Pura Indrakila berada di Desa Dausa Kecamatan Kintamani kira-kira 40 km utara kota Bangli. Pura ini terletak di sebuah bukit kecil. Untuk mengungkap keberadaan sejarah pura ini memang belum ditemukan sumber - sumber tertulis yang cukup jelas. Dari suatu turunan prasasti ada yang sedikit menyinggung keberadaan Pura Indrakila ini.
Menurut Dr. R. Goris dalam bukunya Sejarah Bali Kuno menyimpulkan prasasti tersebut dikeluarkan pada zaman pemerintahan Raja Jayasakti di Bali dari tahun 1133 - 1150 Masehi. Pada zaman ituah diperkirakan Pura Indrakila tersebut dibangun. Dari cerita rakyat secara turun - temurun didapatkan penjelasan bahwa Pura Indrakila tersebut ada hubungannya dengan salah satu episode cerita Mahabharata yang menyangkut pertapaan Arjuna, penengah Pandawa di Gunung Indrakila.
Pura Indrakila ini dibuat atas kehendak raja sebagai tempat untuk bermeditasi atau bertapa. Karena kedudukan seorang raja amat strategis dengan tanggung jawab yang amat berat memimpin negara kerajaan, terutama menciptakan iklim hidup yang dapat memajukan kesuburan alam dan kemakmuran rakyatnya.
Seorang pemimpin tidak mungkin bisa berbuat banyak pada rakyatnya apabila dirinya sendiri tidak cukup kuat mengemban tugas dan tanggung jawab yang cukup berat. Karena itu, kutipan Mantra Yajurveda, Tuhan mensabdakan agar seorang pemimpin mawas diri dan meneguhkan hatinya terlebih dahulu. Pemimpin yang mawas diri dan memiliki hati yang teguhlah akan mendapatkan wara nugraha dari Tuhan untuk memajukan kehidupan rakyatnya lahir batin, seperti Arjuna melakukan tapa sebelum menghadapi Bratayudha.
Nampaknya hal inilah yang menjadi latar belakang pendirian Pura Indrakila di Desa Dausa, Kintamani tersebut. Raja ingin dalam menyelenggarakan pemerintahannya melakukan olah tapa agar memiliki kemampuan mawas diri dan ketetapan hati dalam menghadapi berbagai tugas dan tanggung jawab yang berat sebagai seorang pemimpin. Karena pemimpin akan berhadapan dengan berbagai gangguan, tantangan, godaan dan hambatan dalam tugas-tugasnya sehari-hari sebagai pemimpin, apa lagi sebagai raja yang memiliki kekuasaan yang besar dan luas.
Tanpa mawas diri dan punya keteguhan hati, bisa mudah tergoyahkan oleh berbagai godaan, hambatan dan tantangan dalam melakukan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin. Dengan melakukan olah tapa untuk meraih karunia Tuhan sebagai yang mahasuci dan mahakuasa, seorang pemimpin akan memiliki kekuatan untuk lebih mawas diri dan tidak mudah tergoda oleh berbagai ilusi dunia maya ini.
Nampaknya cerita Arjuna Tapa di Gunung Indrakila inilah yang memberikan inspirasi untuk mendirikan Pura Indrakila sebagai tempat sang raja bertapa. Pura Indrakila ini didirikan di atas sebuah bukit sebagai bentuk replika Gunung Indrakila tempat Arjuna di India. Pelinggih utama di Pura Indrakila itu adalah Padmasana dengan tiga ruang sebagai simbol pemujaan Sang Hyang Tiga Wisesa atau Sang Hyang Tri Purusa sebagai jiwa agung Tri Loka.
Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tiga Wisesa bertujuan untuk membangun kekuatan spiritual agar umat manusia yang hidup di Bhur Loka ini tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak keadaan di Bhuwah dan Swah Loka. Karena sudah saat itu ada wawasan bahwa kesalahan dalam menata hidup di Bhur Loka dapat merusak keadaan di Bhuwah dan Swah Loka.
Ternyata pada zaman modern ini, hal itu sudah dapat dibuktikan dengan nyata. Seperti menggunakan alat-alat hidup berbagai mesin yang mengeluarkan asap mengotori ruang angkasa. Angkasa yang penuh polusi sudah terbukti menimbulkan berbagai penyakit dan sangat mengganggu kehidupan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia di bumi ini.
Di samping itu pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa itu sebagai wujud bahwa Tuhan itu ada di mana-mana sebagai jiwa agung dari Bhur Loka, Bhuwah Loka dan juga Swah Loka. Sebagai jiwa agung Bhur Loka disebut Batara Siwa, di Bhuwah Loka sebagai Batara Sada Siwa dan di Swah Loka sebagai Paramasiwa.
