PURA AGUNG KENTEL GUMI

sumber : youtube
========================================================================

Pura Kentel Gumi terletak di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Pura Agung Kentel Gumi didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Babad Bendesa Mas. Dalam lontar tersebut dinyatakan atas kehendak Mpu Kuturan didirikanlah Pura Penataran Agung Padang di Silayukti, Pura Goa Lawah, Pura Dasar Gelgel, Pura Klotok dan Pura Agung Kentel Gumi.

Related imageHal ini mengandung makna bahwa kehidupan di bumi akan tegak atau ajeg apabila dilakukan kesadaran rohani. Pura Silayukti di Padang, Karangasem itu adalah Asrama Mpu Kuturan. Fungsi asrama adalah untuk mendidik dan melatih umat mendapatkan pemahaman akan kerohanian.

"Hiranyagarbhah samavartatagre
Bhutasya jatah patireka asit,
Sa dadhara prthivim dyam utemam
Kasmai devaya havisa vidhema (Rgveda X.121.1) "
Maksudnya:
"Tuhan Yang Mahaesa yang menguasai planet ada dalam diri-Nya. Tuhan itu mahatunggal sebagai pencipta segala. Tuhanlah sebagai penyangga bumi dan langit, sebagai dewata tertinggi sumber kebahagiaan yang suci, kami persembahkan doa kebaktian dengan ketulusan hati." 

Menegakkan bumi dimaksudkan menegakkan kebenaran dengan perilaku mulia. Perilaku mulia menegakkan bumi ini diawali dengan meyakini bahwa Tuhanlah sebagai pencipta dan penyangga bumi dan langit. Tujuan Tuhan menciptakan bumi dan langit adalah sebagai wadah kehidupan semua makhluk terutama manusia untuk memperbaiki kualitas perilakunya. Mengawali perbaikan kualitas perilaku dengan meningkatkan pemujaan pada Tuhan dengan doa persembahan.

Image result for sejarah pura kentel gumi
Demikianlah Pura Kentel Gumi didirikan untuk menegakkan kualitas perilaku di bumi. Kentel Gumi sama dengan istilah dalam bahasa Bali yaitu enteg gumi yang maknanya tegaknya stabilitas keharmonisan hidup di bumi ini. Pura Goa Lawah adalah pura untuk mendapatkan pemahaman akan kedudukan dan fungsi samudera. Samudera kena sinar matahari berproses menjadi mendung. Mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh hutan yang tumbuh di gunung. Proses alam itulah yang menyebabkan terjadinya kesejahteraan. Karena itu Pura Goa Lawah disebut stana Tuhan sebagai Hyang Basuki atau Batara Telenging Segara. Basuki artinya rahayu atau selamat.

Sementara Pura Dasar Gelgel adalah tempat suci untuk mempersatukan umat berdasarkan kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan untuk bereksistensi sesuai dengan swadharma masing-masing. Pelinggih leluhur berbagai warga di Pura Dasar Gelgel untuk mengingatkan pada pemujaan roh suci leluhur (Dewa Pitara), bukan untuk membeda-bedakan harkat dan martabat manusia.

Pura Klotok adalah tempat memohon Tirtha Amerta Kamandalu (air suci kehidupan) sebagai puncak dari prosesi ritual melasti. Hal itulah sebagai simbol yang melukiskan jalannya kehidupan untuk mencapai Kentel Gumi atau tegaknya kehidupan. Itulah warisan zaman Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi. 

Dalam Lontar Purana Pura Agung Kental Gumi diceritrakan perjalanan seorang raja dari Tegal Suci Mekah menuju Bali atau Bangsul. Sampai di Desa Tusan, Klungkung, Raja berkehendak mendirikan pemujaan. Salah seorang pengikut Raja bernama Arya Kenceng ditugaskan mewujudkan kehendak sang Raja. Untuk itu maka didirikanlah Meru Tumpang 11, Padmasana, Meru Tumpang 9 stana Batara Maha Dewa, Meru Tumpang 7 stana Batara Segara, Meru Tumpang 5 stana Batara di Batur, Meru Tumpeng 3 stana Batara Ulun Danu dan pelinggih Basundhari Dasa.

Adanya nama Arya Kenceng dalam Lontar Purana Pura Agung Kentel Gumi sebagai pengikut Raja sangat besar kemungkinannya peristiwa itu terjadi abad ke-14 Masehi saat ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Nama Arya Kenceng atau Arya Ken Jeng menurut Lontar Babad Tabanan adalah seorang kesatria dari Kauripan (Kediri, Jawa Timur) yang bersaudara dengan Arya Dharma, Arya Sentong, Arya Kuta Waringin, dan Arya Belog. Adanya nama tempat Tegal Suci Mekah kemungkinan nama Pulau Jawa pada abad ke-14 Masehi itu. Jadi, Pura Kentel Gumi mungkin diperluas saat raja keturunan Raja Sri Kresna Kepakisan berkuasa di Bali.

Setelah pemerintahan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten berakhir atas ekspedisi Gajah Mada ke Bali maka yang memegang tampuk pemerintahan di Bali adalah keturunan Sri Kresna Kepakisan. Kekuasaan raja dari Jawa ini baru stabil atau kentel saat berpusat di Klungkung. Pada mulanya pusat kerajaan di Samprangan, Gianyar terus pindah ke Gegel. Dari Gelgel lanjut pindah ke Semarapura atau Klungkung. Perpindahan pusat kerajaan ini menandakan keadaan kerajaan tidak stabil karena banyak gangguan.

Setelah pusat kerajaan berada di Klungkung inilah keadaan kerajaan baru stabil artinya keadaan gumi Bali menjadi kentel. Kemungkinan istilah enteg gumine dalam bahasa Bali yang sangat populer sampai sekarang di Bali berasal dari zaman stabilnya keadaan Bali di abad ke-14 Masehi itu. Keadaan stabil itu mungkin baru dapat diwujudkan setelah adanya perhatian pada Pura Agung Kentel Gumi yang memang sudah ada sejak zaman Mpu Kuturan.

Pura Kentel Gumi ini di bagian jeroan pura ada tiga kelompok pura. Ada kelompok Pura Agung Kentel Gumi, kelompok Pura Maspahit, dan kelompok Pura Masceti. Seluruh kelompok pura inilah yang disebut Pura Agung Kentel Gumi. Pada kelompok Pura Kentel Gumi ini pelinggih yang paling utama adalah Meru Tumpang 11 sebagai stana Bhatara Sakti Kentel Gumi yaitu Tuhan yang dipuja sebagai pemberi stabilitas kerajaan dalam arti luas. Pelinggih Pesamuan Agung berbentuk Meru Tumpang 11 sebagai pesamuan Bhatara di sebelah pura di Pura Agung Kentel Gumi.

