaka.

Untuk diluar goa atau Jaba Tengah terdapat dua pelinggih Padma yang biasanya pemedek melakukan pengelukan dengan bungkak nyuh gading di pelinggih ini. Sebelum melakukan penglukatan di pelinggih ini ada baiknya untuk melukat dulu di pancoran yang berada di sebelah selatan pura, dimana air di pancoran ini berasal dari pancoran Tirtha Selaka yang ada di dalam goa.

Untuk piodalan di Pura Kereban Langit ini jatuh pada Hari Buda Wage Wuku Ukir. Saat upacara piodalan biasanya dihaturkan upakara yang sederhana yakni berupa Sesayut Pengambean. Upacara piodalan biasanya dipuput oleh Jro Mangku, yang mana untuk memilih mangku di pura yang termasuk Pura Dang Khayangan ini berdasarkan pada garis keturunan.

Selain umat yang berasal dari Desa Sading, Sempidi dan Lukluk, umat juga datang dari berbagai daerah yang ada di seluruh Bali. Umat yang pedek tangkil ke pura ini biasanya mempunyai tujuan untuk melukat atau prosesi pembersihan diri, memohon kesembuhan dan juga memohon keturunan. 

Di Pura Kereban Langit ada sedikit perbedaan dengan pura pura yang terdapat di Bali pada umumnya. Perbedaan itu iyalah tidak diperkenankannya menggunakan genta/bajra dalam pelaksanaan yadnya di pura ini dengan maksud tidak menyamakan dengan yang berstana disini.  Karena menurut kepercayaan bahwa beliau yang berstana di pura tersebut adalah seorang Ida Pedanda yang identik dengan kemahirannya dalam penggunaan genta.





MITOLOGI PURA KEREBAN LANGIT

Ketika sebelum Sri Masula dan Sri Masuli lahir, ayah beliau memohon kehadapan Bhatara Tohlangkir (Gunung Agung), agar segera permaisurinya dapat memberikan keturunan.

Atas petunjuk Bhatara di Gunung Tohlangkir kepada Dalem, agar permaisurinya segera dicarikan Tirtha Selaka. Oleh sebab itu, diutuslah seorang Brahmana untuk menelusuri wilayah Pulau Bali agar bisa memdapatkan Titha salaka tersebut.

Ketika Brahmana itu telah sampai disekitar Desa Sading, kemudian menuju Pura Kereban Langit. Dalam pura tersebut terdapat seorang penjahat yang sedang bersembunyi karena dikejar kejar oleh masyarakat hingga masuk ke sebuah goa. Bertemulah sang Brahmana dengan penjahat itu di dalam goa tersebut.

Pada saat itu si penjahat ketakutan karena Brahmana tersebut disangka akan menangkap dan membunuh dirinya. Kemudian sang Brahmana menjelaskan kepada penjahat itu tujuan sang Brahmana ke sana untuk mencari Tirtha Selaka atas perintah Dalem. Tetapi sang Brahmana belum mengetahui dimana adanya Tirtha Selaka yang dimaksud.

Atas petunjuk si penjahat, diberitahulah tempatnya dan sang Brahmana mengambil Tirtha tersebut, yang mengakibatkan lahirnya Sri Masula dan Sri Masuli yang kembar itu.

PURA BESAKIH KARANGASEM - BALI


Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem , Bali , Indonesia . Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti , yaitu Dewa Brahma , Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.

Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.
Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.
Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga memengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.
Filosofi :
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekadar menjadi tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung . Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.
Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:



1. Sistem pengetahuan,
2. Peralatan hidup dan teknologi,
3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
4. Mata pencaharian hidup,
5. Sistem bahasa,
6. Religi dan upacara, dan
7. Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.
Objek penelitian :
Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.
Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir , punden berundak-undak, arca , yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih , gedong , maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu .
Sumber   : Wikipedia

PURA TAMAN AYUN

sumber : youtube
========================================================================

Pura Taman Ayun terletak di Desa Mengwi, Kabupaten Badung. Jaraknya kurang lebih 18km kearah Barat Laut Kota Denpasar. Pura ini termasuk salah satu pura yang terindah di Bali. Pura ini memiliki struktur bangunan khas Bali, yaitu berbentuk meru atau atap yang bertingkat-tingkat, juga dikelilingi oleh telaga (kolam). Kolam disini memiliki lebar hampir 10 meter. 

