BABAD PASEK KAYU SELEM

Image result for pura kayu selemSebagaimana halnya dengan babad babad lainnya pada bagian pembukaan babad ini diuraikan permohonan maaf si penulis agar para leluhur, kawitan serta Ida Sanghyang Widhi Waça berkenan memaafkan serta nengampuni sipenulis atas keberaniannya menuturkan kembali Hyang Kawitan kepada masyarakat. Selanjutnya dijelaskan paduka Bhatara Hyang Pasupati amat prihatin melihat Pulau Bali yang selalu saling terantuk dengan Selaparang (Lombok). Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut Bhatara Hyang Paçupati dengan segala kekuatannya membongkar sebagian gunung Mahameru di Jambudwipa untuk dipindahkan ke pulau Bali dan Selaparang sebagai penindih agar kedua pulau ini tidak mudah dihanyutkan serta terantuk oleh gelombang. Perpindahan gunung ini menyebabkan di Bali kita mengenal gunung Lokapala yaitu gunung Lempuyang , gunung Andakaça, gunung Watukau, gunung Beratan, gunung Mangu dan gunung Tulukbiyu. Setelah nusa Bali tenang dan tidak diombang ambingkan oleh gelombang, Bhatara Jagat Karana mengutuskan Bhatara Hyang Tiga yaitu, Bhatara Mahadewa, Bhatari Danuh serta Bhatara Ghnijaya turun ke Bali sebab pada saat itu pulau Bali amat sunyi keadaannya. Berkat kesaktian beliau akhirnya Bhatara Hyang Tiga tiba dengan selamat di nusa Bali. Bhatari Danuh ditugaskan bersemayam (berparhyangan) di Ulun Danu, Bhatara Hyang Ghnijaya bersemayam di gunung Lempuyang sedangkan Bhatara Putrajaya bersemayam di Besakih.

Dijelaskan rula pada waktu Bhatara Putrajaya turun ke Bali beliau diiringi oleh Bhatarà lainnya antara lain Bhatarà Tumuwuh yang selanjutnya bersemayam di gunung Watukaru, Bhatara Manik Kumayang yang bersemayam di gunung Beratan, Bhatara Hyang Manik Galang bersemayam di Pejeng $erta Bhatara Tugu bersemayam di gunung Andakaça


Bhatara Hyang Ghnijaya dan Bhatara Hyang Mahadewa tidak henti-hentinya melakukan yoga semadi demi ketentraman serta kesejahteraan pulau Bali. Berkat ke mahiran beliau beryoga semadi, Bhatará Hyang Ghni jaya dapat melahirlah anak laki—laki yang cakap dan sempurna yang pada waktu lahirnya’ semuanya beralaskan daun pisang kaikik. Adapun putra—putra beliau adalah Sang Brahmandá Pandita, Mpu Mahameru, Mpu Gana,Mpu Kuturan, dan Mpu Pradhah. Kemudian atas kehendak beliau mereka berlima diperintahkan ke Jambudwipa untuk memperdalam kesidhi ajnanan mereka masing—masing. Ketika yoga mereka telah masak Sang Brahmanda Pandita menikah dengan Bhatari Manik Gni, Putri Bhatara Hyang Mahadewa di Tolangkir dan berganti nama menjadi Mpu Ghnijaya. 


Dan pernikahan beliau menurunkan Mpu Ktek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, Mpu Dangka yang kemudian dikenal dengap Pasek Sanak Pitu. Setelah beberapa lamanya dengan diiringi kedua adiknya yaitu Mpu Gana dan Mpu Kuturan. beliau menaiki daun kapu—kapu yang berlayarkan daun tehep kembali ke nusa Bali. Setibanya di Bali (di Silayukti) beliau langsung ke Besakih menghadap Bhatara Putra Jaya serta Ayahandanya Bhetara Ghnijaya di Gunung Lempuyang, serta Selanjutnya Mereka silih berganti ke Jawa dan ke Bali.