Balai Mudra Manik sebagai tempat untuk menstanakan pralingga dari sebelah pura di sekitar Pura Agung Kentel Gumi. Ada pelinggih Sanggar Agung Rong Telu stana Mpu Tri Bhuwana yaitu pemujaan Tuhan sebagai Parama Siwa, Sadha Siwa dan Siwa. Ada pelinggih Manjangan Saluwang sebagai stana rohani Mpu Kuturan. Ada pelinggih Catur Muka sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Di kelompok Pura Kentel Gumi ini ada berbagai pelinggih pesimpangan. Ada Pesimpangan Jambu Dwipa sebagai pelinggih Bhatara Maspahit. Pesimpangan Bhatara Ulun Danu, Bhatara di Batur. Ada pesimpangan Bhatara Gunung Agung berbentuk pelinggih Meru Tumpang 9. Pesimpangan Ratu Segara dan banyak lagi pesimpangan sebagaimana layaknya Pura Kahyangan Jagat umumnya. Pada kelompok Pura Maspahit ada pelinggih Gedong Bata dengan arca manjangan untuk mengingatkan kedatangan Mpu Kuturan ke Bali.

Selebihnya sebagai pelinggih pesimpangan. Demikian juga kelompok Pura Masceti ada Pesimpangan Dewa Sadha Siwa dan Siwa, Gunung Agung, Bhatara Segara dan Ngerurah dan Kemulan Bumi. Upacara Piodalannya setiap Weraspati Manis Wuku Dungulan atau Umanis Galungan. Pura Kentel Gumi merupakan salah satu bagian terpenting dari keberadaan pura-pura di Bali. Pura yang berlokasi di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung itu memiliki peran strategis untuk mengamankan jagat Bali dari berbagai marabahaya.

Dengan posisinya yang berada di tengah-tengah (pusaran), Pura Kentel Gumi selain merupakan pusat dari Pura-pura yang ada di Bali, bahkan Jawa, juga merupakan sumber penghidupan masyarakat Bali. Setiap enam bulan sekali, ribuan umat Hindu pedek tangkil memadati Pura Kentel Gumi. Bukan saja umat pengempon/pengeling pura yang berasal dari Banjarangkan dan sekitarnya, melainkan dari seluruh pelosok Bali. Mereka berduyun-duyun datang ke pura yang pada zamannya (abad XI) dikuasai para raja Bali itu, untuk bersembahyang serangkaian dengan piodalan.

Piodalan di pura ini berlangsung pada Weraspati Umanis Dunggulan, setiap 210 hari sekali. Bukti bahwa Pura Kentel Gumi merupakan pusat pura dan sumber penghidupan masyarakat Bali, terlihat dari keberadaan pelinggih-pelinggih atau pura-pura besar yang ada di Bali dan Jawa yang dibangun di pura tersebut. Makanya Kentel Gumi diartikan sebagai pusat atau sumber dari segalanya. Pura Kentel Gumi tetap tidak dapat dipisahkan dari satu-kesatuan Tri Kahyangan (Besakih, Batur dan Kentel Gumi). Setiap desa pakraman di Bali selalu memiliki Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Begitu juga dalam konteks Bali, Pura Kentel Gumi merupakan Pusehnya, Besakih merupakan Dalem dan Batur sebagai Pura Desanya.

Image result for sejarah pura kentel gumi
(Pura MaosPahit)

Pura yang berdiri di atas lahan seluas lima hektar itu terdiri atas dua bagian. Awalnya, pura tersebut hanya berupa gedong dan bale pesamuan yang berada di bagian Maos (Mas) Pahit. Yang pertama kali bermukim di bagian itu adalah Mpu Kuturan (abad XI). Mpu Kuturan bermukim dan kemudian membentuk sekaligus mengembangkan berbagai peraturan. Entah kenapa, pada bagian itu Mpu Kuturan tidak melengkapi pura tersebut dengan Padmasana. Baru pada zaman Raja Kresna Kepakisan pura itu dilengkapi dengan Padmasari dengan lokasi di bagian selatan Maos Pahit. Juga dilengkapi dengan Pura Sadha, Gunung Agung, Besakih dan lainnya sebagaimana disebutkan di atas.

Meski demikian, kedua lokasi itu selalu bersatu padu dalam setiap pelaksanaan upacara. Setelah itu, seiring dengan perkembangannya, keberadaan pura itu dikuasai oleh raja-raja yang saat itu berkuasa di Bali. Terutama Kerajaan Klungkung (pergeseran Kerajaan Gelgel) sebagai pusat kerajaan di Bali pada zaman itu. Setelah Kerajaan Klungkung runtuh pada tahun 1677 (pertengahan abad XVII), kekuasaan di Bali selanjutnya terpecah belah. Tidak lagi terletak di bawah satu pimpinan (Kerajaan Klungkung). Begitu juga dengan Pura Kentel Gumi, bukan hanya dikuasai Raja Klungkung, tetapi juga pernah dikuasai Raja Gianyar. 

Sumanggen adalah keunikan lain Pura Kentel Gumi, keberadaan sebuah bangunan sumanggen biasanya terdapat di puri yang dimanfaatkan untuk upacara pitra yadnya maupun manusa yadnya. Keberadaan sumanggen itu sendiri berawal dari seorang putri Raja Klungkung yang sakit. Sang putri menjalani pengobatan pada Dukuh Suladri di Tamanbali, Bangli. Selama dalam pengobatan, sang putri menetap di Bangli. Hingga akhirnya jatuh cinta dengan seorang putra Dukuh Suladri. Lama menjalin asmara, putri raja dan putra dukuh dinikahkan.

Sebagaimana layaknya suami-istri umumnya, putri dan putra dukuh silih berganti mengunjungi mertua masing-masing. Hingga suatu saat, dalam perjalanan menuju Bangli (persisnya di depan Pura Kentel Gumi) sang putri mengalami keguguran. Mayat sang bayi kemudian disemayamkan di sekitar pura tersebut (tentu dengan kondisi belum sebagus sekarang). Keberadaan sumanggen itu kemungkinan ada kaitannya dengan konsep tata ruang puri. Mengingat, Pura Kentel Gumi dikuasai oleh raja-raja yang berkuasa.

Sebagaimana konsep puri, setiap areal puri harus dilengkapi dengan bangunan sumanggen. ”Terkait keberadaan sumanggen di Kentel Gumi saat ini, fungsinya sebagai tempat upakara. Kalau ada tamu penting yang pedak tangkil atau ada kegiatan upacara, bangunan itu juga bisa dimanfaatkan untuk penyimpanan sanganan. Pantangan bagi yang berniat jahat kalau punya pikiran yang macam-macam, jangan coba-coba masuk ke areal Pura Kentel Gumi. Sebab, setiap pikiran jahat itu akan segera terdeteksi dan tidak akan mudah untuk menyembunyikannya.