Kompleks Pura dibagi menjadi 3 halaman yang berbeda. Yang satu lebih tinggi dari yang lainnya yang melambangkan 3 alam yaitu; alam bawah (Bhur), alam tengah (Bvah), dan alam atas (Svah). Masing-masing halaman dihubungkan oleh pintu gerbang. Halaman ketiga merupakan halaman yang dianggap paling suci, karena aktifitas persembahyangan dilaksanakan disana dan di halaman ini pula beberapa meru dan bangunan suci lainnya berada disana.

Pura Kerajaan Taman Ayun Mengwi - Bali, Wisata, Liburan, Objek Wisata, Tempat Wisata Menarik, Pura, Tempat Suci, Mengwi, Taman Ayun, Badung, Bali

Pada mulanya, I Gusti Agung Putu membangun sebuah pura di utara Desa Mengwi untuk tempat pemujaan leluhurnya. Pura tersebut dinamakan Taman Genter. Ketika Mengwi telah berkembang menjadi sebuah kerajaan besar, I Gusti Agung Putu memindahkan Taman Genter ke arah timur dan memperluas bangunan tersebut. Pura yang telah diperluas tersebut diresmikan sebagai Pura Taman Ayun pada hari Selasa Kliwon-Medangsia bulan keempat tahun 1556 Saka.

Sampai sekarang, setiap hari Selasa Kliwon wuku Medangsia menurut pananggalan Saka. Halaman pertama disebut dengan Jaba yang bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya jembatan kolam dan pintu gerbang. Begitu masuk disana ada tugu kecil untuk menjaga pintu masuk dan disebelah kanannya terdapat bangunan luas (wantilan) dimana sering diadakan sabungan ayam saat upacara. Di halaman ini, juga terdapat tugu air mancur yang mengarah ke 9 arah mata angin. Sambil menuju ke halaman berikutnya, di sebelah kanan jalan terdapat sebuah komplek pura kecil dengan nama Pura Luhuring Purnama. Halaman ke dua, posisinya lebih tinggi dari halaman pertama untuk masuk ke halaman ini, pengunjung harus melewati pintu gerbang kedua. Begitu masuk, pandangan akan tertuju pada sebuah bangunan aling-aling Bale Pengubengan yang dihiasi dengan relief menggambarkan Dewata Nawa Sanga. Di sebelah timur halaman ini ada satu pura kecil disebut Pura Dalem Bekak, sedangkan di pojok sebelah barat terdapat sebuah Balai Kulkul menjulang tinggi. Halaman ketiga adalah yang tertinggi dan yang paling suci. Pintu gelung yang paling tengah akan dibuka disaat ada upacara, tempat keluar masuknya arca dan peralatan upacara lainnya. Sedangkan gerbang yang di kiri kanannya adalah untuk keluar masuk kegiatan sehari-hari di pura tersebut. 

SEJARAH PURA TAMAN AYUN


Berdasarkan bahasa Mengwi, pura yang sekarang biasa kita sebut Pura Taman Ayun ini, dahulunya ketika baru selesai disucikan pada tahun 1634M dinamakan Pura taman Ahyun. Taman Ahyun berasal dari kata Taman yang berarti kebun, dan kata Ahyun dari kata Hyun yang berarti keinginan Pura ini didirikan pada sebuah taman yang dikelilingi oleh kolam yang dapat memenuhi keinginan. Kata Hyun itulah yang berubah menjadi Ayun. Namun pengertian Ayun ini sedikit berbeda dari kata Hyun tersebut. Kata Ayun ini berarti indah, cantik. Jadi Taman Ayun berarti sebuah taman atau kebun yang indah dan cantik. 

