MITOLOGI BHUTA KALA


Hasil gambar untuk sketsa BHUTA KALA
Menurut cerita Wayang Purwa. Ini terjadi ketika pada suatu saat Bhatara Guru bertamasya bersama istrinya, Dewi Uma, menunggang Lembu Andini mengarungi angkasa. Di atas Nusa Kambangan, dalam keindahan pemandangan senja hari, Bhatara Guru tergiur melihat betis istrinya. Ia lalu merayu Dewi Uma agar mau melayani hasratnya saat itu juga, di atas punggung Andini. Tetapi istrinya menolak. Selain karena malu, Dewi Uma menganggap perbuatan semacam itu tidak pantas dilakukan.

Karena gairah Bhatara Guru tak tertahankan lagi, akhirnya jatuhlah kama benihnya ke samudra. Seketika itu juga air laut bergolak hebat. Benih kama Bhatara Guru menjelma menjadi makhluk yang mengerikan. Dengan cepat makluk itu tumbuh menjadi besar. la menyerang apa saja, melahap apa saja. Untuk meredakan kekalutan yang terjadi, Bhatara Guru memerintahkan beberapa orang dewa membasmi makhluk itu. Namun dewa-dewa itu tak ada yang mampu menghadapi makhluk itu. Mereka akhirnya bahkan lari pulang ke kahyangan. Makhluk ganas itu segera mengejar para dewa sampai ke Kahyangan Suralaya, tempat kediaman Bhatara Guru. Setelah berhadapan dengan Bhatara Guru makhluk itu menuntut penjelasan, ia anak siapa, untuk kemudian minta nama dari ayahnya. Bhatara Guru yang maklum keadaannya, segera memberi tahu bahwa makhluk itu adalah anaknya yang terjadi karena kama salah. Bhatara Guru memberinya nama Kala, dan mengangkatnya sederajat dengan dewa, sama dengan anak-anaknya yang lain. Dengan demikian, ia bergelar Bhatara Kala.

Setelah mendapat nama, Bhatara Kala lalu minta diberi istri dan tempat tinggal. Kebetulan, sesaat sebelumnya Bhatara Guru dan Dewi Uma baru saja bertengkar sehingga mereka saling mengutuk. Dewi Uma yang tadinya cantik jelita dikutuk menjadi raseksi (raksasa wanita) dan diberi nama Bhatari Durga. Bhatari Durga lalu dijadikan istri Bhatara Kala,  karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Mereka diberi tempat di Kahyangan Setra Gandamayit, di telatah Hutan Krendawahana. Perkawinan ini kemudian membuahkan dua orang anak. Yang sulung bernama Kala Gotana berwujud raksasa mengerikan, sedangkan anaknya yang kedua bernama Dewasrani yang tampan. Selain yang dua itu, dalam beberapa lakon carangan, mereka masih mempunyai beberapa anak lagi.

Karena Bhatara Kala makhluk yang amat rakus dan ganas, Bhatara Guru khawatir kalau-kalau manusia di bumi akan punah dimangsanya. Oleh sebab itu Bhatara Guru lalu berusaha mengurangi kerakusan anaknya itu. Sebagai ayahnya, Bhatara Guru minta agar Bhatara Kala mendekat dan sungkem (berjongkok dan menyembah) di hadapannya. Bhatara Kala melaksanakan permintaan ayahnya itu. Namun ketika sampai ke dekat Bhatara Guru, pemuka dewa itu tiba-tiba memotong kedua taring dan lidah Bhatara Kala yang mengandung bisa.

Oleh Bhatara Guru, potongan lidah Bhatara Kala kemudian dicipta menjadi senjata ampuh berupa anak panah dan diberi nama Pasupati. Anak panah ini kelak menjadi milik Arjuna. Sedangkan taring kirinya menjadi keris bernama Kaladite, yang kemudian menjadi milik Adipati Karna. Potongan taring kanan Bhatara Kala dicipta menjadi keris yang diberi nama Kalanadah. Keris ampuh ini kelak akan dianugerahkan kepada Arjuna, kemudian Arjuna memberikannya kepada Gatotkaca sebagai kancing gelung.

Bhatara Guru juga memberi ketentuan, hanya anak sukerta saja yang boleh dimangsa Bhatara Kala. Namun anak sukerta itu pun tidak boleh dimangsa, bilamana si anak telah diruwat oleh orang tuanya.

Beberapa daftar anak yang tergolong sukerta:
  1. Ontang-anting, anak tungal, baik lelaki maupun perempuan.
  2. Kedana-kedini, dua bersaudara, yang satu lelaki yang satu perempuan.
  3. Uger-uger, dua bersaudara, lelaki semua.
  4. Lumunting, anak yang lahir tanpa ari-ari.
  5. Sendang kapit pancuran, tiga anak yang sulung laki-laki, yang tengah perempuan, dan yang bungsu laki-laki.
  6. Pancuran kapit sendang, kebalikan dari nomor 5.
  7. Kembang sepasang, dua perempuan semua.
  8. Sarimpi, empat orang perempuan semua.
  9. Pandawa, lima orang lelaki semua.
  10. Pandawi, lima orang perempuan semua.
  11. Pandawa ipil-ipil, lima anak, empat perempuan, yang bungsu lelaki, dll.
Untuk menghindari jadi mangsa Bhatara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Bhatara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Bhatara Kresna. Maka Bhatara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.

Bhatara Kala, sebagaimana halnya golongan dewa dalam pewayangan lainnya, tidak pernah mati. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Kediri, Bhatara Kala yang menjelma di dunia sebagai Prabu Yaksadewa, membunuh Anoman. Pada Wayang Bali, Bhatara Kala menjadi repertoar satu-satunya dalam pergelaran Wayang Sapuh Leger, kalau di Pulau Jawa, lakon Murwakala. –sumber

MAKNA AMOR RING ACINTYA

Ungkapan ‘amor ring acintya’, dalam masyarakat bali sekarang, umumnya dirasa hanya sebatas slogan, yang sesungguhnya sangat sarat makna. Jika disertai dengan pemahaman yang baik, siapapun yang mendengar ungkapan tersebut jiwa dan pikirannya pasti tergetar. Dumugi amor ring acintya artinya semoga bersatu dalam kedewata
an tertinggi (acintya). Ungkapan ini diucapkan ketika ada seseorang meninggal dunia di bali.


Dumugi berarti semoga. Amor berarti bersatu, menghilang, atau menuju kedalam  situasi ‘ketiadaan’ atau ‘tidak tampak’. Acintya berarti ‘tidak tersentuh oleh pikiran’. Dalam konteks filsafat disamakan dengan sūkṣma dan śūnya.