Dari penuturan pegempon/pengeling, Pura Kentel Gumi sangatlah tenget. Siapa pun yang berbuat curang, akan sangat mudah diketahui apabila nunasin (mohon petunjuk) di pura yang notabene tempat berstananya para dewa-dewa itu. ”Jangan coba-coba berani bersumpah di pura ini (Kentel Gumi) kalau memang melakukan kesalahan. Lebih baik mengakui kesalahan itu terlebih dahulu, karena sumpah yang dilakukan di sini sangat manjur,” 

Diceritakan, beberapa tahun silam ada sesorang yang berupaya melakukan niat jahat di pura tersebut. Orang itu mencoba membakar atap bale agung yang terbuat dari alang-alang. Meski terbuat dari bahan yang sangat mudah terbakar, upaya jahat orang itu tidak kesampaian, karena api tidak menjalar ke mana-mana. Karena niat jahatnya tidak terlaksana maksimal, orang itu pun putus asa. Dalam ketidaksadarannya, justru dia mengakui perbuatannya di hadapan warga. Sehingga warga tidak lagi bersusah payah mengejar orang yang berniat menghanguskan pura tersebut. Tidak ada pantangan bagi siapa pun yang ingin masuk, apalagi bersembahyang di Pura Kentel Gumi. Dengan catatan, tidak punya niat jahat dan berperilaku serta berpenampilan yang wajar.

Tawur Pakelem dengan Upakara Nyanggar Tawang Dari tahun ke tahun, perkembangan selalu diikuti dengan berbagai kejadian. Berbagai peristiwa yang mengancam keberadaan Bali kerap terjadi. Bom Bali I dan II, perkelahian antarbanjar dan berbagai kerusuhan serta kejadian lainnya, muncul silih berganti mewarnai kehidupan warga di pulau seribu pura ini.

Makanya, untuk mengembalikan jagat Bali sebagai alam yang bersih dan suci tanpa noda, untuk pertama kalinya Pemerintah Propinsi Bali menggelar upacara tawur pakelem, Rabu (29/3) lalu. Hal itu dilakukan sebagai upaya penebusan segala kebingaran yang terjadi saat ini. Upacara dengan upakara nyanggar tawang itu pun dipusatkan di Pura Kentel Gumi. Tentunya dengan berbagai pertimbangan, yakni Kentel Gumi yang notabene sebagai sumber pura dan pusat penghidupan serta sebagai pusat berstananya sebagaimana tercermin dari 25 arca yang terdapat dalam pelinggih ratu arca.

Arca-arca itu sebagai perwujudan para dewa seperti Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, Durga, Ghanapati, Lingga dan banyak lagi patung-patung yang tidak dapat dinyatakan wujudnya. Tawur pakelem menggunakan sarana kerbau, kambing, angsa dan bebek. Untuk di Pura Kentel Gumi sendiri, sarana pakelem itu dikubur hidup-hidup di dalam areal pura. Beda dengan pakelem lain yang dirarung (dihanyut) di tengah laut. ”Itu merupakan perlambang kelahiran yang dikembalikan dengan segala kekurangan dan kelebihan ke tempat asalnya.

Selain di Kentel Gumi, tawur pakelem juga dilaksanakan secara serentak di Pura Besakih dan Angkasa Pura, Tuban. Dirangkai dengan upacara tawur kesanga serangkaian pengerupukan menjelang hari raya Nyepi. Upacara itu di-puput tiga sulinggih yaitu, Pedanda Siwa dari Dawan Kaler, Pedanda Budha dari Buda Wanasari Karangasem dan Sri Mpu Pujangga dari Keramas Gianyar.

PURA SAMUAN TIGA


sumber : youtube
========================================================================

Image result for pura samuan tiga
Sejarah pendirian Pura Samuan Tiga yang bersumber dari data tertulis seperti halnya prasasti, prakempa, purana atau pun babad sampai saat ini belum banyak diketemukan. Minimnya sumber tertulis yang khususnya menguraikan tentang keberadaan Pura Samuan Tiga mungkin disebabkan berbagai faktor antara lain, panjangnya perjalanan waktu yang telah dilewati sehingga sangat memungkinkan adanya data- data yang hilang. Di samping itu tradisi penulisan segala sesuatu berkaitan dengan keberadaan suatu peristiwa atau pura belum membudaya di masa lalu. Maka tidaklah berlebihan bila dalam menelusuri kembali sejarah pura Samuan Tiga berbagai sumber data penunjangnya sekecil apapun serta walaupun bersifat fragmentaris masih relevan untuk dikaji.

Sebagai tonggak awal ada baiknya kita simak sejenak isi lontar Tatwa Siwa Purana, khususnya lembar 11 yang berkaitan dengan penyebutan pura Samuantiga antara lain disebutkan :
".......... Samalih sapamadeg idane prabu Candrasangka, mangwangun pura saluwire : Penataran Sasih, Samuantiga, hilen-hilen rikala aci, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran nglamuk beha, mapalengkungan siyat pajeng, pendet, hane bale pgat, pgat leteh".
Artinya:

".......... Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain : Penataran Sasih, Samuan Tiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang payung (pajeng) pendet dan ada balai pegat penghapus ketidak sucian (leteh)".

Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana di atas disebutkan bahwa Pura Samuan Tiga dibangun pada masa pemerintahan Raja Candrasangka, Penulisan Lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali berbagai tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya. Kemungkinan itu sangat besar karena bila kita telusuri dari kronologi pemerintahan raja-raja di Bali, tidak ada raja yang bernama Candrasangka, namun yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa disebutkan dalam prasastinya yang sekarang tersimpan di Pura Sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang pembuatan telaga/pemandian suci yang disebut Tirta di Air Hampul (Sutterheim,1929: 68-69).

Bila mana Prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam Lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrasangka Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa Pura Samuan Tiga dibangun sejaman dengan Pura Tirta Empul yaitu sekitar abad X. Pembangunan Pura Samuan Tiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna, seperti dikatakan R. Goris dimana setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/laut. Pura Tirta Empul sebagai Pura Gunungnya dan Pura Samuan Tiga sebagai Pura Penataran yaitu pura yang berada di pusat kerajaan. 

Seperti dimaklumi para ahli memperkirakan pusat pemerintahan pada masa Bali Kuna berada di sekitar Desa Bedulu karena banyak diketemukan tinggalan arkeologi (arca-arca, tempat pertapaan) bahkan berlangsung sampai masa Majapahit seperti disebutkan dalam Negarakertagama bahwa pusat pemerintahan Bali berada di Badahulu dekat Lwah Gajah. Sehingga tidaklah berlebihan bila diasumsikan bahwa Pura Samuan Tiga pada abad X merupakan Pura Penataran dan Kerajaan Bali Kuna yang berlokasi di pusat pemerintahan yang dalam beberapa sumber lokal disebut Bata Anyar.

Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana tersebut akan memunculkan pertanyaan, apakah nama Samuan Tiga itu merupakan nama dari sejak berdirinya ?. Hal ini penting sekali karena pemberian nama pada suatu hal menurut tradisi masyarakat Bali biasanya dihubungkan dengan tujuan tertentu atau untuk memperingati suatu peristiwa yang sangat bermakna dalam suatu proses kebidupan. 

Untuk menjawabnya perlu disimak sejenak makna kata Samua Tiga secara etimologi. Kata Samuan Tiga terdiri dari perpaduan kata "Samuan" dan "Tiga". Samuan berasal dari kata Samua berarti pertemuan penyatuan, sangkep dan Tiga berarti atau menunjuk pada bilangan tiga. Dengan demikian Samuantiga berarti pertemuan/penyatuan dari tiga hal atau musyawarah segitiga (Soebandi 1983 : 62).

Untuk lebih jelasnya ada baiknya kita simak isi lontar Kutaca Kanda Dewa Purana Bangsul, terutama pada bagian yang menguraikan tentang Samuan Tiga sebagai berikut:
"........... Ri masa ika hana malih hakyangan kang maka ngaran kahyangan Samuan Tiga, ika maka cihna mwah genah ira kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari mwah kang para Resi ika makabehan paum duking masa ika, kang ingaranan pura Samuan Tiga ri mangke".
Artinya:
''.......... pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Sarnuan Tiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Rsi (Pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai Pura Sarnuan Tiga sampai sekarang".

Dari uraian lontar di atas, menunjukkan bahwa pemberian. nama Sarnuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelakaanaan musyawarah tokoh-tokoh segitiga diperkirakan berlangsung pada masa pemerintahan raja suami istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 - 1011 masehi. 

Hal tersebut antara lain disebutkan dalam Babad Pasek sebagai beikut:
".........nguni duk pamadegan Cri Gunapriyadharmapatni Udayana Warmadewa, hana pasamuan agung Çiwa Budha kalawan Bali Aga, ya hetunya hana desa pakraman mwang kahyangan tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga". 
Artinya:
.........dahulu kala pada saat bertahtanya Çri Gunapriyadbarmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Çiwa Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya (sebabnya) ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan masing-masing desa Bali Aga (Ardana, 1989: 11).

Image result for pura samuan tiga
Dari uraian kedua lontar di atas menunjukkan bahwa Pura Samuan Tiga merupakan tempat pertemuan dan musyawarah tokoh- tokoh agama pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan untuk penerapan konsepsi Tri Murti melalui terbentuknya desa Pekraman dengan Kahyangan Tiganya.

Suksesnya pelaksanaan musyawarab tokoh-tokoh agama yang berhasil menyepakati suatu keputusan yang bersifat monumental bagi perkembangan agama Hindu di Bali, secara tradisional diyakini tidak terlepas dari peranan penting tokoh legendaris Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin lembaga majelis pemerintahan pusat yang diberi nama Pakira-kiran ijro Makabehan. Pelaksanaan musyawarah besar tersebut mungkin karena adanya suatu kondisi sosial keagamaan yang perlu segera ditangani agar tercapainya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.

Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai Ista Dewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa Ista Dewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.

Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap stabilitas suatu negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan beberapa tokoh rohaniawan baik dari Bali maupun Jawa Timur. Karena Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardana dari Jawa Timur, maka beliau sangat mengenal tokoh-tokoh rohaniawan dari Jawa Timur yang diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak.

Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal ada 5 Pendeta bersaudara yang sering dijuluki "Panca Pandita" atau Panca Tirta. Kelima Pendeta bersaudara itu ialah :
Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Baradah, Empat di antara kelima Pendeta itu didatangkan ke Bali secara berturut-turut yaitu:
Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999m) berparhyangan di Besakih.
Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000) beparhyangan di Gelgel.
Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001) berparhyangan di Cilayuti Padangbai.
Kemudian Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Blibis) (Soeka, 1986 :5).

Image result for tradisi pura samuan tiga
(siat sampian di Pura Samuan Tiga)

Mengingat pengalaman Mpu Katuran yang pernah menjadi Kepala Pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Dirah, maka diangkatlah Beliau sebagai Senopati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran ijro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran, yang kemudian untuk memperingati peristiwa besar tersebut puranya diberi nama Samuan Tiga. Sejak itulah kemungkinan namaPura Samuan Tiga tetap terpakai seperti disebutkan dalam Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul di atas.

Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang pernah berkembang dan didominasi oleb sekte Siwa Sidhanta. Untuk menyatukan semua sekte Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang di Jawa dimanifestasikan dalam bentuk Candi seperti Candi Loro Jonggrang (Prambanan) dimana melalui Candi tersebut di puja Dewa Brahma, Wisnu dan Çiwa dengan bangunan candi tersendiri.

Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pekraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiganya untuk sebuah desa. Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggah Kemulan Rong Tiga dengan didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya. Mpu Kuturan disamping ahli dalam Rajaniti (hukum pemerintahan) Beliau Juga sebagai tokoh yang sempurna dalam falsafah keagamaan sebagai arsitektur agung yang berlandaskan ajaran agama terutama dalam penataan pura-pura di Bali, termasuk Besakih. Di dalam lontar Raja Purana tertera ajaran Mpu Kuturan dalam penataan kehidupan keagamaan sebagai berikut:
"........ Ngararis nangun catur agama, catur lokita bhasa, catur sila makadi ngawangun sanggah kamulan) ngawangun Kahyangan Tiga: Pura Dalem, Puseh mwang Bale Agung,"
Artinya:
"....... Selanjutnya (Mpu Kuturan) menerapkan empat peraturan agama, empat cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan, termasuk membuat Sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga : Pura Dalem, Puseh dan Bale Agung (Nala, 1997:3-6)."
Dan uraian singkat di atas dapatlah disimpulkan bahwa Pura Samuan Tiga yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan pengembangan struktur pura sesuai dengan tuntutan jaman. Pendirian pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran masa Bali Kuna, kemudian dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budha dan Bali Aga yang berhasil menyepakati penerapan konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pekraman dan rumah tangga di Bali. 

Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujudlah kesukertaan di masing-masing Desa. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa Pura Samuan Tiga merupakan cikal bakal dari adanya Desa Pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai penerapan konsep Tri Murti di Bali.


