Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM,
Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar – besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi – Tuhan Yang Maha Esa serta Batara – Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.
Lahirnya Panca Tirta
Pada tahun Çaka 27 (th 105 M) Gunung Agung meletus lagi dengan sangat hebatnya, entah hal-hal apa yang terjadi pada waktu itu. Beberapa tahun kemudian, tahun Çaka 31 (th 109 M), Betara Tiga beryoga di Puncak Tohlangkir (Gunung Agung), untuk membersihkan Nusa Bali tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Kliwon, wara Kulantir, dikala bulan Purnama raya, Sasih Kelima, atas kekuatan yoga Betara Tiga, Gunung Agungpun meletus lagi dengan sangat hebatnya.
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Bali yang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.
Akibat dari kekuatan/kesucian yoganya Betara kalih, Gunung Agung menambah hebat letusannya lagi, keluar banjir api dari lubang kepundannya, kilat, gempa berkesinambungan, hujan sangat lebatnya, dentuman-dentuman suara letusan tiada hentinya. Maka dari kekuatan yoga Hyang Agni Jaya, keluar dari Panca Bhayunya seorang laki-laki bernama Mpu Withadharma. Alkisah Mpu Withadharma alias Çri Mahadewa melakukan yoga semadi dengan teguh dan disiplin. Dari kekuatan Panca Bhayunya lahirlah dua orang anak laki-laki dan diberi nama Mpu Bhajrasattwa alias Mpu Wiradharma dan adiknya diberi nama Mpu Dwijendra alias Mpu Rajakertha.
Mpu Dwijendra kemudian melakukan yoga semadhi. Berkat yoga semadhinya itu, lahirlah dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Gagakaking alias Bukbuksah dan adiknya bernama Brahmawisesa. Selanjutnya, Brahmawisesa melakukan yoga semadhi, dari kekuatan Panca Bhayunya, lahirlah dua anak laki-laki, masing-masing bernama Mpu Saguna dan Mpu Gandring. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring sendiri. Sedang Mpu Saguna, dari yoga semadhinya melahirkan seorang putra laki-laki bernama Ki Lurah Kepandean, yang selanjutnya menurunkan Wang Bang yaitu Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande).
Adapun Mpu Bhajrasattwa, berkat yoga semadhinya, menurunkan seorang putra bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Kemudian Mpu Tanuhun juga melakukan yoga semadhi, kemudian dari kekuatan bhatin dan Panca Bhayunya, beliau menurunkan lima orang putra yang juga dikenal dengan sebutan Panca Tirtha (Panca Sanak). Kelima putranya tersebut antara lain :
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Bali yang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.
Akibat dari kekuatan/kesucian yoganya Betara kalih, Gunung Agung menambah hebat letusannya lagi, keluar banjir api dari lubang kepundannya, kilat, gempa berkesinambungan, hujan sangat lebatnya, dentuman-dentuman suara letusan tiada hentinya. Maka dari kekuatan yoga Hyang Agni Jaya, keluar dari Panca Bhayunya seorang laki-laki bernama Mpu Withadharma. Alkisah Mpu Withadharma alias Çri Mahadewa melakukan yoga semadi dengan teguh dan disiplin. Dari kekuatan Panca Bhayunya lahirlah dua orang anak laki-laki dan diberi nama Mpu Bhajrasattwa alias Mpu Wiradharma dan adiknya diberi nama Mpu Dwijendra alias Mpu Rajakertha.
Mpu Dwijendra kemudian melakukan yoga semadhi. Berkat yoga semadhinya itu, lahirlah dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Gagakaking alias Bukbuksah dan adiknya bernama Brahmawisesa. Selanjutnya, Brahmawisesa melakukan yoga semadhi, dari kekuatan Panca Bhayunya, lahirlah dua anak laki-laki, masing-masing bernama Mpu Saguna dan Mpu Gandring. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring sendiri. Sedang Mpu Saguna, dari yoga semadhinya melahirkan seorang putra laki-laki bernama Ki Lurah Kepandean, yang selanjutnya menurunkan Wang Bang yaitu Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande).
