sumber : youtube
========================================================================
Pura Besakih merupakan pura terbesar yang ada di Bali yang tepatnya terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Dulu, tempat sebelum dibangunnya Pura Besakih hanya terdapat kayu-kayuan dalam sebuah hutan belantara. Sebelum adanya Selat Bali ( Segara Rupek ) Pulau Bali dan Pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut, pulau ini bernama Pulau Panjang atau Pulau Dawa. Di suatu tempat di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya. Karena ketinggian ilmu bhatinnya, kesucian rohaninya,serta kecakapan dan kebijaksanaan beliau maka oleh rakyat, beliau diberi julukan Bhatara Giri Rawang.
Pada mulanya Resi Markandeya bertapa di Gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon Gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dari kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di Pulau Dawa. Setelah selesai, tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Demikianlah kemudian beliau berangkat ke tanah Bali disertai pengikutnya yang pertama yang berjumlah 8.000 orang dengan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan. Sesampainya ditempat yang dituju,beliau memerintahkan pengikutnya agar mulai merambas hutan. Akan tetapi saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji).
Kemudian beliau memerintahkan pengikutnya untuk menghentikan perambasan. Dengan hati yang sedih beliau kemudian mengajak pengikutnya untuk kembali ke Jawa. Beliau kembali ketempat pertapaannya semula untuk mohon petunjuk kepada sang Hyang Widhi. Setelah beberapa lamanya beliau berada dipertapaannya, timbul cita-citanya kembali untuk melanjutkan merambas hutan tersebut.
Pada suatu hari yang baik,beliau kembali berangkat ke tanah Bali. Kali ini beliau mengajak pengikutnya yang kedua berjumlah 4.000 orang yang berasal dari Desa Aga yaitu penduduk yang mendiami lereng Gunung Rawung. Turut dalam rombongan itu para Pandita atau para Rsi. Para pengikutnya membawa perlengkapan beserta alat-alat pertanian dan bibit tanaman untuk ditanam di tempat yang baru.
Setelah tiba di tempat yang dituju, Resi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dari selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Demikianlah pengikut Rsi Markandya yang berasal dari Desa Aga ( penduduk lereng Gunung Rawung Jawa Timur ) menetap di tempat itu sampai sekarang. Ditempat bekas dimulainya perambasan hutan itu oleh Sang Rsi/Yogi Markandya menanam kendi (caratan) berisi air disertai 5 jenis logam yaitu: emas,perak,tembaga,perunggu dan besi yang disebut Panca Datu dan permata Mirahadi ( mirah yang utama ) dengan sitertai sarana upakara selengkapnya dan diperciki Tirta Pangentas ( air suci ). Tempat menanam 5 jenis logam itu diberi nama Basuki yang artinya selamat. Kenapa disebut demikian, karena pada kedatangan Rsi Markandya yang ke dua beserta 4.000 pengikutnya selamat tidak menemui hambatan atau bencana seperti yang dialami pada saat kedatangan beliau yang pertama. Ditempat itu kemudian didirikan palinggih. Lambat laun di tempat itu kemudian didirikan pura atau khayangan yang diberi nama Pura Basukian. Pura inilah cikal-bakal berdirinya pura –pura yang lain di komplek Pura Besakih. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan pura ditempat itu dimulai sejak Isaka 85 atau tahun 163 Masehi. Pembangunan komplek pura di Pura Besakih sifatnya bertahap dan berkelanjutan disertai usaha pemugaran dan perbaikan yang dilakukan secara terus menerus dari masa kemasa.
ASAL USUL BALI
Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci, dan dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau akhirnya menuju arah barat untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya merebas hutan. Wilayah yang datar dan luas itu dinamakan Puwakan, kemudian dari kata puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak.
Di tempat ini beliau menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Karena keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Tuhan lewat perantara sang maharsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten Gianyar. Di wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung, bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di Campuan, Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya Mahasri Markandeya pergi ke arah barat dari arah Payogan dan kemudian membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa, sedangkan wilayahnya dan sebagainya di beri nama Parahyangan kemudian orang-orang menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat tersebut dikenal dengan Payangan.
Orang-orang Aga, murid-murid maha rsi markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur dengan orang-orang Bali mula, bertani dan bercocok tanam dengan cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Dengan cara demikian terjadilah pembauran orang-orang Bali mula dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini mereka dikenal dengan nama Bali Aga yang berarti pembauran penduduk bali mula dengan orang-orang aga, murid Maharsi Markandeya, dengan adanya hal ini, maka Hindu dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita) orang-orang Bali Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka orang-orang Bali Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.