Di samping makna sejarah seperti di uraikan di atas kata Samuan Tiga dapat pula ditelusuri melalui makna filosofinya yang juga berarti bahwa sejak adanya musyawarah tersebut terjadi peningkatan kwalitas kehidupan beragama khususnya dalam hal pemahaman filsafah agamanya. Dari pemujaan pada Ista Dewata yang berdiri sendiri menuju pada pemujaan Tuhan /lda Sanghyang Widhi melalui ketiga aspeknya yaitu Tri Murti sebagai satu kesatuan yang tebih dikenal sebagai bersifat eka-aneka. Hal ini merupakan proses, rekonsiliasi atau revitalisasi dalam kehidupan keagamaan Hindu di Bali.
Penyempurnaan kehidupan beragama di Bali memang senantiasa terus tumbuh berkembang, namun senantiasa dilaksanakan secara damai dan musyawarah dengan kedatangan berbagai tokoh agama seperti Mpu Lutuk, Danghyang Nirarta dan lain-lainnya.

Image result for tradisi pajegan pura samuan tiga
(tradisi pajegan di Pura Samuan Tiga)
Beliau-beliau inilah melakukan penataan kembali secara bertahap dan bersifat akomodatif yang berarti tidak mengabaikan tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang secara baik, Peristiwa dan tokoh-tokoh agama yang telah berhasil menata kehidupan keagamaan di Bali sepatutnya dijadikan contoh dan suri tauladan dalam kehidupan keagamaan sekarang ini sehingga dapat terciptanya konsolidasi yang mantap dalam kehidupan masyarakat (Ida Pedanda Putra Kemennh. 1977: 8-9). 

Keberadaan Pura Samuan Tiga terus tumbuh dan berkembang dengan segala pasang surutnya sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial budaya umat Hindu di Bali. Setelah Bali memasuki kehidupan dalam sistim kerajaan keberadaan Pura Samuan Tiga menjadi tanggungjawab raja-raja Bali melalui pengenaan pajak tiga sana atau sawinih kepada seluruh petani atau umat Hindu di Bali. Menurut informasi Gusti Agung Gede Putra (almarhum) kerajaan Mengwi pada sekitar tahun 1817 pernah melaksanakan upacara besar di Pura Samuan Tiga.

Pada masa selanjutya, sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat keberadaan Pura Samuan Tiga menjadi tanggung jawab Raja Gianyar. Namun suatu hal tanggung jawab tersebut kemudian dilimpahkan kepada keluarga Pemangku untuk memelihara dan melaksanakan upacara di Pura Samuan Tiga melalui hasil laba pura. Karena hasil laba pura tidak memadai, tanggung jawab tersebut kemudian diserahkan kepada masyarakat sekitar tahun 1963 yang kemudian dibentuk kepanitian di bawah pimpinan I Wayan Limbak. Masyarakt pengemong terdiri dari 6 Desa Adat atau 12 Banjar, namun sebagai penyungsung terdiri dari seluruh umat Hindu dimanapun mereka berada. Hal ini karena Pura Samuan Tiga seperti disebutkan di atas sebagai pura Kahyangan Jagat yaitu sebagai cikal bakalnya Pura Kahyangan Tiga di setiap Desa pekraman dan pemerajan di setiap keluarga sebagai tempat memuja Dewa Tri Murti manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

PURA GOA LAWAH

sumber : youtube
========================================================================


Image result for SEJARAH PURA GOA LAWAHDari ribuan jumlah pura di Bali, beberapa di antaranya berstatus Pura Khayangan Jagat. Salah satunya Pura Goa Lawah. Pura ini berdiri di wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan dengan sebuah goa yang dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura Goa Lawah merupakan salah satu khayangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung.

Bagaimana sejarah pura yang menempati posisi di bagian tenggara itu?

Image result for SEJARAH PURA GOA LAWAH
Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut dan gunung (lingga-yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara kelelawar tiada henti, pagi, siang apalagi malam. Sekejap puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, berdesak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang masa. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu.
Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih stana para Dewa. Di pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya.

Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Umat Hindu silih berganti menghaturkan bhakti dengan berbagai tujuan. Terutama ketika berlangsung piodalan/pujawali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara nyejer selam 3 hari dengan penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.

Di samping juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan secara rutin pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Pagerwesi, Saraswati, Siwaratri dan lainnya.
Begitu juga dengan umat Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya ada saja yang menggelar upacara meajar-ajar atau nyegara-gunung.

Siapa yang membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun?


Image result for SEJARAH PURA GOA LAWAH
Sulit mengungkap dan membuka secara gamblang misteri itu. Di samping karena usia bangunan pemujaan tersebut sudah tua, juga jarang ada narasumber yang benar-benar mengetahui seluk beluk keberadaannya. Memang, ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa Lawah. Tetapi, sangat jarang yang berani membuka secara jelas dan gamblang, siapa dan kapan salah satu pura Sad Kahyangan itu dibangun.

Jika dirunut dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat dijelaskan bahwa goa berarti goa (lobang) dan lawah berarti kelelawar. Jadi goa lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam beberapa lontar, sekilas ada yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa pura-pura besar yang berstatus Kahyangan jagat dan Sad Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu KuturanHal itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan. Sebagaimana dihimpun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung yang saat ini tengah mempersiapkan penerbitan buku tentang ''Pura Goa Lawah.'' Dalam rekapan buku yang rencananya dipasupati bersamaan dengan pujawali di Pura Goa Lawah.

Diceritakan, Mpu Kuturan datang ke Bali abad X yakni saat pemerintahan dipimpin Anak Bungsu adik Raja Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika tiba, Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut.
Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan.

Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali serta mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam lontar Usana Dewa, Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan pelinggih di Pura-Pura seperti gedong dan meru serta arsitektur Bali. Begitu juga dengan berbagai jenis upakara-upakara dan pedagingan pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat landasan prikehidupan yang sangat prinsip seperti aturan-aturan ketertiban hidup bermasyarakat yang diwarisi sampai saat ini dalam bentuk Desa Pakraman.

Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maha pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang sangat jaya pada masanya dan membawa kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke pulau Lombok dan Sumbawa.

Kaitannya dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang Nirartha diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya berlanjut hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah. Perjalanannya dihentikan, sang pendeta masuk ke tengah Goa. Melihat-lihat goa kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak gunung goa itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin semilir, bagaikan ikut menambah keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah. Lalu membangun padmasana yang notebena tempat bersthana para dewa.
Image result for SEJARAH PURA GOA LAWAH

Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas petunjuk Ida Panataran yang notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di Pura Besakih. Penunjukkan itu mengingat Goa Lawah memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah merupakan jalan keluar Ida Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di pantai.

Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara Sanghyang Basukih di kawasan Besakih dengan Danghyang Siddhimantra, salah seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Basukih yang merupakan nagaraja, memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa Raja Besakih yang konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari Pura Goa Lawah, menyeberang jalan lalu menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang Basukih yang berdiam di goa sedang menyucikan diri, mandi ke laut.