Pura Taman Ayun ini dibangun pada abad ke-17 tepatnya tahun 1634 oleh raja pertama Kerajaan Mengwi, yang pada saat itu mempunyai nama lain "Mangapura", "Mangarajia", dan "Kawiyapura", Tjokorda Sakti Blambangan atau I Gusti Agung Putu. Beliau dibantu oleh arsitek yang keturunan Cina dari Banyuwangi yang bernama Ing Khang Ghoew juga sering disebut I Kaco. 


Halaman pura ditata sedemikian indah dan dikelilingi oleh telaga. Yang kemudian dipugar pada tahun 1937 yang dihiasi oleh meru-meru yang menjulang tinggi dan megah diperuntukan baik bagi leluhur kerajaan maupun bagi para dewa yang berstana di pura-pura lain di Bali. Pura Taman Ayun adalah Pura Keluarga bagi Kerajaan Mengwi. Awalnya, pura ini didirikan karena pura-pura yang saat itu tersedia jaraknya terlalu jauh untuk dijangkau oleh masyarakat Mengwi. Maka dari itu, Sang Raja mendirikan sebuah tempat pemujaan dengan beberapa bangunan sebagai penyawangan (simbol) daripada 9 pura utama yang ada di Bali, seperti Pura Besakih, Pura Ulundanu, Pura Batur, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan pura utama lainnya yang ada di Bali. Dengan lokasi yang ada di satu areal, Beliau berharap rakyat kerajaan tidak usah jauh-jauh jika ingin melakukan persembahyangan. 

FUNGSI PURA TAMAN AYUN

Pura Taman Ayun dibangun dengan tiga fungsi, yaitu :

1. Sebagai Pura penyawangan (Pengawatan) sehingga masyarakat Mengwi yang ingin sembahyang ke pura-pura besar seperti Pura Besakih, Pura Uluwatu, Pura Batur, Pura Batukaru, Ulundanu, dan lainnya, cukup datang ke Pura Taman Ayun ini.

2. Sebagai pemersatu dari masyarakat dengan beberapa garis keturunan yang sama-sama beribadah di tempat ini.

3. Pura ini memiliki fungsi ekonomi, karena kolam yang mengelilingi juga dipakai sebagai air irigasi untuk mengairi sawah-sawah disekitar pura.

Taman Ayun ini juga dipakai sebagai tempat berkumpulnya para anggota kerajaan. Keberadaan pura ini, oleh masyarakat dan pemerintah setempat dianjurkan ke The World Heritage Center atau UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) untuk dijadikan salah satu world heritage (warisan dunia).

Hasil gambar untuk PURA TAMAN AYUN

PURA ULUN DANU BERATAN

sumber : youtube

========================================================================

Hasil gambar untuk ulun danu beratanSejarah pendirian Pura Ulun Danu Beratan dapat dilacak pada salah satu kisah yang terekam dalam Lontar Babad Mengwi. Dalam babad tersebut dituturkan mengenai seorang bangsawan bernama I Gusti Agung Putu yang mengalami kekalahan perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng. Untuk bangkit dari kekalahan tersebut, I Gusti Agung Putu bertapa di puncak Gunung Mangu hingga memperoleh kekuatan dan pencerahan. Selesai dari pertapaannya, ia juga mendirikan istana Belayu (Bela Ayu), kemudian kembali berperang melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan memperoleh kemenangan. Setelah itu, I Gusti Agung Putu yang merupakan pendiri Kerajaan Mengwi ini mendirikan sebuah pura di tepi Danau Beratan yang kini dikenal sebagai Pura ulun Danu Beratan.