Adapun Mpu Bhajrasattwa, berkat yoga semadhinya, menurunkan seorang putra bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Kemudian Mpu Tanuhun juga melakukan yoga semadhi, kemudian dari kekuatan bhatin dan Panca Bhayunya, beliau menurunkan lima orang putra yang juga dikenal dengan sebutan Panca Tirtha (Panca Sanak). Kelima putranya tersebut antara lain :
1. Sang Brahmana Panditha (Mpu Gni Jaya).
2. Mpu Mahameru (Mpu Semeru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Beradah (Peradah)
2. Mpu Mahameru (Mpu Semeru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Beradah (Peradah)
Semua telah menjadi wiku. Semenjak beliau masih kecil-kecil, semuanya tekun menjalankan swadharmanya masing-masing.
Selanjutnya dari yoga Hyang Putra Jaya, lahir dua orang putra putri masing-masing bernama, yang laki bernama Betara Ghana dan yang perempuan bernama Betari Manik Gni. Ketujuh putra-putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya, pergi ke Gunung Semeru, menghadap Hyang Pasupati, untuk memperdalam ajaran agama dan kependetaan. Setelah sama dewasa dan telah sama tamat dalam hal menuntut ilmu, maka Betari Manik Gni dikawini oleh Sang Brahmana Panditha, sejak perkawinannya itu Sang Brahmana Panditha, berganti nama Mpu Gni Jaya. Setelah sekian lama putra putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya berada di Gunung Semeru, pada suatu hari yang baik, Hyang Pasupati bersabda kepada cucu-cucunya, sabda Betara Kasuhun: “Wahai cucu-cucuku semua, kamu telah sama dewasa dan telah tamat dari menuntut ilmu, demikian juga telah sama menjadi Pendeta, aku memberi ijin kepadamu untuk kamu kembali ke Nusa Bali menghadap orang tuamu, turut menjaga Nusa Bali”. Demikian sabda Hyang Pasupati
Selanjutnya dari yoga Hyang Putra Jaya, lahir dua orang putra putri masing-masing bernama, yang laki bernama Betara Ghana dan yang perempuan bernama Betari Manik Gni. Ketujuh putra-putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya, pergi ke Gunung Semeru, menghadap Hyang Pasupati, untuk memperdalam ajaran agama dan kependetaan. Setelah sama dewasa dan telah sama tamat dalam hal menuntut ilmu, maka Betari Manik Gni dikawini oleh Sang Brahmana Panditha, sejak perkawinannya itu Sang Brahmana Panditha, berganti nama Mpu Gni Jaya. Setelah sekian lama putra putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya berada di Gunung Semeru, pada suatu hari yang baik, Hyang Pasupati bersabda kepada cucu-cucunya, sabda Betara Kasuhun: “Wahai cucu-cucuku semua, kamu telah sama dewasa dan telah tamat dari menuntut ilmu, demikian juga telah sama menjadi Pendeta, aku memberi ijin kepadamu untuk kamu kembali ke Nusa Bali menghadap orang tuamu, turut menjaga Nusa Bali”. Demikian sabda Hyang Pasupati
PASEK SANAK SAPTA RSI
Mpu Gnijaya
Menikah dg Bidadari Manik Geni
di Daha Kahuripan Jaman Prabu Airlangga
I
Mpu Ketek
di Kediri
Menikah dg anaknya
Arya Padang Subadra
seorang Arya yang berkuasa
di Padang Subadra
Wilayah kerajaan Kediri
I
1--------------------------------------------------2
Sanghyang Pemacekan Arya Kepasekan
Menjadi Sulinggih di Pemacekan menjadi Arya di Kepasekan
Wilayah Kerajaan – Kediri wilayah Kerajaan Kedirii
Jawa Timur Jawa Timur
I I
1--------------------2 1------------------2---------------------------3
1--------------------2 1------------------2---------------------------3
Mpu Pemacekan Dewi Luh Pasek KGA. Pemacekan I KGA. Kepasekan
Melanjutkan Girinata menjadi penguasa menjadi penguasa
Profesi leluhurnya wilayah Pemacekan di wilayah Kepasekan