Dalam jaman kerajaan Bali, terutama zaman Dinasti Warmadewa. Warga Bhujangga Waisnsava selalu menjadi purohito (pendeta utama kerajaan) yang mendampingi raja, antara lain Mpu Gawaksa yang dinobatkan oleh sang ratu Sri Adnyadewi tahun 1016 M, sebagai pengganti Mpu Kuturan. Ratu Sri Adnyadewi pula yang memberikan wewenang kepada sang guru dari Warga Bhujangga Waisnava untuk melaksanakan upacara Waliksumpah ke atas, karena beliau mampu membersihkan segala noda di bumi ini, bahkan sang ratu mengeluarkan bhisama kepada seluruh rakyatnya yang berbunyi : “Kalau ada rsi atau wiku yang meminta-minta, peminta tersebut sama dengan pertapa, jika tidak ada orang yang memberikan derma kepada petapa itu, bunuhlah dia dan seluruh miliknya harus diserahkan kepada pasraman. Dan apa bila terjadi kekeruhan di kerajaan dan di dunia, harus mengadakan upacara Tawur, Waliksumpah, Prayascita (menyucikan orang-orang yang berdosa), Nujum, orang-orang yang mengamalkan ilmu hitam haruslah sang guru Bhujangga Waisnava yang menyucikannya, sebab sang guru Bhujangga Waisnava seperti angin, bagaikan Bima dan Hanoman, itu sebabnya juga sang guru Bhujangga Waisnava berkewajiban menyucikan desa, termasuk hutan, lapangan, jurang. Oleh karena sang guru Bhujangga Waisnava sebaik Bhatara Guru, boleh menggunakan segala-galanya dan dapat melenyapkan hukuman”.
Kemudian pada masa pemerintahan Sri Raghajaya tahun 1077 M yang diangkat menjadi purohito kerajaan adalah Mpu Andonamenang dari keluarga Bhujangga Vaisnava. Lalu Mpu Atuk di masa pemerintahan raja Sri Sakala Indukirana tahun 1098 M, kemudian Mpu Ceken pada masa pemerintahan raja Sri Suradipha tahun 1115–1119 M, kemudian Mpu Jagathita pada masa pemerintahan Sri Jayapangus tahun 1148 M. Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada seorang purohito raja yang diambil dari keluarga Bhujangga Waisnava dan seterusnya hingga masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong di Bali. Saat itu yang menjadi purohito adalah dari griya Takmung dimana beliau melakukan kesalahan selaku acharya kerajaan yang telah mengawini Dewi Ayu Laksmi yang tidak lain adalah putri Dalem sendiri selaku sisyanya. Atas kesalahannya ini sang guru Bhujangga akan dihukum mati, tapi beliau segera menghilang dan kemudian menetap di daerah Buruan dan Jatiluwih, Tabanan.
Semenjak kejadian tersebut, dalem tidak lagi memakai purohito dari Bhujangga Waisnava. Sejak itu dan setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi purohito di ambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas persetujuan Dalem, keluarga Bhujanggga Waisnava tidak dimasukkan lagi sebagai warga brahmana. Namun peninggalan kebesaran Bhujangga Waisnava dalam perannya sebagai pembimbing awal masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih terlihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga, selalu ada sebuah pelinggih sebagai sthana Bhatara Sakti Bhujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada pelinggih itu. Orang-orang Bali Aga/Mula cukup nuhur tirtha, tirtha apa saja, terutama tirta pengentas adalah melalui pelinggih ini. Sampai sekarang para warga ini tidak pernah/berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siva. Selain itu, para warga ini tidak pernah mempersembahkan sesajen dari daging ketika diadakan pujawali dan biasanya mereka menggunakan daun kelasih sebagai salah satu sarana persembahan selain bunga, air, api dan buah.
Warga Bhujangga Waisnava, keturunan Maharsi Markandeya sekarang sudah tersebar di seluruh Bali, pura pedharmannya ada di sebelah timur penataran agung Besakih di sebelah tenggara pedharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung, kabupaten Klungkung, Batubulan, kabupaten Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di beberapa tempat lain di Bali.
Demikianlah Maharsi Markandeya, leluhur Warga Bhujangga Waisnava penyebar agama Hindu pertama di Bali dan warganya hingga saat ini ada yang melaksanakan dharma kawikon dengan gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan orang-orang Aga beserta keturunakannya telah membaur dengan orang-orang Bali Mula atau penduduk asli Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal dengan nama orang-orang Bali Aga.