Dalam Lontar Babad Mengwi juga dikisahkan bahwa pendirian pura ini dilakukan kira-kira sebelum tahun 1556 Saka atau 1634 Masehi, atau sekitar satu tahun sebelum berdirinya Pura Taman Ayun, sebuah pura lain yang juga didirikan oleh I Gusti Agung Putu. Pendirian Pura Ulun Danu Beratan konon telah membuat masyhur Kerajaan Mengwi dan rajanya, sehingga I Gusti Agung Putu dijuluki “I Gusti Agung Sakti” oleh rakyatnya.

Meskipun dianggap sebagai tempat pemujaan kepada trimurti (Dewa Wisnu, Brahma, dan Siwa), namun sebetulnya pura ini semula merupakan tempat untuk memuja Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang merupakan simbol bagi kesuburan. Perkiraan ini merujuk pada kosmologi tentang lingga dan yoni, di mana Gunung Mangu (tempat bertapa I Gusti Agung Putu) dianggap sebagai lingga dan Danau Beratan sebagai yoni. Simbol-simbol lingga yoni secara nyata juga nampak pada beberapa bagian dalam kompleks pura ini. Simbol lingga-yoni merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Siwa dan Dewi Parwati.

Dugaan bahwa pura ini merupakan tempat pemujaan terhadap Siwa-Parwati makin menguat melihat fungsi pura ini sebagai pura subak, yakni pura yang disokong oleh organisasi sosial masyarakat Bali yang mengatur pembagian irigasi pertanian. Pura subak sendiri khusus dibuat untuk memohon kesuburan bagi pertanian. Para penganut Hindu yang bersembahyang di pura ini memuja dewi danau atau dalam bahasa setempat disebut dewi danu (disebut juga dewi air). Dewi danu ini kemungkinan menunjuk kepada sosok Parwati, istri Siwa yang merupakan simbol kesuburan. Di sini nampak bahwa aktivitas pertanian di sekitar danau tak hanya didukung oleh sistem pengirigasian yang baik, tetapi juga ditunjang oleh ritual agama yang kuat. Pura Ulun Danu Beratan memberikan gambaran yang cukup jelas bagaimana organisasi subak mengatur sistem irigasi pertanian dan sekaligus membangun sarana peribadatan untuk mengupayakan hasil panen yang melimpah.

Hasil gambar untuk ulun danu beratan

Selain menjadi situs bersejarah yang merekam perkembangan ajaran Hindu pada masa Kerajaan Mengwi, kompleks Pura Ulun Danu Beratan juga menyimpan artefak lain yang berasal dari zaman megalitik (sekitar 500 tahun sebelum Masehi). Di sebelah kiri halaman depan Pura Ulun Danu Beratan dapat disaksikan sebuah sarkofagus dan papan batu. Sarkofagus merupakan peti batu yang biasa difungsikan untuk menyimpan mayat (kubur batu), sementara papan batu yang terdapat di lokasi yang sama diperkirakan sebagai tempat pemujaan masyarakat prasejarah. Temuan ini menunjukkan bahwa tempat dibangunnya pura sebelumnya juga telah digunakan sebagai tempat ibadah oleh masyarakat arkais.

Pura ini dipelihara oleh empat “satakan” dari desa-desa di sekitar area Pura ini, yang terdiri dari: satakan Candi Kuning mewilayahi 5 bendesa adat, satakan Bangah mewilayahi 3 bendesa adat, satakan Antapan mewilayahi 4 bendesa adat, dan satakan Baturiti mewilayahi 6 bendesa adat.

Pura Ulun Danu Beratan terdiri atas lima kompleks Pura dan 1 buah Stupa. Diantaranya:

1. Pura Penataran Agung
Pura ini dapat dilihat setelah memasuki Candi Bentar menuju Beratan. Pura ini ditujukan untuk memuja Tri Purusha Siwa yaitu Siwa, Sadha Siwa dan Parama Siwa.