Menjadi sulinggih Wilayah Kediri Kediri –Jawa Timur
Di Griya Pemacekan
Kediri Jawa Timur
I
I
1-----------------------2-------------------------------------------------------3
Luh Ayu Ler Mpu Jiwanata Arya Pemacekan I
Anggota Dang Menjadi Arya di Pacekan
Upadhyaya dekat Tuban-Wilayah
Di Majapahit (Majapahit)
I I
I I
1 1--------------------2-------------------3------------------4
K.G.A Padang Subadra II Luh Pasek KGA. Pemacekan II Kiyayi Kiayi
Menjadi penguasa di Wilayah menjadi penguasa Mandala Umbaran
Padang Subadra-dikirim ke Bali di Pacekan (Arya Pacekan)
pada Invasi Majapahit th.1343 dekat Tuban dikirim ke Bali
menyertai Gajah Mada. Dikirim ke Bali saat pemberontakan
menyertai Baliaga th. 1352
Gajah Mada
th. 1343
I
I
1--------------------------------------------------2
Kiyayi Gusti Agung Pasek Subadra II Pangeran Tohjiwa
berperan pada awal Gelgel berperan pada awal Gelgel
I I
I I
1---------------------------------------2 1
Pasek Subadra Pasek Kurubadra Pasek Tohjiwa
menjadi pandita (dukuh Suladri)
Di Taman Bali- Bangli
Putra tertua Mpu Gnijaya adalah Mpu Ketek, beliau bersama ke enam saudaranya berasrama di Kuntoliku – di pinggir sungai Kunto – di lembah pengunungan Kelud – Wilayah Kediri – Jawa Timur. Adapun ke 7 (tujuh) anak-anak Mpu Gnijaya yang dikenal sebagai Sanak Pituadalah :
1. Mpu Ketek
2. Mpu Kananda
3. Mpu Wiradnyana
4. Mpu Witadharma
5. Mpu Ragarunting
6. Mpu Prateka
7. Mpu Dangka
Mpu Ketek menikahi putri seorang Arya Kediri yang berkedudukan di Wilayah Padang Subadra (Arya Padang Subadra). Dari pernikahan Mpu Ketek dengan putrinya Arya Padang Subadra dikaruniai 2 orang putra yaitu :
1. Sanghyang Pemacekan : melanjutkan profesi orang tuanya menjadi sulinggih/Brahmana berasrama di Griya Pemacekan – wilayah Kediri Jawa Timur
2. Arya Kepasekan : menjadi Arya/Patih di Kediri dengan kedudukan di wilayah Kepasekan (kini dusun Kepasekan) – Wilayah Kediri – Jawa Timur.
Sanghyang Pemacekan menikahi mindon-nya yang bernama Ni Dewi Dwaranika - anaknya Mpu Ciwagandu-cucu Mpu Beradah, mempunyai putra dan putri bernama :
1. Mpu Pemacekan : melanjutkan sebagai Sulinggih/Brahmana di Griya Pemacekan-Jawa Timur,
2. Ni Dewi Girinata seorang putri, diambil istri oleh Mpu Lampita. Dari pernikahan Ni Dewi Girinata dengan Mpu Lampita melahirkan putra bernama Mpu Dwijaksara. Mpu Dwijaksara dikirim ke Bali ( kira-kira tah. 1320 -an) oleh Gajah Mada atas perintah Raja kalagemet Raja Majapahit (1309-1328 M) berasrama di Gelgel.
Mpu Dwijaksara berangkat ke Bali disertai oleh keluarganya - diantaranya anaknya yang bernama Mpu Jiwaksara.
Pada Saat Sri Tapohulung naik Tahta Kerajaan Bali tahun 1337-1343 Mpu Jiwaksara diangkat sebagai Patih Amangkubumi bergelar Ki Patih Ulung – Seorang Patih Amangkubumi-nya Sri Tapohulung/ Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
Pada Masa transisi pemerintahan dari Raja Bedahulu/Sri Tapohulung ke Jaman Majapahit – Ki Patih Ulung (d/h. Mpu Jiwaksara) diangkat sebagai Adipati/Raja Bali - dibawah Raja Majaphit bergelar Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel berkedudukan di Gelgel –Klungkung-Bali.
Pada tahun 1222 para Brahmana di Kediri berselisih dengan Dangdang Gendis/Kertajaya-penguasa/raja Kediri, sehingga Mpu Pemacekan bersama sanak saudaranya pergi meninggalkan Kediri menuju Pasuruan (keluarga yang lain ada yang ke Tumapel). Pada saat Raden Wijaya memproklamasikan berdirinya Majapahit, anak cucu dan kerabat Mpu Pemacekan diundang ke Majapahit untuk membantu kerajaan yang baru berdiri.