Pura ini pada mulanya sudah sangat rusak secara fisik dan sudah beberapa kali perbaikan dan perluasan serta mendapatkan penambahan beberapa pelinggih. Pertama-tama perbaikan itu dilakukan tahun 1961-1963 dengan dilanjutkan dengan kelengkapan upacara sebagaimana umumnya berlaku bagi pura yang mendapatkan perbaikan dan perluasan.
Menurut keterangan pemangku pura, Pura Indrakila adalah Pura Dang Kahyangan yang tergolong Kahyangan Jagat. Fungsi Pura Dang Kahyangan adalah sebagai pura tempat berguru yaitu belajar dan berlatih kerohanian pada guru spiritual untuk memperkuat jati diri dalam mengamalkan swadharma sesuai dengan Asrama dan Varna masing-masing. Upacara piodalan di Pura Indrakila ini setiap Purnama Sasih Kapat.
Pula Indrakila ini sudah beberapa kali mendapatkan perbaikan sehingga di pura ini terdapat banyak pelinggih pesimpangan dari berbagai Pura Kahyangan Jagat di Bali. Seperti ada Gedong Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pesimpangan Batara di Besakih dan Batur. Ada juga beberapa Meru Tumpang Tiga dan Pelinggih Gedong yang masih perlu diteliti fungsinya.
Meski demikian, pura ini tetap fungsinya sebagai Pura Dang Kahyangan sebagai pasraman raja dan para pemimpin untuk mengingatkan agar para pemimpin senantiasa melakukan olah tapa menguatkan jati dirinya agar dapat berfungsi dengan baik sebagai pemimpin memajukan kehidupan yang sejahtera lahir batin bagi rakyat yang dipimpin.
Makna Bersatunya Panah Arjuna dengan Dewa Indra
Dalam cerita Arjuna Tapa diceritakan bahwa dalam menghadapi perang Brata Yudha, Arjuna ahli panah penengah Pandawa ini melakukan olah tapa untuk mendapatkan senjata panah. Salah satu tempat Arjuna bertapa adalah di Gunung Indrakila. Karena Arjuna dengan bertapa yang serius itulah akhirnya mendapatkan beberapa panah sakti sebagai salah satu sarana memenangkan perang dalam Brata Yudha. Karena keberhasilan dari Arjuna inilah nampaknya menjadi pendorong Raja Jayasakti mendirikan Pura Indrakila. Dengan kesaktian hasil dari olah tapa itulah yang akan membawa kemenangan sang raja dalam memimpin negara kerajaan.
Menang dalam bahasa Sansekerta disebut Jaya. Karena saktilah raja mencapai kemenangannya. Kata ”sakti” saat itu tentunya tidak seperti pengertian dewasa ini. Saat ini kata ”sakti” berkonotasi negatif karena dikaitkan dengan ilmu hitam. Pengertian ”sakti” menurut keterangan Wrehaspati Tattwa 14 dalam keterangan yang berbahasa Jawa Kuno berkonotasi positif.
Dalam Wrehaspati tersebut dinyatakan: "Sakti ngarania ikang sarwajnyana lawan sarwa karya." Artinya: Sakti namanya banyak ilmu dan banyak bekerja. Ilmu di sini berarti ilmu kerohanian dan ilmu keduniaan, atau Para Widya dan Apara Widya. Dua ilmu itu dilahirkan dari Weda oleh para Resi. Karena itulah Weda itu disebut Weda Mata artinya Ibu Weda. Mantra Weda itu adalah Sabda Tuhan.
Kesaktian yang seperti pengertian Wrehaspati Tattwa inilah yang dicari oleh Arjuna di Gunung Indrakila. Demikian juga oleh sang Raja Jaya Sakti di Pura Indrakila. Dalam cerita Arjuna Tapa itu diceritakan Arjuna bertapa sangat khusyuk. Karena khusyuknya Arjuna mendapatkan kesaktian berupa daya tahan tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu. Arjuna pun digoda oleh para bidadari yang amat cantik-cantik. Tetapi Arjuna sama sekali tidak tergoda oleh kecantikan para Bidadari dari Kahyangan tersebut.
Selanjutnya Arjuna mendapatkan godaan yang lebih hebat lagi. Arjuna diserang oleh babi raksasa yang amat ganas. Untuk menumpas godaan babi raksasa itu Arjuna memerangi babi tersebut dengan mengarahkan panah saktinya. Di luar dugaan ada seorang pemburu muda juga mengarahkan panah-panahnya pada babi raksasa tersebut. Babi tersebut pun mati kena panah.