2. Pura Dalem Purwa
Dalam Pura Dalem Purwa terdapat tiga pelinggih utama yaitu Pelinggih Dalem Purwa sebagai tempat persemayaman Bhatari Durga dan Dewa Ludra yang dipuja sebagai sumber kemakmuran, Bale Murda Manik sebagai balai pemaruman dan Bale Panjang sebagai tempat meletakkan upakara. Pelinggih yang terdapat di Pura ini menghadap timur, berada di tepian danau Beratan sebelah selatan.

3. Pura Taman Beiji
Pura Taman Beiji ini difungsikan untuk upacara ngebejiang (menyucikan sarana upacara) dan memohon tirta (air). Tidak hanya itu Pura ini juga difungsikan sebagai tempat melasti oleh masyarakat sekitar. Letak Pura ini adalah di sisi timur Hotel Enjung Beji dan tidak dikelilingi oleh tembok.

4. Pura Lingga Petak
Pura Lingga Petak inilah yang sesungguhnya terpapar jelas dalam pecahan uang Rp 50.000,-Terdiri dari tiga tingkat yang di dalamnya terdapat sebuah sumur keramat yang menyimpan Tirta Ulun Danu. Tidak hanya itu, dalam Pura ini juga terdapat lingga yang berwarna putih. Diapit batu hitam dan merah. Pura ini diyakini sebagai sumber utama air dan kesuburan Danau Beratan. Ada dua pelinggih dalam Pura ini yaitu Pelinggih Meru Tumpang Solas yang menghadap ke arah selatan dan Pelinggih Meru Tumpang Telu, memiliki empat pintu yang menghadap empat arah mata angin.

5. Pura Prajapati
Terdapat pohon beringin besar sebagai penanda. Pura ini difungsikan sebagai istana Bhatari Durga. Pelinggih yang menghadap barat ini menjadi yang pertama ditemui sesaat setelah pengunjung melewati ticket box dan masuk ke area Danu Beratan.

6. Stupa Buddha
Tidak hanya berupa kompleks Pura, di Ulun Danu Beratan juga terdapat satu Stupa Budha. Stupa Budha disini menandakan adanya makna keselarasan dan harmoni beragama. Stupa ini menghadap selatan dan terletak di luar area utama kompleks Pura Ulun Danu Beratan.

Hasil gambar untuk ulun danu beratanPada hari-hari tertentu seperti misalnya Purnama, Tilem, Galungan maupun hari besar agama Hindu lainnya, seringkali diadakan persembahyangan bersama. Tidak hanya itu area Ulun Danu Beratan yang indah sering juga digunakan untuk lokasi prewedding yang mempesona. Bagi sahabat budaya yang berkunjung ke Bali, jangan lupa study budaya ke tempat ini karena banyak hal yang bisa dipelajari disini. Salam budaya.

CALONARANG "GESENG WARINGIN"

Hasil gambar untuk yogan ratu mas bagus

Walunateng Dirah atau Ni Walunateng disebut juga Ni Calonarang, seorang janda dengan kamampuan ilmu pengelakan, sudah terkenal di daerah Dirah. Jangankan manusia, para butha, wong samar, gamang, memedi dan sejenisnya tiada berani menandingi kemampuan pengeleakannya. Hal ini tiada lain karena telah menjadi kesayangan dan mendapat anugrah Dewi Durga.

Tiada rasa yang lebih dari hari ini. Serasa bunga bermekaran di taman, kembang merekah ikut merasakan gembira hati Ni Walunateng. Daerah Dirah adalah daerah yang tenteram, yadnya, persembahan tulus dihaturkan setiap hari. Alam pun memberikan hasil yang bergelimpahan.

Hati Ni Walu juga seirama. Sang buah hati, kebahagiaan seorang ibu, telah dipinang ke Lembah Tulis. Mpu Bahula telah menjadi menantu Ni Walunateng. Ciri sekarang si buah hati sudah mampu mandiri. Mungkin inilah saat yang telah ditunggu sejak lama. "tolong panggilkan anakku, bibi" demikian Ni Walunateng meminta kepada sisyanya.