Goa dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga tempat masing-masing di Gunung Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada asap mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih tembus Goa Lawah.


Jika menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman itu selain menghormati kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainya, seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang amat lengkap. 

Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan pura, sekarang telah menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja masyarakat guna mendapat ketentraman dan kesejahteraan hidup.

Dari kilasan di atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari pemujaan alam goa kelelawar, gunung dan laut di zaman Megalitikum, lalu dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X kemudian disempurnakan lagi dengan membangun Padmasana oleh Danghyang Dwijendra pada abad XIV-XV. 

Lengkaplah keberadaan Pura Goa Lawah, seperti yang kita lihat dan warisi sampai sekarang. Namun yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung yang digelar di Pura Goa Lawah, mengandung makna terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi Girinatha (pelindung gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas pemberian amerta baik kepada sang Dewa Pitara-jiwa leluhur yang telah suci maupun kepada sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue Karya. Atas dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber penghidupan. Memuliakan gunung dan laut bukan berarti umat Hindu menyembah gunung dan laut, tetapi yang dipuja adalah Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung gunung dan penguasa laut.

PURA RAMBUT SIWI


sumber : youtube
========================================================================

Related imageJika anda melakukan perjalanan ke arah Bali Barat, maka anda akan bertemu dengan Pura Rambut Siwi. Lokasinya di Desa Yeh Embang Kangin, Kec. Mendoyo, Kab. Jembrana. Sekitar 17 km sebelah Timur Kota Negara dan di pinggir jalan raya utama Denpasar – Gilimanuk anda akan bertemu sebuah pura bernama Pura Pesanggrahan atau Penyawangan Pura Rambut Siwi di sinilah biasanya banyak warga Hindu berhenti sebentar untuk bersembahyang memohon keselamatan dalam perjalanan. Dari Pura Penyawangan inilah anda melanjutkan perjalanan ke arah Selatan sekitar 200 meter dan langsung menuju parkir di dekat pelataran pura, jika naik kendaraan berbadan besar seperti bus akses pura bisa melalui jalan lain di sebelah baratnya.

Pura Dang Kahyangan Rambut Siwi Di Jembrana

Image result for sejarah pura rambut siwi jembrana
Pura Rambut Siwi adalah salah satu pura Dang Kahyangan jagat yang terletak di Kabupaten Jembrana Bali. Pura Dang Kahyangan sendiri merupakan tempat suci yang diperuntukkan untuk menghormati guru-guru suci seperti Pandeta, Maha Rsi dan para Empu. Pura Rambu Siwi berkaitan dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra, beliau diberi gelar juga Pedanda Sakti Bawu Rawuh yang berjasa menanamkan ajaran-ajaran agama Hindu. Lokasi pura utama berada di atas tebing pinggir pantai, berlatar belakang pemandangan alam laut Samudera Hindia, sehingga suasananya indah, tenang, damai dan penuh aura spiritual. Tidak mengherankan tempat ini menjadi tempat meditasi ataupun menenangkan diri yang paling ideal.

Selain sebagai tempat suci, Pura Rambut Siwi juga menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Jembrana yang menjadi salah satu tujuan wajib saat mengagendakan tour dengan tujuan wisata Bali Barat. Sebelum sampai di tujuan utama anda akan disuguhi hamparan persawahan seolah menyambut kedatangan pengunjung. Pura Rambut Siwi terlihat megah dan cantik berdiri di pinggir tebing, berbatasan langsung dengan pantai, suasana alam sekitarnya indah dan asri, membuat anda betah berlama-lama mengagumi keagungan Tuhan ini. Apalagi kunjungan wisatawan ke Pura ini cukup sepi tidak seperti Pura Tanah Lot yang selalu ramai, sehingga di sini anda bisa lebih leluasa untuk bersantai dan menikmati keindahan yang disuguhkan, apalagi jika anda datang pada sore hari keindahan matahari terbenam menjadi daya tarik istimewa.

Jika anda warga Hindu dan melakukan perjalanan wisata rohani atau perjalanan Tirtayatra dari arah Denpasar menuju ke arah Bali Barat dan Utara seperti dengan tujuan ke Pura Pulaki, Melanting, Pabean, Pemuteran dan ke Pulau Menjangan, maka tentunya juga tidak akan melewatkan Pura Rambut Siwi untuk melakukan persembahyangan. Di kawasan Pura Rambut Siwi setidaknya anda bertemu dengan 8 buah pura termasuk Pura Pesanggrahan dan juga pura yang berada di bawah tebing tepi pantai, tempat pertama persembahyangan adalah pura Pesanggrahan kemudian Pura Taman, Penataran, Goa Tirta, Melanting, Pura Gading Wani, Pura Ratu Gede Dalem Ped dan tempat terakhir persembahyangan adalah di kawasan Pura Luhur yaitu Pura Rambut Siwi.

Yang menjadi inti dari pura di kawasan ini adalah Pura Penataran dan pura Luhur (Rambut Siwi) sedangkan lainnya adalah Pura Pesanakan. Pada pelataran utama Pura Luhur terdapat sejumlah bangunan suci, seperti Padma, meru tumpang tiga linggih Ida Betara Pedanda Sakti Wawu Rawuh (Dang Hyang Nirartha), Pengayeng Betara Gunung Agung, Gedong, meru tumpang dua stana Batari Dewa Ayu Ulun Danu, palinggih Rambut Sedana, Peselang, Taksu serta sejumlah bangunan suci lainnya.

Sesuai dengan penanggalan Hindu Bali, pujawali di Pura Rambut Siwi jatuh pada hari Buda Umanis, wuku Perangbakat dan jika hari tersebut bertepatan dengan bulan Purnama ataupun Tilem, maka dinamakan odalan nadi dan digelar odalan tingkatan paling utama. Selain sebagai Pura Dang Kahyangan untuk menghormati jasa guru suci, juga berfungsi untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pertanian, karena itu banyak warga subak yang datang ke sini memohon agar hasil pertanian berlimpah dan dijauhkan dari hama.

Sejarah Pura Rambut Siwi Jembrana

Image result for sejarah pura rambut siwi jembrana
Pura Rambut Siwi Tahun 1947
Nama rambut yang tersemat dalam nama pura ini berkaitan dengan sehelai rambut dari Dang Hyang Nirartha. Seperti yang tersurat dalam Dwijendra Tatwa. Keberadaan Pura Rambut Siwi, berkaitan dengan kedatangan pendeta suci Dang Hyang Dwijendra atau Dan Hyang Nirartha seorang pendeta dan brahmana suci dari tanah Jawa. Setelah perjalanan dari tanah Jawa akhirnya beliau tiba di Bali, dan setelah beberapa lama di Gelgel, beliau berangkat menuju ke arah Barat menyusuri pesisir Selatan, akhirnya sampailah di tepi pantai dan bertemu dengan seorang juru sapu pada sebuah parahyangan. Juru sapu pun menyarankan untuk bersembahyang di parahyangan tersebut, sembari menghambat perjalanan Dang Hyang Nirartha dan mengatakan tempat tersebut sangat angker dan keramat, jika lewat begitu saja maka akan diterkam harimau.