Mpu Pemacekan di Pasuruan mempunyai 3 Orang Putra-putri yaitu :
1. Ni Luh Ayu Ler
2. Mpu Jiwanata : pindah ke Majapahit pada saat Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit dan menjabat sebagau anggota Dang Updahyaya ketajaan Majapahit
3. Arya Pemacekan – pindah ke Majapahit – diangkat menjadi Arya Majapahit berkedudukan di Wilayah Pacekan (sesuai dengan nama yang dibawanya dari Kediri) – Dekat Tuban – Jawa Timur, karena berkedudukan di Pacekan maka Arya Pemacekan disebut juga Arya Pacekan. Pemacekan di Kediri dan Pacekan di Majapahit (dekat Tuban) merupakan nama penghormatan terhadap sesepuh atau penguasa di daerah tersebut yaitu Mpu Pemacekan orang tua dari Arya Pemacekan yang berasal dari Kediri yang kemudian menetap di daerah tersebut.
Arya Pemacekan di Majapahit (Pacekan) mempunyai 4 orang Putra dan Putri yaitu:
1. Luh Pasek
2. Kiyayi Gusti Agung Pemacekan/Ki Ageng Pemacekan bekedudukan di Pacekan – Dekat Tuban- Majapahit Jawa Timur
3. Kiayi Mandala : menjadi Arya di Pacekan
4. Kiyayi Umbaran menjadi Arya di Pacekan
KGA Pemacekan, atau lebih dikenal sebagai Arya Pacekan (II) dikirim ke Bali menyertai Gajah Mada menyerang kerajaan Bali dari Wilayah Bondalem pada tahun 1343, sedangkan Kiyayi Mandala dan Kiayi Umbaran yang lebih dikenal sebagai Arya Pacekan (sesuai dengan nama tempat tinggalnya) dikirim ke Bali pada saat rakyat Bali Aga memberontak terhadap pemerintahan Dalem Sri Kresna Kepakisan tahun 1352. Keturunan Kiyayi mandala dan Kiyayi Umbaran masih dalam pelacakan, apakah mereka pulang ke Jawa atau mempunyai keturunan di Bali?. Dalam beberapa babad yang ada di Bali ada yang disebut Gusti Kaler Pacekan pejabat kerajaan Bali pada masa Raja Gelgel V (Dalem Di Made) - tetapi dalam babad-babad tersebut mereka disebut berasal dari Trah Airlangga di Kepakisan-Kediri Jawa Timur- bukan Trah Pemacekan-Kediri ataupun trah Pacekan-Majapahit.
Anak Mpu Jiwanata yang bernama KGA. Padang Subadra (II) diangkat menjadi penguasa di Padang Subadra-Sekitar Kediri-yang sudah dikuasai Majapahit. KGA.Padang Subadra (II) dikirim ke Bali pada invasi Majapahit ke kerajaan bali th. 1343-menyertai Gajah Mada menyerang Kerajaan bali dari arah Tianyar.
Anak Mpu Ketek yang lain bernama Arya Kepasekan-menjadi Arya di wilayah Kepasekan –Kediri - Jawa Timur. Arya Kepasekan mempunyai 2 (dua) Putra dan 1 (satu) Putri anak yaitu :
1. Luh Pasek. Luh Pasek menikah dengan sepupunya KGA. Padang Subadra (pewaris Arya Padang Subadra – Kediri - Jawa Timur) mempunyai putra diberi nama KGA Pasek Padang Subadra – melanjutkan dinasti Padang Subadra di Jawa Timur
2. Kiyayi Gusti Agung Pemacekan I/Ki Ageng Pemacekan – menjadi penguasa di Wilayah Pemacekan-Kediri-Jawa Timur
3. Kiyayi Gusti Agung Kepasekan/ Ki Ageng Kepasekan – menjadi penguasa di Kepasekan – Kediri- Jawa Timur.
Kiyayi Gusti Agung Kepasekan I dikirim ke Bali oleh Raja Kertanegara pada invasi raja Kertanegara (singhasari) th.1286, di Bali beliau mempunyai 2 orang Putra yaitu K. Gusti Pasek Gelgel dan K.Gusti Pasek Denpasar.
Jadi 3 (tiga) wilayah di Jawa Timur yaitu Pemacekan, Kepasekan dan Padang Subadra, kemudian secara turun temurun dikuasai oleh keturunan Mpu Ketek, ada yang menjadi sulinggih dengan Abhiseka sesuai dengan nama tempat tinggalnya ada yang menjadi Arya (Patih) dan Agung (Raja dibawah Raja Kediri - Singhasari kemudian Majapahit)
Para Arya dan Agung keturunan Mpu Ketek inilah yang menyertai Kebo Parud – Zaman Singhasari (1286) dan Gajah Mada – Zaman Majapahit (1343) menyerang Bali. Sehingga banyak anak cucu keturunan Mpu ketek bermukim di Bali.