Sastra jawa kuna menyebutkan beberapa baris terkait dengan ungkapan di atas. Berikut kutipan dari naskah kidung dan kakawin jawa kuno:
1). ‘amor ring dewata’ ada dalam kidung harsa-wijaya: ‘saṅ wus amor iṅ dewata; saṅ wus amor iṅ dewa; saṅ wus amor i widi;
2). ‘amor ring widhi’ ada dalam kidung sunda disebut ‘saṅ wus amor iṅ widi.
3). ‘amor ring śiwātmaka’ ada dalam naskah wangbang wideha,‘agya ni ṅwaṅ amor iṅśiwātmaka

Ungkapan tersebut ditujukan kepada para raja, atau orang suci, yang dimaksudkan ‘saṅ wus amor iṅ dewata’ (beliau yang telah kembali ke alam kedewataan’, adalah beliau-beliau yang suci, yang terhormat, ‘memenangkan kehidupan ini’ dan kembali ke alam kedewataan.
Jika ingin kembali ke alam kedewataan, tentunya kita harus punya kualitas kedewataan dulu. Kalau kualitas diri kita hanya kw2 atau kw3 tujuan itu akan semakin jauh. Slogan tinggal slogan. ‘Amor ring acintya’ tidak lain cita-cita kemanusiaan terdalam ajaran siwa, buddha, dan hindu pada umumnya, yang kita kenal sebagai pencapaian ‘moksa’ atau ‘nirvana’.

Di bali kita mewarisi lontar-lontar berbahasa jawa kuno yang menjadi panduan dalam meningkatkan kualitas diri kita dari kw2 atau kw3 menuju jiwa yang ‘orisinil’. Lontar-lontar tersebut antara lain: aji kadyatmikan, aji kamoksan, aji putus, dharma sunya, dharma patanjala, wṛhaspatitattwa, dstnya. ‘amor ring acintya’ di dalam lontar-lontar tersebut mempunyai padanannya yaitu: sūkṣma dan śūnya.

‘amor ring acintya’ adalah tujuan tertinggi semua naskah-naskah tersebut. Di salah satu naskah tersebut, yaitu wṛhaspatitattwa, disebutkan dalil asal muasal kita harus kita pahami jika kita ingin kembali ke asal muasal kita, alam kedewataan. Logikanya: jika mau sampai tujuan kita harus mengenal jalan. Jika kita mau ke asal muasal kita, bagaimana kita sampai ke asal jika tidak mengerti prinsip asalmuasal kehidupan? Bagaimana tidak mengenal jalan berharap sampai di tujuan? Langkah-langkah dalam lontar-lontar di bali disebutkan: pertama mengenal prinsip tattwa atau prinsip penciptaan dan asal muasal. Kedua mengenal jalan, selanjutnya menempuh jalan, dan dijalani dengan penuh ketulus-ikhlasan ketika menempuh jalan. Disebutkan, setelah tahapan-tahapan itu terjalankan dengan kesempurnaan baru kemungkinan sampai tujuan: amor ring acintya.

‘amor ring acintya’ yang dipopulerkan di masyarakat bali tentu sangatlah penting. Setidaknya, kita kembali berulang kali diingkatkan bahwa muasal kita dan tujuan kita adalah sang hyang acintya, maha hening kedewataan tertinggi. Dengan mendengar istilah itu saat seseorang meninggal, kita disapa, diingatkan lagi, diajak kembali menimbang ‘kedewataan asal muasal kita’, dan ‘kedewataan yang akan menjadi tujuan kita’.

Acintya, sūkma dan śūnya, adalah dalil yang terbuka di dalam diri kita, dalam kehidupan kita, dalam kemanusiaan terdalam yang senantiasa menggugah untuk kita masuki dan renungi dengan keheningan mendalam. Celakanya, kita cenderung terlalu banyak berkata-kata untuk menjelaskan ‘yang tak tersentuh pikiran itu’ (acintya). ---- (sumber)

PERJALANAN KE NERAKA

Perjalanan di mulai dari sebuah wilayah yang disebut dengan nama Ayatanastana, “ikang loka pantaraning swarga lawan naraka”, yaitu sebuah wilayah perbatasan diantara surga dan neraka. Ayatanastana adalah sebuah tempat dimana para pitara atau para roh orang yang telah meninggal di periksa dan adili, untuk kemudian dibawa ketempat yang sesuai dengan karmanya. Apakah yang bersangkutan layak mendapatkan kebahagiaan surga atau siksa hukuman neraka. Di tempat ini pula tampak roh atau para pitara yang tengah tergantung, dengan posisi kepala dibawah dan kaki diatas, yang terikat di sebuah batang bambu, yang mana dibawahnya adalah jurang yang sangat dalam. Seekor tikus tampak menggigit dan menggeroti batang bambu tersebut. Hukuman siksa “megantungan petung sawulih”  ini dikatakan akibat dari putusnya keturunan yang bersangkutan. Sungguh pemandangan yang sangat mengiris hati.

Dari Ayatanastana, ke arah selatan adalah arah menuju ke neraka. Dari kejauhan tampak wilayah neraka, namun samar-samar, karena begitu jauh dan luasnya. Jalanan yang dilalui untuk menuju ke neraka sangat berbahaya dan menakutkan. Dengan jurang-jurang yang sangat lebar dan dengan kedalaman yang tidak dapat diukur, serta kegelapan yang bagaikan tak pernah putus. Batu-batu besar menggelinding dan meluncur kencang, menimpa, menabrak dan meremukan siapapun yang tak waspada saat melintas. Tampak ada banyak sekali roh-roh yang tidak bisa melewati tempat ini.

Di tengah jalan secara tiba-tiba muncul kobaran api yang membara sangat besar, “apui umurub angarab-arab”, yang menghalangi dan merintangi perjalanan. Begitu panasnya membuat keringat mengucur deras dan kulit mengkerut. Api itu membakar dan menghanguskan siapapun yang berusaha lewat di tempat itu. terdengar jeritan kesakitan  para roh yang yang terbakar. Bau hangus dan angit menyeruak di udara tatkala kobaran api tersebut membakar roh-roh yang melewati jalanan tersebut.