Anehnya panah Arjuna dan panah pemburu muda tersebut bersatu menancap di tubuh babi raksasa tersebut. Pemburu tersebut menyatakan bahwa panah yang menancap itu adalah miliknya dan menyatakan bahwa dialah yang membunuh babi tersebut. Sebaliknya Arjuna juga bersikukuh bahwa panah yang membunuh babi tersebut adalah miliknya. Arjuna dan pemburu tersebut pun perang tanding. Pada awalnya keduanya sama-sama kuat. Namun saat Arjuna akan mengakhiri pertempuran tersebut dengan membunuh pemburu muda itu, dalam sekejap saja pemburu itu berubah menjadi Dewa Indra.
Arjuna baru sadar bahwa yang menjadi pemburu itu adalah Dewa Indra untuk menguji ketangguhan Arjuna. Karena Dewa Indra nyata menampakkan diri, maka Arjuna pun menyembah Dewa Indra dengan takjimnya. Cerita Arjuna Tapa ini amatlah populer di Bali, karena sering dipentaskan dalam berbagai seni pentas. Ada lewat seni drama tari, ada lewat seni pewayangan ada lewat seni lukis ada juga lewat seni sastra, dll.
Sesungguhnya cerita Arjuna Tapa itu adalah pentas ajaran Tapa Brata lewat seni sastra kawya yang penuh dengan simbol yang mengandung nilai-nilai filosofi kehidupan di dunia ini. Bersatunya panah Arjuna dengan panah Dewa Indra adalah simbol suatu keberhasilan Tapa Brata untuk menyatukan pikiran dengan kehendak Dewata. Sedangkan babi raksasa itu adalah simbol Guna Tamas yang sering membawa manusia hidup loba dan angkara murka. Guna Tamas itu dapat ditundukkan oleh pikiran suci yang sudah menyatu dengan kehendak Dewata. Demikian juga godaan para bidadari itu tiada lain adalah simbol godaan hawa nafsu.
Menguasai semuanya itulah tujuan dari suatu Tapa Brata. Intinya Arjuna sebagai seorang kesatria baru akan dapat melakukan tugas-tugasnya apabila dia telah dapat mawas diri dan memiliki ketetapan hati, sehingga tidak mudah goyah dalam melindungi rakyat dari kehidupan yang sangsara. Karena tugas-tugas kenegaraan bukanlah hal yang mudah begitu saja dilakukan tanpa memiliki kekuatan moral dan mental serta ilmu pengetahuan yang memadai.
Hal inilah yang nampaknya disadari oleh Raja Jayasaksi sehingga mendirikan Pura Indrakila. Di samping untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa, juga bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang berada di balik cerita Arjuna Tapa. Karena dengan datang untuk berbakti ke Pura Indrakila umat akan dapat menyerap terus nilai-nilai suci dari cerita Arjuna Tapa tersebut.
Dalam Manawa Dharmasastra 1.89 ada dinyatakan bahwa kewajiban kesatria adalah menciptakan rasa aman (Raksanam) dan sejahtera (Danam) untuk rakyat. Di samping itu mempelajari kitab suci Weda melangsungkan upacara yadnya dan terus-menerus berusaha menguasai dirinya dari ikatan-ikatan indria atau hawa nafsunya.
Dalam Manawa Dharmasastra tersebut upaya menguasai hawa nafsu itu dinyatakan wisayeswaprasaktatis yang artinya terus-menerus berusaha menguasai hawa nafsu yang disebut wisaya. Karena seorang kesatria setiap hari selalu berkecimpung dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Agar jangan hal-hal duniawi itu menjadi negatif, maka setiap hari juga seorang kesatria harus tidak pernah lupa melakukan kegiatan yang memiliki dimensi menguasai gejolak hawa nafsu.
Ibarat seorang kusir kereta setiap saat memegang tali kekang kuda untuk mengarahkan kudanya saat berjalan, sehingga kereta pun akan dapat dibawa sampai ke tujuan. Kalau lengah kuda hawa hawa nafsu itulah yang akan menggelincirkan diri sang kesatria ke arah yang tidak benar. Inilah yang mungkin diinginkan oleh sang Raja Jayasakti sehingga membangun Pura Indrakila.
Kalau fungsi Pura Indrakila tersebut kita perhatikan maka sampai kapan pun akan tetap fungsi pura itu relevan dengan kebutuhan zaman. Apalagi pada zaman post modern ini semakin dibutuhkan sesungguhnya upaya para pemimpin untuk menguasai dirinya agar tidak terjebak pada pengumbaran hawa nafsu yang akhirnya akan membahayakan rakyat.