"Oh, ibu, terimalah sembah sujud hamba. Engkau yang sangat hamba hormati" sembah bakti Ni Diah Ratna Mangali memberikan hormat kepada Ni Walunateng.
"Anakku, Diah Ratna Mengali, bunga hidup ibu, sembah sujudmu, ibu terima, berbahagialah engkau kebahagiaan ibu".

Tiada bahagia rasa seorang Ni Walunateng selain melihat senyum ceria sang pelita hati. Ini adalah anugrah terindah dari sang pemilik semesta. Ni Walunateng menceritakan tentang kebahagiaan yang ia rasakan kepada anaknya. Ia bercerita juga tentang bagaimana menjadi istri yang baik, agar rumah tangga menjadi rukun. Purana-Purana, Dharma Sastra, Ithiasa, kisah-kisah dalam Ramayana dan Mahabharata jadikan pedoman, bagaimana bertingkah menjadi putra yang suputra.

Segala yang ada di dalam hati telah tersampaikan. Namun ada satu. Satu lagi yang harus diberitahu. Hal ini tentang kehidupan dan kematian.

Ni Walunateng akan ke Kahyangan Dalem untuk melaksanakan Dhurga Sraya, menghaturkan puja yadnya kepada Dewi Durga. Untuk itu, dititipkanlah dua pusaka, dan jangan beritahu siapapun.
Lahir hidup mati, Uppeti, Stiti, Pralina. Ilmu pengelakan adalah Rwa Bhineda, dua hal yang harus ada. Di hari kajeng kliwon, seseorang membawa daksina, 17 ribu uang kepeng, canang 11 , tipat duang kelan dan arak berem. Saat tengah malam, berjalanlah ia ke kuburan, tepat di tempat pembakaran mayat, meminta anugerah kepada sang penguasa kuburan.

Sejatinya ilmu pengeleakan adalah ilmu kebebasan karena ilmu inilah yang akan menghantarkan kita menuju Brahma Loka, namun jangan sombong. Leak yang tidak dibenarkan adalah leak yang menyakiti orang tanpa dosa, leak yg penuh dengan kesombongan. Ilmu pengeleakan akan mampu menyakiti asal manusia salah. Itu untuk memberitahu bahwa ia telah salah. Kesombongan seseorang akan ilmu pengelakannya akan menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang sangat.

Demikian sambil menunggu kedatangan sang putra, Mpu Baradah bercerita pada dua orang abdinya.
Setelah memberi restu kepada Mpu Bahula, Mpu Baradah mengingatkan akan tugas, Mpu Bahula adalah seorang duta. Tujuannya adalah mendapatkan pusaka Ni Calonarang, Nircaya Lingga dan Niscaya Lingga. Dalam melaksanakan tugasnya, Mpu Bahula telah menikah dengan putri Ni Calonarang, Diah Ratna Mangali. Tentu hal ini akan memuluskan tugas untuk mendapatkan pusaka. Namun apa daya, hingga sekarang belum juga diketahui dimana pusaka itu tersimpan.
"bertemunya sasih desta dengan sasih sada, adalah waktu yang sangat tepat…" demikian Mpu Baradah berpetunjuk.

Dalam penantiannya, Mpu Bahula berbincang dengan Ratna Mangali tentang kehidupan dan kematian serta tujuan dari hidup dan mati. Ratna Mangali tanpa tersadar, telah memberitau tentang pusaka ibunya yang harus dirahasiakan. Segera saja Mpu Bahula ingin melihat seperti apa pusaka kehidupan dan kematian. Beralaskan cinta dan bakti pada suami, Diah Ratna Mangali memperlihatkan pusaka Nircaya Lingga dan Niscala Lingga. Namun, mpu bahula adalah seorang duta, mengemban tugas untuk mendapatkan pusaka Ni Calonarang, Nircaya Lingga pun berpindah tangan.