Setelah berjalan melewati kobaran api tersebut, tibalah di sebuah wilayah yang luas namun sangat-sangat panas. Debu yang sangat tebal berterbangan, begitu menyesakan dan membuat mata sangat pedih. Wilayah yang sangat-sangat luas ini disebut dengan Tegal Pamasaran. Di wilayah yang luasnya hampir tak terukur ini, tumbuh rumput dan ilalang yang sangat tajam bagaikan pedang. Sangat sulit bahkan tidak mungkin bagi para roh untuk mampu melewatinya. Mereka yang berada dan terjebak disini, kepanasan bagaikan terbakar oleh panas teriknya Matahari. “Lud panas ning Diwakara”. Wilayah ini senantiasa kering kerontang dan panas membara. Ditempat ini para roh, berebut saling mendahului untuk memperoleh tempat berteduh, mereka berteduh diantara bebatuan-bebatuan besar disana. Namun tanpa disangka, tiba-tiba bebatuan tersebut saling tercakup, menjepit para roh yang berteduh di situ. Tubuhnya hancur, darahnya muncrat, otaknya berhamburan keluar. Kemudian tampak para roh tersebut berhamburan, berlarian dikejar oleh “paksi krura rupa”, burung-burung pemakan bangkai yang berwujud sangat mengerikan dan menakutkan. Dengan mulut yang menganga lebar dan bulu-bulu yang sangat tajam setajam keris. Ditempat ini terdapat pepohonan yang berbuah keris, “mawah kadga”, yang sangat tajam. Buah-buahnya yang berupa keris yang tajam berjatuhan menimpa siapapun yang lewat dibawahnya. Sungguh pemandangan yang sangat-sangat mengerikan dan membuat siapapun ketakutan.

Berjalan melewati wilayah ini, ada sebuah aliran sungai. Sungai yang sangat besar dan dalam, dengan airnya yang kotor serta panas mendidih. Sungai ini dipenuhi oleh buaya-buaya yang berkepala raksasa yang menakutkan. “Sarodra mungup tang bajul atendas raksasa”. Dengan mulut yang senantiasa menganga, mengintai untuk menenggelamkan dan memangsa siapapun yang mendekat dan berusaha menyeberanginya.

Disini jalanan sangat licin,  karena dipenuhi nanah dan cairan-cairan lemak bangkai yang menjijikan. Tulang belulang berserakan bagaikan kerikil di jalanan. Bau busuk dan bau amis menyebar diudara, menusuk hidung. Lalat berterbangan, ulat belatung, lintah dan berbagai mahkluk neraka yang menjijikan tampak ada disana.

Tempat yang begitu mengerikan dan menakutkan inilah yang disebut neraka, “Yamaniloka”.Tempat kediaman dari Dewa Yama, penguasa kematian. “Sira Bhatara Sang Hyang Yama ngaran ira, sang makawasa wasitwa ngke ring Nirayaloka”. Beliaulah yang berstana dan berkuasa di tempat ini. Di tempat ini, para roh yang semasa hidupnya dipenuhi dengan dosa-dosa memperoleh hukumannya yang setimpal.

Jerit tangis kesakitan dan teriakan minta tolong menggema dari para roh yang sedang menerima hukumannya. Berbagai jenis siksa neraka dapat dilihat disini. Kawah pasir panas tempat para roh bagaikan digoreng, serta berbagai siksa neraka lainnya.

Siapapun tidak akan mampu menolong mereka, para roh tersebut, untuk terbebas dari hukuman neraka tersebut. Namun dengan perbuatan bajik dan doa dari para keluarga dan keturunan mereka, siksa dan penderitaan di neraka akan terasa menjadi lebih ringan. Perbuatan bajik dan doa dari keluarga dan keturunannya, bagaikan rintik-rintik hujan saat panasnya musim kemarau, bagaikan desiran angin sepoi-sepoi saat panas teriknya matahari. Bagaikan setetes air saat dahaga, meskipun setetes namun memberi kelegaan. Meskipun sulit untuk membebaskan para roh tersebut dari siksa hukuman neraka, namun segala perbuatan bajik dan doa-doa keluarga dan keturunannya dapat memberikan sedikit kelegaan bagi mereka atau mungkin bahkan bisa membantu mereka terangkat dari panasnya bara api neraka.

Sehingga, bagi siapapun yang ingin membantu leluhurnya agar terbebas atau teringankan dari siksa neraka serta terangkat dari alam bawah, tidak ada cara lain selain melakukan berbagai perbuatan bajik dan senantiasa mempersembahkan doa-doa yang tulus kepada mereka. Semakin besar kebajikan yang dilakukan oleh keturunan atau Prestisantanannya, serta semakin tulus doa-doa yang dipersembahkan, semakin besar pula kemungkinan para leluhurnya untuk dapat cepat terbebaskan dari siksa hukuman neraka, dan bisa kembali pulang ke Pitralokha atau ke surga

Disarikan dari Adiparwa & Lontar Swargarohanaparwa
Sumber

FILOSOPI TIRTHA

Tirtha (tirta) adalah air suci atau holy water melalui mantra weda yang mampu menumbuhkan perasaan dan atau pikiran suci dari kekotoran fisik dan spiritual, sehingga merupakan simbolis pembersihan Tri Pramana (bayu, sabda, dan idep). Dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu oleh para sulinggih sehingga proses ngarga tirtha yang dihasilkan betul-betul amatlah suci.

Tirta juga disebutkan berasal dari akar kata :

“tr” yang berarti “triyate anena” atau diseberangkan,dengan kata lain orang diseberangkan dari lautan dosa yang dengan jalan tirtha yatra sesungguhnya juga bermakna untuk menyucikan diri dari pengaruh dosa.

Demikian disebutkan tirtha sebagaimana dijelaskan dalam ajaran-ajaran Agama Hindu sesuai dengan adat Bali yang dalam tirthayatra, perjalanan suci atau wisata disebutkan pula bahwa tirtha memiliki pengertian :

Tirtha juga berarti air suci, air kehidupan atau nectar, juga berarti tempat-tempat suci yang ada air sucinya.Disamping itu tirtha juga berati atau memiliki makna sebagai orang-orang suci, karena umumnya orang-orang suci berada ditempat-tempat suci yang ada airnya.

Titha sebagai air suci melalui doa, puja dan mantra weda yang sehabis melaksanakan sembahyang seperti halnya dalam upacara pagedong-gedongan disebutkan dapat diucapkan mantra sebagai berikut :

Dipercikan tiga kali di kepala,

Om Budha pawitra ya namah

Om Dharma maha tirtha ya namah

Om Sanggya maha toya ya namah

Diminum tiga kali, 

Om Brahma pawaka ya namah

Om Wisnu amertha ya namah

Om Iswara jnana ya namah

Diraup tiga kali di kepala, 

Om Siwa sampurna ya namah

Om Sadhasiwa paripurna ya namah

Om paramasiwa suksma ya namah

Melukat, mantra :

Om Salilam wirnalem toyem, toyem tirthasya bajanam Subhiksa ya samataya, dewanam lisana-sanam.