Pada waktu itu diceritakan pula Pulau Bali amat tenangnya, namun para Bhatara yang bersemayam di Bali masih merasakan adanya kekurangan sebab walaupun telah banyak dibangun tempat-tempat suci ( Khayangan ), Bali masih amat lengang karena tidak ada manusia hidup di Bali yang menyungsung dan menghormati para Bhatara. Itulah sebabnya Bhatara Ghnijaya dan Bhatara Catur Purusha sepakat menghadap Bhatara Hyang Pasupati ke Jambu Dwipa untuk mengutarakan maksudnya. Oleh Bhatara Hyang Pasupati maksud diatas dipenuhi dan untuk ini Beliau disarankan menunggu di Besakih saja. Bhatara Hyang Pasupati ( Pramesti Guru ) dengan diiringi oleh para Dewata semua, Rsi Gana, Dewa Sanga serta seluruh yang ada di Sorga beramai-ramai turun ke Bali. Dalam perjalanan Beliau Bhatara Parameswara ( pasupati ) mengendarai Padma Manik Anglayang diapit Payung serta umbul-umbul. Sedangkan para Dewata lainnya mengndarai Wahana mereka masing-masing. Bergema suara gentanya serta bergemuruh suara diangkasa diiringi Keplug dan sebagainya. Setibanya di Tolangkir beliau dsambut oleh Bhetara Putra Jaya, Betara Ghnijaya serta Bhetara Catur Purusha sesuai dengan Penyambutan dan penghormatan yang berlaku lalu langsung menuju Tampurhyang. Kemudian Bhatara Pramestiguru bersabda :  

“anakku Dewata semua, sekarang siapkanlah segala keperluan agar segera tercipta manusia yang kalian kehendaki, Kamu Hyang Iswara hendaknya menyusup di Otot, Hyang Mahadewa di Sumsum, Hyang Wisnu di Daging dan kamu Sangkara serta Rudra pada Pabwahan ( Ginjal )”.

Ketika semua telah siap menghadap Perasapan (Kundagni), tiba tiba datanglah Bhatara Yamadipati berwujud seekor anjing hitam hendak menghalangi maksud Bhatara Pramesti guru yang dengan angkuhnya Anjing Jelmaan Bhatara Yamadipati berkata : “Hai Paduka Bhetara Pramesti Guru sekarang Paduka hendak menciptakan manusia dari tanah, Mustahil maksud tersebut akan terlaksana, Andaikata benar tercipta manusia, hamba sanggup makan kotorannya''.  Mendengar ucapan ini dengan murkanya lalu Bhatara Pramesti Guru menjawab : “Hai Yamadipati yang angkuh apa katamu ? Besar amat kesanggupanmu terhadapku, Yah andaikata maksudku tidak terlaksana, aku bukanlah dewa dan seluruh dewa—dewa, Patutlah diriku ditenggelamkan ke dalam kotoran”. Bhatara Pramesti Guru kemudian beryoga, api perasapan berkobar, asapnya keluar lalu terwujudlah muka manusia. Tetapi tiba—tiba penjelmaan manusia itu patah, diiringi dengan suara gonggongan sang anjing karena kegirangan. Bhatara mengulangi yoganya, untuk kedua kalinya manusia ciptaan beliau patah, Sang anjing amat bergembira serta menggong—gong lagi. Bhatara tidak putus asa dan mengulangi yoganya, Untuk ketiga kalinya Bhatara Pramesti Guru gagal menciptakan manusia, disertai gonggongan sang anjing. Sampai lima kali Bhatara beryoga selalu mengalami kegagalan, Akhirnya beliau merasa berang dikalahkan dan diejek oleh anjing. 


Dengan segala kesaktiannya beliau menyatukan tiga dunia (Triloka). Api perasapan kembali berkobar, dunia bergoncang, keluarlah amerta disertai terjelmanya manusia ciptaannya. Ketika itu tercenganglah sang anjing terkejut menyaksikan manusia ciptaan Bhatara. Bhatara Hyang Pramesti Guru : “Sekarang kalahlah kamu, hai anjing. Ingat mulai sekarang anjing harus memakan kotoran manusia”. Amatlah malunya Bhatara Yamadipati mendengar kutukan tersebut dan tanpa memberikan jawaban, menangis serta menyesal atas perbuatannya lalu pergi ke Yamadiloka. Di Yamadiloka ia mengumpulkan seluruh cikrabala terutama si Bhuta Kalika serta pàra Kingkara bala Lainnya dan berkata :“Hai para balaku semua aku perintahkan kamu agar turun ke madyaloka untuk menggantikan diriku memakan kotoran manusia mulai sekarang sampai seterusnya sebab aku kalah bertaruh dengan Bhatara Acintya, Itulah sebabnya aku memerintahkan kepadamu menggantikan diriku menjadi anjing di madyaloka”. 