Keturunan Mpu Ketek di Jawa dalam Pelacakan
Selain itu banyak pula Keturunan Mpu Ketek di Jawa yang karena kurun waktu sejarah-mereka tidak dapat dilacak keberadaannya –terutama dari keturunan yang menjadi penguasa di Pemacekan dan Kepasekan, Kecuali atas ceritra rakyat turun temurun - diantaranya ditemukannya makam suami-isteri yang dipuja dan dikeramatkan oleh penduduk di Dusun Kepasekan daerah Tawangmangu – Kabupaten Karang Anyar - Jawa-tengah. Penduduk dusun Kepasekan meyakini bahwa makam tersebut adalah makam suami-isteri sesepuh desanya yang bernama Ki Ageng Pemacekan - kini makam tersebut telah dipugar oleh Mahagotra Sanak Sapta Rsi menjadi Pura Pemacekan - yang disungsung oleh keluarga Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi di seluruh Indonesia terutama wilayah Solo dan Sekitarnya.
Runtuhnya Majapahit tahun 1478 M menyebabkan tersebarnya keurunan Mpu Ketek yang berdomisili di Majapahit. Mungkin diantara mereka ada yang merantau ke Bali –karena setelah Majapahit Runtuh-satu-satunya kerajaan Hindu yang masih cukup kuat di Nusantara adalah kerajaan Bali-Jadi kemungkinan besar keluarga Keturunan Mpu Ketek yang masih di Jawa datang Ke Bali setelah Majapahit Runtuh - atau setelah Restrukturisasi masyarakat Bali kedalam 4 kasta oleh Dalem Waturenggong atas usul Bhagawanta kerajaan Danghyang Nirartha.
Ratu Pasek : Antara Dipuja dan Dihindari
(dikutik dari Nyoman Sukadana dari Karanganyar- Solo sebagaimana dilansir melalui media sosial Facebook oleh Pasek Dukuh Bunga Desa Asahduren)
Jika kita hadir ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel, Klungkung, maka jika kita masuk ke utama mandala, maka setelah melewati gerbang dan belok kekiri, kita akan menjumpai pelinggih berupa Meru Tumpang Tiga yang merupakan tempat pemujaan Ratu Pasek. Juga jika kita hadir ke Pura Besakih dikomplek Parahyangan Leluhur, maka tepatnya di Pura Catur Lawa kita juga akan menjumpai pelinggih berupa Meru Tumpang Pitu yang juga tempat memuja Ratu Pasek.
Lalu siapa Ratu Pasek ini?
Bangunan Meru Tumpang Tiga di Pura Dasar Bhuwana Gelgel adalah tempat memuja Mpu Ghana yang merupakan saudara ketiga dari Panca Tirta (Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah). Mpu Ghana penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari Senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara (Leluhur Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel) dibangun sebuah pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama Pura Dasar Bhuwana Gelgel.
Di samping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu Warga Pasek, Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian di Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu pelinggih untuk Danghyang Nirartha dan keturunannya, sehingga pura itu menjadi pusat penyungsungan empat warga.
Bagaimana dengan Ratu Pasek yang di Besakih?
Beliau adalah Mpu Semeru, yang kedua dari Panca Tirta. Beliau adalah pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliau mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Di bekas parahyangan Mpu Semeru inilah sekarang berdiri Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).
Kalau kita sudah ketahui siapa yang dimaksud Ratu Pasek ini, maka seharusnya seluruh pratisantana Sang Panca Tirta seperti: Pasek, Ida Bagus, Anak Agung, I Gusti, Kayu Selem, dan lain-lain, wajib melakukan puja bakti di sini.
Kenyataannya umat yang datang melakukan puja bakti kebanyakan adalah Semeton Pasek.
Kenapa bisa begitu?
Apakah karena disebut dengan Ratu Pasek, sehingga kesannya hanya untuk Semeton Pasek?
Apakah mungkin diganti saja dengan nama beliau, yaitu Mpu Ghana dan Mpu Semeru?
Ada suatu kejadian terkait dengan hal di atas.