Makurah, nginum, meraup (sebanyak tiga kali), mantra;

Om Pawitram gangga tirthaya, mahabhuta mahodadi Bajra prani maha tirtham, papasanam kalinadem

Kisah dan jenis tirtha dan manfaatnya oleh seorang pinandita atau sulinggih sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan mewinten diceritakan sebagai berikut :

Dahulu tatkala terjadinya pemutaran mandara giri yang diceritakan dalam lontar adi parwa disebutkan Amrta sebagai air suci kehidupan abadi yang muncul dari dasar Ksirarnawa.Tirta Prascita, sebagai sarana untuk penyucian atau mensucikan bangunan, peralatan elektonik atau kendaraan yang baru dibeli, kemalangan / sebel / cuntakadari seseorang atau biasanya dipergunakan terlebih dahulu sebelum suatu upacara yadnya dimulai atau dipuput oleh Pedande / Pandita seperti yang disebutkan dalam kutipan banten prayascita. 

MAKNA UPACARA MEWINTEN

Mewinten atau pawintenan adalah upacara yadnya pewintenan yaitu pembersihan diri secara lahir batin :

Secara lahir, diri dibersihkan atau dimandikan dengan air yang telah disatukan dengan berbagai aneka bunga/kembang;Sedangkan secara batin, memohon kepada Hyang Widhi Tuhan (Yang Maha Esa) agar dapat diberikan penyucian diri, tuntunan dan bimbingan dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat suci seperti kesusilaan, kitab Weda, susastra weda, lalu selanjutnya dapat diamalkan dan dijalankan dalam kehidupan diri sendiri maupun kepada orang lain yang memerlukannya.

Mawinten berasal dari bahasa jawa kuno, mawa arti nya bersinar dan inten arti nya intan (permata) berwarna putih/suci kemilau/bersinar dan mempunyai sifat mulia, bila diuraikan mempunyai pengertian, dengan upacara Mawinten ini orang yang melaksanakannya secara lahir batin akan suci, berkilau dan bersinar bagaikan permata juga dapat bermanfaat bagi orang banyak.

Umat Hindu di Bali meyakini, wajib hukumnya melaksanakan upacara Mawinten ini yang berguna untuk penyucian diri secara lahir batin dan sarat dengan nilai nilai kerohanian yang tinggi dan mendalam. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan oleh siapa saja.

Dalam Mawinten ada 3 tingkatan upacara dan itu tergantung dari keadaan orang yang akan menjalankannya :

Mawinten dengan ayaban pawintenan saraswati sederhana adalah upacara pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan, yang melaksankannya pawintenan ini, yang baru belajar agama, pegawai kantor agama, dll.Mawinten dengan banten ayaban bebangkit upacara medium adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bathara Gana yang berfungsi sebagai pelindung manusia, yang melaksankannya pawintenan ini para tukang, sangging, tukang banten, dll.Mawinten dengan ayaban catur upacara utama adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa : Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang melaksanakannya pawintenan ini para sulinggih : pemangku, dalang, pendeta, dll.

Pada umumnya pelaksanakan upacara Mawinten ini, di lakukan saat menjelang upacara Penyineban atau hari penutupan Piodalan (ulang tahun pura) yang disebut dengan Nyurud Hayu. Nyurud artinya memohon dan Hayu artinya keselamatan. Jadi nyurud hayu adalah memohon keselamatan Kepada Hyang Widhi Wasa, Bhatara-Bhatari dan Leluhur. Upacara Mawinten ini bisa juga dilaksanakan pada saat bulan purnama, dengan maksud agar pembersihan dan penyucian terhadap dirinya benar benar bersih serta terang benderang dan berkilau seperti sinar bulan purnama

Tempat penyelenggaraan upacara Mawinten ini umumnya di Pura. Prosesi Mewinten untuk Pamangku, biasanya dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku, misalnya di
Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dhang Kahyangan, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat atau di Sanggah atau Merajan.

Adapun pemimpin upacara Mawinten adalah seorang Pendeta (sulinggih). Di beberapa desa di Bali atau di luar Bali yang tidak mempunyai pendeta, upacara Mawinten dapat dilaksanakan dengan cara memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa yang diantar oleh pamangku senior, dan Mawinten ini disebut Pawintenan ke Widhi.

Proses upacara Mawinten adalah sebagai berikut :

Upacara persiapan: diawali dengan pembersihan lahir seperti menyapu halaman pura, menata dengan baik alat-alat upacara pawintenan sesuai dengan tempatnya, memasang busana perlengkapan untuk palinggih yang akan dipakai menstanakan Tuhan dan manifestasiNya, upacara penyucian palinggih dengan menghaturkan sesajen.

Upacara menstanakan Tuhan dan manifestasiNya, selanjutnya mempersembahkan upakara-upakaranya dengan tujuan mohon agar beliau berkenan menjadi saksi dalam penyelenggaraan upacara pawintenan tersebut, sehingga upacara berjalan tertib, aman dan lancar.

Upacara – upacara yang terkait dengan mewinten adalah :

Upacara melukat yaitu pembersihan diri dari yang akan diwinten dengan sarana air kelapa muda (klungah) yang telah dijadikan Tirtha oleh pendeta/pinandita melalui doa, puja dan mantra weda. Selanjutnya dipercikkan ke ubun-ubun dan badan yang diwinten.Upacara mabyakala bertujuan memberikan pengorbanan suci kepada mahluk halus (bhutakala) agar tidak mengganggu jalannya upacara.Upacara dengan banten prayascita; memohon kekuatan-kekuatan Tuhan/manifestasiNya agar yang diwinten dapat memiliki pandangan yang suci.Upacara pengukuhan (masakapan / pawiwahan, padudusan, marajah) yaitu upacara penetapan sesuai dengan jenis profesi kepamangkuan yang ditekuni, ditandai dengan sarana penyucian asapnya api (dudus) dan menulisi organ tubuh yang diwinten dengan aksara-aksara suci.Upacara mejaya-jaya.Upacara sembahyang, bertujuan mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa mohon tuntunan dan bimbinganNya agar yang diwinten dapat menjalankan kewajibannya sesuai jenis dan tingkatan pawintenannya.

Upacara Mawinten ini juga merupakan salah satu kewajiban setiap umat Hindu dalam upaya mewujudkan kesejahteraan lahir maupun kebahagiaan bathin (jagadhita dan moksa). Mengingat dari pandangan filosofis upacara Mawinten sarat dengan nilai-nilai

kerohanian,etika,moral, danagama yang tinggi dan mendalam.