Dang Hyang Nirartha menuruti keinginan tukang sapu, kemudian beliau masuk ke areal parahyangan, di depan sebuah pelinggih, beliau melakukan yoga, mengheningkan cipta dan menyatukan pikiran dengan sang Pencipta. Ketika beliau sedang kusuk melakukan yoga, tiba-tiba bangunan pelinggih tempat beliau menyembah tersebut roboh dan itu dilihat oleh tukang sapu. Sontak tukang sapu terkejut kemudian bersujud dan menangis minta ampun kepada sang pendeta, merasa bersalah memaksa untuk menyembah parahyangan tersebut. Tukang sapu mohon agar pelinggih tersebut kembali seperti semula.

Karena merasa iba kepada si tukang sapu, beliaupun bersabda akan mengembalikan bangunan tersebut seperti sedia kala. Kemudian beliau mencabut sehelai rambutnya dan diberikan kepada si tukang sapu, agar rambut tersebut diletakkan pada pelinggih tersebut dan disiwi (disembahyangi) agar semua sejahtera dan selamat. Dari situlah asal muasal nama pura Rambut Siwi.

PURA LUHUR PUCAK PADANG DAWA


sumber : youtube
========================================================================

Sebuah Sejarah Pura yang terletak di wilayah kota Tabanan - Bali, Tuhan yang berstana di Pura Luhur Pucak Padang Dawa dengan Prabawa Ida sebagai sebutan Sanghyang Siwa Pasupati, umat yang bersembahyang memohon keselamatan.

Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa 

Related imageSekarang tersebutlah Sanghyang Siwa Pasupati setelah terbang diangkasa membawa bongkahan gunung yang diambil dari Gunung Mahameru, selanjutnya beliau berstana di Puncak Candi Purusada yang merupakan cikal bakal adanya Pulau Bali, dimana Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa bagi orang-orang Bali juga diberi sebutan Bhagawan Mangga Puspa yang dilukiskan dengan perawakan yang amat besar dan kekar dan juga disebut Bhatara Tengahing Segara dan lama kelamaan beliau mempunyai seorang putra yang perawakanya juga tinggi kekar, yang diberi nama Dewa Gede Kebo Iwa Sinuhun Kidul, yang selanjutnya Dewa Gede Kebo Iwa menjadi raja di Pulau Bali dengan gelar Raja Pajenengan / Sanghyang Sinuhun Kidul. 


Sanghyang Sinuhun Kidul/Dewa Gede Kebo Iwa yang merupakan Awatara dari Sanghyang Brahma yang mana beliau mempunyai banyak sebutan bagi orang Bali seperti misalnya:

  • Tatkala masih perjaka disebut Ki Taruna Bali.
  • Pada saat menjadi raja bergelar Sanghyang Sinuhun Kidul.
  • Pada waktu beliau membawa Tattwa Usadha dan Tattwa Kadyatmika bergelar Ida Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat.
  • Pada saat beliau berstana di Gunung Gumang, bergelar Bhatara Gede Gunung Gumang.
  • Tatkala beliau bersatu dengan Bhatara Kala dan berstana di Bale Agung disebut Bhatara Gede Sakti.
  • Pada saat beliau mendirikan parahyangan di Bali bergelar I Dewa Gede Kebo Iwa.
  • Tatkala beliau membawa tempat tirta lengkap dengan busana seperti gelang kana serta salipet kiwa tengen disebut Ida Bhatara Guru.
           
Beliau juga bergelar Bhatara Amurbeng Rat, manakala menciptakan tempat-tempat air (tirtha) seperti, Telaga Waja, Tirtha Bima, Tirtha Wahyu, Tirtha Sudhamala, Tirtha Erbang, Tirtha Mambar-mambur, Tirtha Sapuh Jagat, dan Tirtha Pasupati, yang letaknya tersebar di pulau Bali.


Sekarang tersebutlah Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merangsuk Buddha Berawa dengan merubah wujudnya menjadi Barong, karena pulau Bali ini ditimpa oleh mara bahaya yang ditimbulkan oleh kekuatan magis dari Kala Durgha Kalika Joti Srana dan pada perjalanannya beliau menuju kebarat dan akhirnya beliau tiba di Pucak Padang Dawa, 
dan akhirnya beliau bertemu dengan Sanghyang Wulaka dengan perawakan hitam kemerah-merahan, rambutnya ikal agak merah, dengan mendelik bagaikan singa yang lapar serta bersenjatakan Pedang Dangastra, beliau itu merupakan sumber dari segala kesaktian, dan karena Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merubah wujud beliau menjadi Barong, maka mulai sejak itu rencang dari Bhatara yang berstana di Pura Luhur Pucak Padang Dawa berupa Barong Ket, Barong Landung, Barong Bangkal, serta merupakan Dewanya Taksu kesenian, beliau juga dewanya para Balian seperti Balian Engengan, Balian Katakson, Balian Usadha, Balian Konteng diwilayah Pulau Bali.

Prasasti Pura Maospahit

Diuraikan secara acak ===>>> Entah berapa lama Ida Arya Karang Buncing hidup sebagai suami istri, belum juga dikarunia putra, hati beliau sanagat sedih, lalu pada hari yang baik, beliau berkeinginan nunas ica memohon kemurahan hati Ida Sanghyang Widhi, ring Pura Bedugul Gaduh, lalu beliau mendapat kelahiran seorang putra, yang lama kelamaan diberi nama Kebo Waruga, yang berperawakan tinggi besar, tidak ada orang menyamai di bumi Bali ini. Apalagi tentang kesaktianya, teguh, tidak mempan oleh senjata buatan manusia, ahli dalam bidang pembangunan, beliau sidhi ucap.

Pada tahun Caka 1185/1263 Masehi, lalu beliau Kebo Waruga mendirikan pasukan Taruna Watu, yang jumlah anggotanya sebanyak 33 orang, lalu beliau membangun Pura Dalem Maya pada tahun Caka 1197/1275 Masehi. Setelah selesai membangun pura, pada saat itu tahun Caka 1198/1276 Masehi. Kebo Waruga bingung pikirannya, lalu beliau menyelusup kedesa-desa seperti, Bualu, Pecatu, Tunggaking Pering, Kali Jajuwan, beliau dijunjung di jagat Kali Jajuwan itu, soal makanan beliau sangat rakus, itu sebabnya badannya tinggi dan besar. Oleh sebab itu kesengsaran dan bingung rakyat beliau, lalu Kebo Iwa mengutuk tempat itu dan dinamakan Desa Serangan. 