Sekembalinya Ni Walunateng dari tapa yoga, hal yang tidak biasa ia rasakan. Didapatkan Ratna Mangali menangis, dan Nircaya Lingga telah hilang. Kemarahan mulai merasuki setiap nadi Ni Walunateng, menantunya ternyata pendusta. Seraya menatap langit, ia tahu ini adalah penistaan, ia memanggil semua sisya dan buatlah penyakit di Lembah Tulis.

Seketika wabah melanda di Lembah Tulis, masyarakat terjangkit penyakit aneh. Secara tiba-tiba sakit kemudian meninggal. Mengetahui akan hal ini, segera Mpu Baradah menuju ke Dirah.

Burung gagak bersoak-soak, organ-organ manusia bergelantungan di sebuah carang kayu tua. Melewati kuburan, bau amis menusuk penciuman, perjalanan masih harus diteruskan. Mpu Baradah menapakkan kaki di Dirah ditemani dua orang abdi. Gelap gulita, ketakutan merasuk ke suasana saat itu. Tiba-tiba nampak seorang wanita tua samar wajah, Ni Walunateng mengetahui kedatangan Mpu Baradah.

Saling memberi hormat antara Mpu Baradah dengan Ni Walunateng, setelah sekian lama, betapa bahagia mereka bisa saling bertemu di waktu kali ini. Namun kenapa kita bertemu di malam kala ini..?
Mpu Baradah mempertanyakan keberadaan Ni Walunateng berada di kuburan di malam seperti ini. Dalam tatanan Surya Chandra, surya (matahari) diibaratkan laki-laki dan candra (bulan) adalah perempuan. Ni Walunateng berada di kuburan hanya untuk menikmati keindahan malam saat ini, betapa alam menciptakan sesuatu yang mempesona. Bagai bulan, ini adalah waktu yang tepat untuk muncul menampakkan diri. Sangat disayangkan kalau kita tidak merasakannya.

Dibalikkan pertanyaan, bukankah ketiadaan surya menandakan malam..?

Bercahayanya candra bukan karena mampu mengeluarkan cahaya, namun candra hanya memantulkan cahaya surya dan ini menandakan surya selalu hadir. Sepertinya kebanggaan yang berlebihan akan membuat surya terlalu membanggakan diri, 

Apakah salah jika cahaya candra menandakan malam memberikan rasa yang berbeda buat bumi..?

Sangat tidak salah, namun terang hanya temaram, jangan panas. Jika panas akan membuat masyarakat menderita dan itulah yang tidak diperbolehkan.

Keberadaan rwa bhineda di dunia ini haruslah berjalan beriringan. Ni Walunateng dalam menjalankan ilmu pengeleakannya memiliki swadarma untuk mem-prelina segala yang salah. Namun yang dilakukan adalah mem-prelina semuanya. Bukan hanya yang salah, yang tanpa salahpun terkena penyakit, itulah yang salah.

Perdebatan tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan, begitu dalam pikiran keduanya. Hingga adu kemampuan antara Mpu Baradah dengan Ni Walunateng terjadi. Sebagai sasaran adalah pohon beringin. Ni Walunateng menghanguskan pohon beringin dan Mpu Baradah menghidupkan seperti sedia kala. Sekarang, mpu baradah yang menghanguskan pohon beringin, namun apa daya ketika Ni Walunateng mencoba untuk menghidupkan pohon beringin, nircaya lingga telah dicuri, ia tak sanggup untuk menghidupkan kembali pohon beringin.

Merasa tak sanggup, Ni Walunateng menantang Mpu Baradah untuk adu kesaktian secara sesungguhnya. Sebagai mpu yang menjalankan dharma kesucian, bukan saatnya lagi untuk melakukan "siat peteng", maka diutuslah Patih Taskara Maguna untuk menghadapai Ni Walunateng Dirah.