Dari rangkaian upacara Mawinten yang disebutkan di atas, mempunyai makna sebagai berikut :

Dengan menenangkan diri dan memusatkan pikiran, maka akan dapat lebih terarah untuk mulai mempelajari ilmu pengetahuan.Mengendalikan diri dan menuntun seseorang untuk berpikir, berkata dan berbuat sesuai dengan ajaran dharma.Merupakan tahapan atau jenjang dalam pendakian spiritual.Meningkatkan kebersihan dan kesucian diri pribadi.Pengabdian, pelayanan kepada Hyang Widhi Wasa dan masyarakat

Bagi mereka yang sudah melaksanakan Mawinten diwajibkan melakukan brata, tapa, yoga, semadhi. Makin tinggi tingkat Mawintennya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, semedhi-nya, dan mereka harus rela melepaskan diri dari unsur ke duniawan. 

NGELUNGAH, UPACARA UNTUK BAYI YANG MENINGGAL

Ngelungah adalah upacara atiwa – tiwa bagi anak-anak yang berumur di atas tiga bulan dan belum tanggal giginya, bila meninggal dunia maka diaben dengan upacara ngaben Ngelungah ini. Kalau bagi anak yang belum berumur tiga bulan, bila meninggal almarhumhanya dikubur saja. Namun, anak yang berumur diatas tiga bulan dan sudah tanggal giginya almarhum diaben seperti orang dewasa demikian disebutkan ngelungah ini dalam sumber kutipan konsep panca yadnya dan filosofi nilai dalam kelangsungan hidup menurut umat hindu yang tata cara dari ngelungah ini disebutkan sebagai berikut :

Mempermaklumkan ke Pura Dalem, dengan upacara: canang meraka, daksina, ketipat kelanan, telor bekasem dan segehan putih kuning.Memaklumkan ke Mraja Pati dengan upacara: canang, ketupat, daksina dan peras.Mempermaklumkan pada sedahan Setra, dengan upacara: canang meraka dan ketipat kelanan.Permaklumkan pada bangbang rare, dengan upacara : sorohan, pengambian, pengulapan, peras daksina, klungah nyuh yang disurat Omkara.Banten pada roh / atman bayi, seperti: bunga pudak, bangsah pinang, karaseb sari, punjang dan banten bajang.Tirta pangrampuh atau pengrapuh yang dimohon di Pura Dalem dan Mraja Pati. Semua tetandingan banten itu tempatkan di gegunduk bangbang, pemimpin upacara yaitu sulinggih memohon pada bhatara/bhatari agar roh bayi cepat kembali menjadi suci. Bila selesai memercikkan tirta, banten ditimbun dan bangbang diratakan kembali.

Menurut Almarhum Ida Pedanda Gede Made Gunung, jawaban belia tentang upacara bayi meninggal adalah : Dalam agama hindu, upacara untuk bayi meninggal dilakukan berbeda dengan upacara pada orang dewasa yang sudah meninggal. Dalam lontar Yama Tatwa disebutkan bahwa bayi yang sudah lahir namun meninggal sebelum mencapai umur 42 hari, haruslah dikubur pada saat itu juga tanpa memerlukan dewasa khusus. Selanjutnya jika pada orang dewasa yang meninggal dilakukan upacara ngaben, maka pada bayi yang meninggal sebelum usia 42 hari tersebut tidak diaben, hanya melakukan upacara nyapuh gumukan.

Sedangkan jika bayi yang meninggal sudah berusia diatas 42 hari namun belum meketus / tanggal gigi, maka dilakukan upacara Ngelungah. Ngelungah disebut juga Ngasturi yaitu rangkaian upacara ngaben dan memukur yang dijadikan satu kesatuan, sehingga jika sudah ngelungah tidak perlu lagi upacara memukur karena pada saat ngelungah sudah menggunakan don bingin. Jika ada anak kecil yang meninggal dan sudah pernah meketus / tanggal gigi, maka pada anak tersebut dilakukan upacara ngaben dan memukur sama seperti orang dewasa.

Jika ada ibu – ibu yang keguguran dan sudah berupa janin, maka janin tersebut haruslah dikubur pada saat itu juga. Tidak diperbolehkan menginapkan mayat janin atau bayi di rumah. Penguburan tersebut dilakukan tanpa memerlukan dewasa dan tanpa membunyikan kulkul banjar, atau disitilahkan ngemaling dan tidak memerlukan upakara khusus, cukup dengan canang sari saja. Sedangkan bagi orang tua yang bayinya meninggal berlaku cuntaka yang berbeda, untuk sang ibu cuntaka selama 42 hari dan si bapak selama 12 hari. 

MAKNA TAPAK DARA

Tapak dara atau sering juga disebut Tampak dara atau Tatorek, merupakan simbol umum yang digunakan dibali, dimana simbol sederhana dari swastika yang digambarkan dengan tanda tambah, biasanya ditulis dengan media bahan kapur mentah atau dalam bahasa bali disebut “Pamor” (limestone) sehingga warnanya menjadi putih. Tapak Dara merupakan simbol penyatuan dwalitas kehidupan (Rwabhineda).

Lambang saling menyilang ini di Bali dikenal dengan tanda Tapak Dara, tanda tambah (+), di India disebut ‘Satiya’. Gambar tapak dara di Bali biasanya digunakan untuk menolak marabahaya atau memberi ketenangan kepada seseorang setelah terjadi sesuatu yang mengejutkan. Tapak Dara biasanya dugunakan saat melaksanakan suatu upacara keagamaan dan juga dipasangkan atau dituliskan pada rumah, digoreskan di beberapa tiang rumah dengan pamor, tentunya ketika dilaksanakan upacara pemlaspas (ritual selametan untuk rumah yang baru dibangun) .

Tanda Tapak Dara (+) sering pula digunakan sebagai pengobatan Tradisional Hindu (Ayur Veda), dimana tanda ini digoereskan dengan pamor (sejenis kapur) disertai dengan Mantra dipasang di telapak tangan sang pasien maupun di telapak kaki pasien khususnya bayi atau anak-anak. dipasang juga pada seorang ibu sedang menyusui, dikejutkan oleh sesuatu, biasanya digoresi lukisan tapak dara dari arang / kapur sirih pada susu dan anaknya (pada sela dahi maksudnya), ialah untuk menolak bahaya atau yang bersifat negatif. Tanda ini kita dapati juga pada kekeb (penutup masak nasi) yang fungsinya juga untuk menolak hal-hal yang sifatnya negatif. di kulkul (kentongan), tetimpug (alat kelengkapan upacara butha yadnya – mecaru) serta tempat-tempat lainnya yang dianggap penting. Oleh karena itu tanda ini dikenal dengan istilah Tapak Dara (Tampak Dara). Mungkin karena hal itulah, lambang Tapak Dara di adopsi oleh Palang Merah, dengan maksud agar roh dari sistem pengobatan dan pertolongan spiritual menyertai anggotanya. dan sampai sekarang “Palang Merah Indonesia (PMI)” menggunakan simbol Tapak Dara.