Kebo Iwa berjalan ke utara ke jagat Badung menjadi tukang bangunan suci seperti membuat Candi Raras Maospahit yang menghadap ke barat pada tahun Caka 1200/1278 Masehi. Lagi diceritakan yang menjadi pimpinan jagat Kapal, Bali yang bergelar Dalem Rokaranti, tempat itu bernama Pastenganan yang letaknya arah tenggara Puri ne Kawit, disebut Dalem Pura Sada (Dalem Bringkit-Kebo Iwa), disana beliau mendirikan Candi Raras yang sudah dipastu, yang beliau katakan “ Bilamana ada seorang istri yang sedang mengandung masuk ke pura itu akan gugur kandungannya”.

Desa Kapal itu juga dikutuk tidak boleh membangun mamakai bahan dari batu bata sampai kini, karena beliau yang patut memerintahkan kutukan bumi ini. Beliau bagaikan dewata yang dijunjung seperti Dewata Saking Kidul (Hyang Sinuhun Kidul). Karena Ida Kebo Iwa tidak punya tempat maka beliau mendirikan bale panjang yang disebut Bale Agung, juga mendirikan dapur di desa Sri Jong, Bale Panjang ada di desa Beda, serta semua rakyat tidak berani melawannya. 

Lagi diceritakan yang menjadi raja di jagat Bali saat itu adalah Ida Dalem Batu Ireng (Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana, Sri Tapa Hulung, Dalem Bedahulu), mengutus para Demung yang bernama Arya Kalung Singkal di desa Taro. Arya Tunjung Biru, Arya Tunjung Tutur juga patih Kopang di Batur. Arya Pasung Grigis di Tengkulak. Ida Patih Giri Gemana di Jambirana. Patih Tambyak di Jimbaran membuat pondok prajurit mau menguji kesaktianya I Kebo Iwa. Tatkala di hari yang tepat diadakan pertarungan, Ida Sang Prabu Batu Ireng diiringi oleh Mantri Gudug Basur telah naik ketempat yang telah disiapkan, lalu suara kentongan berbunyi bertalu-talu, suara gambelan, suara gemuruh rakyatnya tak henti-hentinya. Lalu Pasung Gerigis memerintahkan patih semuanya untuk melawan I Kebo Iwa mengadu kewisesan (perang tanding), semua patih dan rakyat kalah dalam mengadu tanding tersebut. Dengan demikian Prabu Batu Ireng kagum atas kekuatan I Kebo Iwa, lalu I Kebo Iwa diangkat menjadi patih andalan, kekuatan Ida I Kebo Iwa sangat terkenal sampai diluar pulau Bali.




Babad Bara Batu & Prasasti Pura Dalem Maya 


Diuraikan secara acak, isinya hampir sama dengan Prasasti Pura Maospahit hanya tambahan sebagai berikut, pada tahun Isaka 1185/1263 Masehi, Prajurit Taruna Batu, anggota sebanyak 33 orang, semuanya gagah berani berbusana serba putih, memakai destar Merah api, bunga Waribang Dwikarna, bersenjata Tamyang dan keris 10 orang pengawin samlong mapontang kuningan 10 dan membawa pratoda, dan tiga orang membawa air, pasepan, tirtha suci. 

Diceritakan lagi tahun Isaka 1197/1275 Masehi pasukan Teruna Batu membangun Pura Dalem Maya. Dikisahkan lagi Patih Mada bermaksud membuat daya upaya jahat terhadap Sang Kebo Waruga bersama raja Bali karena tahu para patihnya tak ada menandingi kesaktiannya. Kemudian Patih Mada bersama para patih Wilwatikta mendarat di segara rupek di Gilimanuk, menuju ke Telukan Bawang, merambas tegalan di Desa Garabong (Pulaki) serta desa Pangastulan, naik perahu menuju ujung Gunung Tolangkir terus ke Tianyar dan Samprangan. 

Ketika diketahui kedatangan para mantri Jawa oleh pasukan Taruna Batu, disambut dengan ramah dan bersalaman, karena sebelumnya sudah ada tanda persahabatan dengan mengibarkan bendera putih, dan perlengkapan upacara agama, lantas diajak kerumah orang tuanya Karang Buncing di Blahbatuh, dan ditanya maksud atas kedatangannya, yaitu menjalankan perintah Sri Aji Wilwatikta melamar Kebo Iwa akan disandingkan dengan putri dari jawa Madura. Atas ijin sang raja lalu Kebo Iwa pamitan dengan para mantri semuanya, juga menghaturkan sembah bhakti dipura Gaduh, lalu menuju ke Pura Luhur Uluwatu, melakukan yoga semadhi seorang diri tanpa ada orang yang mengiringi. 

Setelah beberapa lama di parahyangan lalu berjalan menuju pantai Pula Ayam (bali Tegil), di Benoa, menaiki perahu layar ke tengah samudra, lalu ada tanda yang tidak baik, hujan ribut dan kilat bersahu-sahutan, perahu layar diterjang ombak, tahu dirinya akan kena bencana dan ingat akan kewajiban sebagai seorang ksatrya yaitu kesetiaan, satrya artinya tak boleh ingkar janji, lalu turun berenang ketengah lautan mengobok-obok air laut bagaikan lajunya perahu layar. Kemudian beliau tiba di pulau Jawa dan disambut oleh kedatangannya oleh orang-orang Surabaya, Madura. Tak terbilang banyak menyambut kedatangan Beliau, lalu disuruh membuat sumur dilereng gunung untuk tempat pemandian Sang Dyah dikala hari pernikahan nanti. 

Setelah Kebo Iwa dalam menggali sumur, lalu ditimbun dengan bongkahan-bongkahan batu, lalu disangga batu itu dengan kedua belahan tangan dan dihempaskan kembali dari dalam sumur, bagaikan hujan batu, semuanya lari tunggang langgang menyelamatkan diri takut kena bongkahan batu. Lalu kebo Iwa keluar dari dalam sumur seraya berucap, Hai kamu prajurit semua, kalau kamu mengharapkan aku mati, aku tak akan mati oleh batu, juga dengan segala senjata buatan manusia, malu aku kembali ke pulau Bali, dengarkan ucapanku, kalau kamu ingin mematikan aku, dengan kapur bubuk timbun aku kedalam sumur beserta canang wangi, seperti bunga, daun, air, dupa, buah. Jika aku mati atas kehendak kamu semua, semoga dikemudian hari di bumi ini akan dimasuki kebo putih, saat itu semuanya akan kesusahan, demikian akhirnya Kebo Iwa meninggal didalam sumur menuju kesunyian.