Seorang kawan di Bali yang nama depannya “I Gusti” menyampaikan pada saya, bahwa ada larangan dari keluarganya untuk menyembah Pasek atau leluhur Pasek. Dia kemudian tertegun setelah saya katakan, bahwa leluhurnya beberapa tingkat dari garis perempuan (Pradana) bernama Ni Luh Pasek. Ada juga kawan saya yang kalau di Bali masih menyebut keluarga Brahmana mengatakan hal yang sama. Sayangnya saya belum sempat menyampaikan, bahwa salah seorang dari enam istri leluhurnya (Danghyang Nirartha) adalah keturunan Bendesa Mas yang adalah keturunan Pasek Gelgel. Pandangan seperti ini bukan hanya terjadi pada dua teman saya itu, tetapi sudah menjadi pendapat banyak orang khususnya di Bali, karena ketidak-tahuan mereka tentang keadaan yang sebenarnya.
Ini adalah keberhasilan politik masa lalu yang mengkotak-kotakkan manusia.
Di samping itu banyak semeton Pasek di masa lalu yang tidak mau mengikuti jejak leluhurnya menjadi pemuka agama, dan mereka memilih menjadi petani bahkan menjadi abdi. Akibatnya cap Pasek dianggap rendah, dan akhirnya parhyangan Ratu Pasek pun seperti “dihindari” oleh sebagian orang.
Semeton Pasek banyak tangkil memuja Ratu Pasek karena secara kuantitas Semeton Pasek terbanyak di Bali. Jika saja orang Bali tetap bhakti kepada leluhurnya yang sejati, Ratu Pasek akan lebih banyak lagi dipuja umat, karena Beliau sejatinya adalah Panca Tirtha.
Jadi bukan dihindari.
Kini, pada saat bencana alam banyak terjadi di Negara kita seharusnya menyadarkan kita untuk lebih meningkatkan bhakti pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Mintalah petunjuk pada Hyang Widhi, dan minta juga restu dari Ratu Pasek.
Kenyataannya umat yang datang melakukan puja bakti kebanyakan adalah Semeton Pasek.
Kenapa bisa begitu?
Apakah karena disebut dengan Ratu Pasek, sehingga kesannya hanya untuk Semeton Pasek?
Apakah mungkin diganti saja dengan nama beliau, yaitu Mpu Ghana dan Mpu Semeru?
Ada suatu kejadian terkait dengan hal di atas.
Seorang kawan di Bali yang nama depannya “I Gusti” menyampaikan pada saya, bahwa ada larangan dari keluarganya untuk menyembah Pasek atau leluhur Pasek. Dia kemudian tertegun setelah saya katakan, bahwa leluhurnya beberapa tingkat dari garis perempuan (Pradana) bernama Ni Luh Pasek. Ada juga kawan saya yang kalau di Bali masih menyebut keluarga Brahmana mengatakan hal yang sama. Sayangnya saya belum sempat menyampaikan, bahwa salah seorang dari enam istri leluhurnya (Danghyang Nirartha) adalah keturunan Bendesa Mas yang adalah keturunan Pasek Gelgel. Pandangan seperti ini bukan hanya terjadi pada dua teman saya itu, tetapi sudah menjadi pendapat banyak orang khususnya di Bali, karena ketidak-tahuan mereka tentang keadaan yang sebenarnya.
Ini adalah keberhasilan politik masa lalu yang mengkotak-kotakkan manusia.
Di samping itu banyak semeton Pasek di masa lalu yang tidak mau mengikuti jejak leluhurnya menjadi pemuka agama, dan mereka memilih menjadi petani bahkan menjadi abdi. Akibatnya cap Pasek dianggap rendah, dan akhirnya parhyangan Ratu Pasek pun seperti “dihindari” oleh sebagian orang.
Semeton Pasek banyak tangkil memuja Ratu Pasek karena secara kuantitas Semeton Pasek terbanyak di Bali. Jika saja orang Bali tetap bhakti kepada leluhurnya yang sejati, Ratu Pasek akan lebih banyak lagi dipuja umat, karena Beliau sejatinya adalah Panca Tirtha.
Jadi bukan dihindari.
Kini, pada saat bencana alam banyak terjadi di Negara kita seharusnya menyadarkan kita untuk lebih meningkatkan bhakti pada Hyang Widhi dan Bhatara Kawitan. Mintalah petunjuk pada Hyang Widhi, dan minta juga restu dari Ratu Pasek.
No comments:
Post a Comment