Tapak dara itu adalah melambangkan jalannya matahari. Jaman dahulu matahari itu dianggap Dewa yang tertinggi, yang di Bali disebut Sang Hyang Siwa Raditya.
secara vertikal,ke atas sebagai lambang untuk berbakti kepada Tuhan,ke bawah wujud kasih sayang pada semua makhluk hidup.Sedangkan silang yang horizontal berarti,wujud pengabdian yang bersifat timbal balik kepada sesama umat manusia.

Tapak Dara yang dalam simbol modre (+) selanjutnya disebutkan perkembangannya,
menjadi simbol Swastika yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Bhuana Agung (Makrokosmos) dan Bhuana Alit (Mikrokosmos)Menjadi cerminan Sang Hyang Rwa Bineda, sehingga kelihatanada siang ada malam, ada laki – laki ada perempuan, baik dan buruk.
Dalam daksina, Tapak dara berada didasar bedog, dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampak adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.

Dari segi bentuk, dalam makna simbol “tapak dara” tersebut diatas juga disebutkan bahwa, simbol ini tampaknya sangat lokal. Namun, di balik simbol dalam bentuk lokal tersebut terdapat makna yang bernilai universal yang dalam beberapa penggunaannya disebutkan sebagai berikut :
Tapak dara yang digunakan dalam banten pejati sebagai sarana yadnya, disebutkan pula merupakan simbol keseimbangan antara alam makro kosmos dan mikro kosmos.Pada setiap Sasih Kaenem umumnya terjadi wabah yang disebut gering, sasab dan merana.

Gering, wabah yang menimpa manusia.(Pelaksanaan “Caru karang gering”; Bhuta Yadnya Untuk Mensucikan Palemahan untuk menghindari penghuninya selalu kesakitan)Sasab, wabah penyakit yang menimpa ternak, sedangkanMerana, wabah yang menimpa tumbuh-tumbuhan.(Biasanya upacara nangluk merana dilaksanakan untuk menangkal atau mengendalikan gangguan – gangguan yang dapat membawa kehancuran atau penyakit pada tanaman tersebut)
Sebelum wabah itu muncul umat Hindu Bali umumnya mengenakan simbol tapak dara di depan pintu masuk rumah masing-masing yang disertai juga daun pandan berduri yang disebut pandan wong disertai dengan benang tri dhatu yaitu benang merah, hitam dan putih dililitkan menjadi satu.

Dalam pengobatan tradisional. Tanda tapak dara dari pamor atau kapur sirih sering digoreskan oleh balian pada bagian tubuh yang dirasakan sakit,sesungguhnya mengandung makna universal.Disebut tapak dara yang juga karena bentuknya menyerupai bekas kaki burung dara atau burung merpati. Hal ini melambangkan simbol Swastika dalam bentuk khas budaya Hindu di Bali.

Dalam ajaran Hindu alam beserta isinya ini berproses dalam tiga tahap yaitu
Srsti, keadaan alam baru dalam proses tercipta.Swastika, proses alam dalam keadaan stabil serba seimbang.Pralaya, proses yang alami menjadi kembali pralina menuju sumbernya yaitu kepada Sang Pencipta.

Jadi tapak dara itu sebagai lambang keseimbangan. Ini artinya, munculnya tanda tapak dara di Bali ini sepertinya untuk mengingatkan kita agar selalu bersikap dan berbuat seimbang. 

PENUNGGUN KARANG ATAU SEDAHAN KARANG

Hasil gambar untuk penunggun karangPenunggun Karang dalam Sastra Dresta disebut Sedahan Karang (di perumahan) untuk membedakan dengan Sedahan Sawah (di sawah) dan Sedahan Abian (di kebun/ tegalan/ abian). Untuk Bali, melindungi senyawa rumah, isi dan penghuni sebuah rumah adalah tugas besar yang tidak dapat ditangani secara efektif oleh dinding dan gerbang saja, terutama ketika berhadapan dengan gangguan mistis. Untuk gangguan Bali mistis nyata seperti yang fisik dan beberapa Bali lebih menekankan pada gangguan mistis ketika berhadapan dengan melindungi masalah rumah karena tidak dapat dirasakan dengan kasat mata dan terbukti lebih sulit untuk menangani daripada gangguan fisik semata.

Bali percaya bahwa gangguan mistis harus ditangani oleh wali mistis karena manusia biasa tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menembus ke dalam alam mistis meskipun seseorang memiliki cukup pengetahuan kekuatan mistis dia tidak bisa tetap waspada dalam rangka untuk menjaga rumahnya dari serangan mistis. Rumah khas Bali biasanya memiliki dua tempat bangunan suci yang keduanya memeiliki fungsi bertindak sebagai wakil penghuni di alam mistis. Tempat suci tersebut terletak di dalam kompleks rumah. Tempat tersebut adalah Sanggah pemerajan dan Sanggah Pengijeng karang

Sanggah Pengijeng karang

Sering juga disebut dengan Tugu Pengijeng, Penunggun Karang atau Tugun Karang atau Tugu Karang, diterjemahkan secara harfiah menjadi “kuil untuk penjaga rumah”
kata “sanggah / tugu” berarti “tempat / bangunan suci”,kata “pengijeng” berarti penjaga. (berasal dari kata “ngijeng” berarti “untuk menjaga” atau “untuk tinggal di rumah”) dankata “karang” berarti “halaman rumah”.

Sanggah pengijeng karang adalah bangunan beratap dengan permanen. ini terletak dalam rumah, Sedahan Karang boleh ditempatkan di mana saja asal pada posisi “teben” jika yang dianggap “hulu” adalah Sanggah Kemulan, kurang lebih di sisi barat laut kompleks rumah atau sisi barat bangunan “bale daja”, memiliki fungsi pelindung, penjaga, wakil dan pengasuh penghuni rumah beserta isi dari pekarangan rumah tersebut.

Bangunan ini didedikasikan untuk Kala Raksa, atau Bhatara Kala – dewa roh-roh jahat. Bali percaya bahwa ketika mereka menggunakan dewa roh jahat sebagai wali, logis, tidak ada roh jahat akan berani mengganggu lingkungan rumah dan penghuninya. Seperti hal-hal lain di Bali, tidak ada keseragaman dalam nama dan fungsi dari bangunan kuil ini. Beberapa Bali mengatakan itu didedikasikan untuk Bhatara Surya, matahari. Lain mengklaim memiliki hubungan dengan tepuk kanda (kanda pat) – empat saudara spiritual dari setiap orang Bali. Kuil ini kadang-kadang digambarkan sebagai untuk keluarga. Kata “keluarga” di sini bisa berupa fisik keluarga yang tinggal dalam dinding-dinding rumah atau senyawa untuk pat kanda – keluarga mistis yang tinggal di alam mistis.

Sedahan Karang dalam Lontar Sudamala

dalam Lontar Sudamala disebutkan bahwa Sang Brahman Tuhan Yang Maha Esa, turun ke semesta dengan dua perwujudan yaitu sang hyang wenang dan sang hyang titah. Setelah itu beliau memiliki fungsi sebagai berikut:
Hyang Titah menguasai alam Mistis termasuk didalamnya alam Dewa dan Bhuta kala, sorga dan neraka bergelar Bethara Siwa yang kemudian menjadi Hyang Guru, sedangkanHyang Wenang turun ke mercapada, dunia fana ini berwujud semar atau dalam susatra bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini.

Dalam aplikasinya, Hyang Titah berstana di “hulu” yaitu komplek Sanggah pemerajan, sedangkan Hyang Wenang berstana di “Teben” yaitu di komplek Bangunan Perumahan berupa sedahan karang. Mengenai bentuk bangunan juga menyerupai penokohan yang berstana didalamnya. Misalnya: stana hyang guru selalu diidentikan dengan kemewahan dan diatasnya menggunakan tutup “gelung tajuk” atau sejenisnya sebagai perlambang penguasa sorga. Sedangkan sedahan karang bentuknya menyerupai bentuk pewayangan “Malen” yaitu sederhana tapi kekar dengan atasan menyerupai hiasan “kuncung” seperti bentuk ornament kepala dari wayang semar.

Sedahan Karang dalam Lontar Kala Tatwa

Dalam lontar Kala Tattwa disebutkan bahwa Ida Bethara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang/ Sawah/ Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang, atau Patih.
Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh mahluk-mahluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahluk-mahluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan.

Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian. Dalam kala tatwa juga disinggung mengenai lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, dimana Dewa Kala dikatakan lahir saat dina kajeng klion nemu dina saniscara yang dibali dengan istilah “tumpek”. Jadi baiknya disarankan agar odalan Sedahan Karang disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana disana yaitu saat “tumpek”. Untuk itu silahkan dipilih Tumpek yang mau dijadikan odalan Sedahan Karang dari sekian banyak hari raya Tumpek dibali untuk menghormati keberadaan Dewa Kala.

Sedahan Karang dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi

dalam perhitungan dasar Asta Bhumi, pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dr sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama. seperti gambar disamping. sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. adapun pembagian posisi tersebut antara lain:

posisi utamaning utama adalah tempat “Sanggah Pemerajan”posisi madyaning utama adalah tempat “Bale Dangin”posisi nistaning utama adalah tempat “Lumbung atau klumpu”posisi madyaing utama adalah tempat “Bale Daje atau gedong”posisi madyaning madya adalah tempat “halaman rumah”posisi nistaning madya adalah tempat “dapur atau pawon / pasucian”posisi nistaning Utama adalah tempat “Sedahan Karang“posisi nistaning Madya adalah tempat “bale dauh, tempat tidur”posisi nistaning Nista adalah tempat “cucian, kamar mandi dll” biasanya digunakan tempat garase sekaligus “angkul- angkul” gerbang rumah.

setelah mengetahui posisi yang tepat sesuai dengan Asta Bhumi diatas untuk posisi sedahan karang, selanjutnya menentukan letak bangunan Sedan Karang tersebut. yaitu dengan mengunakan perhitungan Asta Kosala Kosali, dengan sepat atau hitungan tampak kaki atau jengkal tangan. perhitungannya dengan konsep Asta Wara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, kala, Uma). adapun perhitungannya:
untuk pekarangan yang luas ( sikut satak ), melebihi 4 are atau sudah masuk perhitungan “sikut satak”, posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara menuju Kala ( 7 tapak ) dan dari sisi barat menuju Yama ( 4 tampak ).adapun alasannya adalah:sesuai dengan fungsi Sedahan karang yaitu sebagai pelindung dan penegak kebenaran yang merupakan dibawah naungan dewa Yama dipati (hakim Agung raja Neraka), serta tetap sebagai penguasa waktu dan semua kekuatan alam yang merupakan dibawah naungan Dewa kala. ini dimaksudkan agar Sedahan Karang berfungsi maksimal sesuai dengan yang telah diterangkan diatas tadi.untuk pekarangan sempit yaitu pekarangan yang kurang dari 4 are seperti BTN, posisi Sedahan Karang dihitung dengan: dari utara  dan barat cukup menuju Sri atau 1 tampak saja. dengan maksud agar bangunan tersebut tetap berguna walau tempatnya cukup sempit, tapi dari segi fungsi tetap sama.

Menurut bapak Made Purna, salah satu narasumber dari desa Guwang Sukawati. Rumah dikatakan sebagai replika kehidupan kemasyarakatan. dimana setiap bangunan rumah adat bali tersebut memiliki fungsi yang sangat mirip dengan fungsi bangunan / pura di tingkat desa perkaman. diantaranya:
Sanggah Pemerajan merupakan Sorga, tempat berstana dan berkumpulnya istadewata / dewata nawa sanga, atau merupakan simbol Pura Dalem,Bale Dangin, merupakan simbol Bathara Guru, dimana setiap upacara adat selalu diselenggarakan di bale ini, sehingga bale ini sering juga disebut bale bali (bali = wali = upacara),Bale Daja, merupakan simbol Bathara Sri Sedhana, simbol kewibawaan, tempat penyimpanan harta benda, sehingga sering juga disebut dengan istilah Gedong, atau Bale penangkilan (tempat tamu menunggu),Bale Dauh, merupakan simbol Dewa Mahadewa, balai sosial tempat beristirahat,Bale Delod, biasanya digunakan sebagai dapur atau Paon, merupakan simbol Dewa Brahma, Dewa Agni, merupakan sumber pembakaran, pemunah tapi merupakan sumber kesejahtraan,Sumur merupakan simbol Dewa Wisnu yang merupakan pemelihara lingkungan rumah,Bale Lumbung atau Klumpu, merupakan simbol Dewi Sri, tempat menyimpan makanan,Lebuh tempat ditanamnya Ari-ari, merupakan simbolHyang Bherawi, penguasa kuburanSedahan Karang merupakan simbol Hyang Durga Manik, merupakan Pura Prajapatinya atau ulun kuburan di rumah.

Jadi simbolis Hulu adalah Pura dalem (sanggah pemerajan), Teben adalah lebuh natah, tempat ari-ari yang memiliki pura prajapati bernama Sedahan Karang.
Yang perlu diperhatikan, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat:
pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara”sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu: merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang”,dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mangdi madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kwangen dengan uang 200, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatudi pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura.

Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tattwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butacuil.
Jika sedahan karang di-”urip” dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram, penuh kedamaian. 

MAKNA PANCA SEMBAH

Image result for MUSPAUmat Hindu mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah Panca Sembah. Panca Sembah merupakan ritual doa umat Hindu sebagai wujud Bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun mungkin jg sebagian banyak umat Hindu belum sepenuhnya mengerti tujuan dari Panca Sembah tersebut serta Siapa yg kita puja saat melakukan Panca Sembah. Berikut Mandala Suci akan memberikan pengertian tentang makna dan tujuan dari Panca Sembah :



1. Sembah pertama merupakan sembah puyung atau sembah dengan tangan kosong yang ditujukan kepada Ida Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Sang Hyang Parama Atma. Tujuan dari sembah puyung ini adalah untuk menyatukan (nunggalang) Atma dengan diri sehingga Bakti kita kepada Tuhan menjadi nyambung.

2. Sembah kedua menggunakan sarana Bunga, biasanya menggunakan bunga warna putih atau Kuning yang ditujukan kepada Ida Hyang Siwa Raditya. Tujuan dari sembah kedua ini adalah Mohon Penyaksian dari Beliau agar prosesi Sembahyang kita disaksikan dan dituntun secara Niskala oleh Beliau.

3. Sembah ketiga menggunakan sarana Kwangen atau Bunga warna yang ditujukan kepada Manifestasi Hyang Widhi tempat kita sembahyang. Misalnya saat sembahyang di Pura Puseh berarti sembah kita ditujukan Kepada Dewa Wisnu dan Bhatari Sri yang berstana di Pura Puseh. Tujuan dari sembah ketiga ini adalah sebagai sujud bakti kita kepada Manifestasi Tuhan yang berstana di Pura Tersebut atas anugrah dan tuntunan yang telah diberikan kepada kita. Oleh karena itulah sebagai Umat kita harus mengetahui di masing-masing Pura siapa Manifestasi Tuhan yang berstana disana sehingga kita lebih mudah dalam menyebut dan memuja Beliau.

4. Sembah ke empat menggunakan sarana Kwangen atau Bunga, ditujukan kepada Manifestasi Tuhan yang berstana di Pura tempat kita sembahyang untuk memohon anugrah dari Beliau agar masuk ke dalam diri. Pada prosesi inilah kebanyakan Umat belum bisa merasakan dengan betul Anugrah yang Beliau turunkan ke dalam diri karena Pintu Rohani / Cakra dalam diri masih tertutup. Padahal inilah ritual yang sangat penting yang seharusnya dilakukan karena dengan bisa merasakan dan menerima anugrah Tuhan secara langsung maka otomatis diri kita akan mendapat Perlindungan, Kekuatan, dan Tuntunan hidup yang luar biasa dari Tuhan sehingga Hidup kita menjadi lebih mudah dan terbebas dari gangguan orang2 jahat yang ingin menggangu kita dengan kekuatan ilmu hitam. Disinilah perlunya semua Umat untuk membuka Pintu Rohani / Cakra terlebih dahulu agar bisa menerima secara langsung Anugrah Sinar Suci yang diberikan oleh Tuhan saat kita sembahyang.

5. Sembah kelima menggunakan sarana tangan kosong / tanpa sarana yang bertujuan untuk mengucap Syukur dan Terima Kasih atas Tuntunan dan Anugrah yang diberikan saat kita Sembahyang.

Demikian sekilas mengenai makna, fungsi, dan tujuan dari Panca Sembah. Semoga bermanfaat kepada Semeton Mandala Suci serta Umat Hindu Semuanya.

URUTAN PANCA SEMBAH DAN MANTRANYA


Urutan – urutan sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama adalah seperti di bawah ini, dengan catatan apabila dipimpin oleh Sulinggih atau Pinandita maka umat melafalkan mantram/doa di dalam hati.

1) Sembah tanpa bunga (Muyung)

Mantram:

OM ATMA TATTVATMA SODDHA MAM SVAHA

Artinya:

Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.

2) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.

Mantram:

OM ADITYASYAPARAM JYOTI
RAKTA TEJO NAMO’STUTE
SVETAPANKAJA MADHYASTHAH
BHASKARAYO NAMO’STUTE

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.

3) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.

Mantram:

OM NAMO DEVAYA, ADHISTHANAYA, SARVA VYAPI VAI SIVAYA, PADMASANA EKAPRATISTHAYA, ARDHANARESVARYAI NAMO NAMAH SVAHA

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.

4) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.

Mantram:

OM NUGRAHAKA MANOHARA,
DEVA DATTANUGRAHAKA,
ARCANAM SARVA PUJANAM,
NAMAH SARVANUGRAHAKA,
OM DEVA DEVI MAHASIDDHI,
YAJNANGGA NIRMALATMAKA,
LAKSMI SIDDHISCA DIRGHAYUH
NIRVIGHNA SUKHA VRDDHISCA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.

5) Sembah tanpa bunga (Muyung).

Mantram:

OM DEVA SUKSMA PARAMACINTYAYA NAMAH SVAHA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.

6) Metirtha.

Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:

OM PRATAMA SUDHA, DVITYA SUDHA, TRITYA SUDHA, CATURTI SUDHA, PANCAMI SUDHA, SUDHA, SUDHA, SUDHA VARIASTU NAMAH SVAHA.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormat kepada-Mu.

Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:

Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:
OM ANG BRAHMA AMRTHA YA NAMAH
OM UNG WISNU AMRTHA YA NAMAH
OM MANG ISVARA AMRTHA YA NAMAH

Artinya:

Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Mu semoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).

1. Minum Tirtha tiga kali:

OM SARIRA PARIPURNA YA NAMAH,
OM ANG UNG MANG SARIRA SUDHA,
PRAMANTYA YA NAMAH,
OM UNG KSAMA SAMPURANYA NAMAH.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur segala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih, terang dan sempurna.

Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:
OM SIVA AMERTHA YA NAMAH,
OM SADHA SIVA AMERTHA YA NAMAH,
OM PARAMA SIVA AMERTHA YA NAMAH.

Artinya:

Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semoga memeberi amrtha pada hamba.

7) Memasang bija:

Bija untuk di dahi:
OM SRIYAM BHAVANTU

(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba).

Bija untuk di bawah tenggorokan:
OM SUKHAM BHAVANTU

(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).



Bija untuk ditelan:
OM PURNAM BHAVANTU
OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SVAHA.

(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).

8) Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:

OM SANTIH, SANTIH, SANTI OM