Tetapi petuahku kepadamu, kelak apabila sudah saatnya manusia itu mati, disanalah kita bersama-sama menyiksa roh manusia yang berlaksana tidak pantas selama hidupnya di madyaloka. Itulah asal mula nya mengapa anjing memakan kotoran manusia.
Selama Bhatara Hyang Pramesti Guru di Tampurhyang beliau juga menciptakan manusia dari serabut ( toktokan) kelapa gading sehingga terjelma dua orang manusia laki perempuan yaitu Ki Ketok Pita dan I Jenar. Oleb karena keduanya buncing, mereka dikawinkan dan menurunkan keturunannya.

Tidak hanya sampai di sini saja,Bhatara Pramesti Guru dengan yoga semadinya berusaha menciptakan manusia lainnya. Dan payogan beliau ini lahirlah dua orang manusia laki perempuan pula yaitu Ki Abang dan I Barak. Keduanya bersuami istri dan pindah, menetap di tepi danau yang sekarang disebut desa Abang. Ciptaan manusia yang berasal dari sumber yang berbeda beda ini melahirkan keturunannya dan menambah banyaknya manusia di Bali, namun biji mata mereka semuanya hitam tanpa ada putihnya. Mengingat makin banyaknya manusia diBali tetapi masih awam dan tidak dapat melakukan pekerjaan sepatutnya, Bhatara Hyang Pramesti Guru mengutus para dewa lainnya untuk mengajarkan manusia membuat alat alat dan bercocok tanam. Hutan di Tampurhyang dibakar dan ditebang dijadikan ladang agar dapat ditanami oleh manusia. Bhatara Indra diutus mengajarkan manusia mesesanggingan (ukir mengukir). Bhagawan Wismakarma mengajar ngundaginin (membuat bangunan) dan sebagainya.

Hubungan para Bhatara dengan manusia sangat eratnya. Mereka dapat bercakap dan saling melihat sebagaimana kita melihat teman lainnya. Namun hubungan ini tidaklah terlaksana abadi sebab suatu godaan tiba tiba muncul saat itu. Diceriterakan bahwa sebagaimana biasanya para Bhatara sering berjalan jalan di Tampurhyang melihat dan mengawasi orang—orang desa dalam melaksanakan kewajibannya. Tidak jarang pula mereka be cakap—cakap dengan intimnya membicarakan situasi disekitarnya. Pada suatu senja Bhatara berkehendak pula berjalan—jalan melihat tanam—tanaman yang dikerjakan manusia. Ditengah jalan beliau bertemu dengan manusia. Manusia itu menyapa dengan hormatnya sambil buang air dan menanyakan hendak kemana paduka Bhatara di sore hari. Kebetulan pada waktu itu si Balwan (Bunglon ) melihat peristiwa ini. Dengan marah dan angkuhnya si Balwan berkata : “Hai kamu manusia, sungguh kamu tidak senonoh, amat durhaka kamu, benar—benar kamu tidak mengenal budi pekerti, Dimana kamu menemukan aturan yang menjelaskan bahwa kamu boleh menyapa Bhatara sambil buang air ? Pantaslah kamu manusia berasal dari tanah dikepal kepal”, Manusia itupun menjawab : “Ih kamu Balwan apa katamu ? mengungkap-ungkap asal usulku, benar—benar kamu tidak tahu adat (nirgama), berpura—pura ahli dan taat kepada tata susila, pantaslah asal usulmu kumatap—kumitip yang diselimuti oleh kotoran, dasar kamu ini, berpura—pura alim, mengapa kamu keberatan sedangkan Bhatara sendiri tidak merasa tersinggung”. Si Balwanpun menjawab : “Hai kamu manusia yang dungu, moga—moga kamu menjadi hina, semoga kamu menjadi orang dusun untuk seterusnya atas dosamu menyapa dewa", amatlah dengkinya si Balwan seraya berkata kepada Bhatara dan mengasutnya, Bhatara lalu memanggil seluruh manusia yang ada dan setelah berada dihadapannya, mereka dipérintahkan mendelikkan matanya sambil memandang Bhatara. Mata mereka dicoret dengan kapur disertai kutukan : “Semoga hai kamu manusia, karena kamu bertindak yang tidak pantas kepadaku mulai saat ini kau tidak akan dapat melihat para dewata sampai seterusnya, atas dosamu menyapaku sambil buang air, sabdaku ini berlaku pula kepada keturunanmu, seandainya engkau ingin bertemu denganku, pada saat kematianmulah akan dapat melihatku”. Demikianlah sabda Bhatara kepada manusia. Mereka menyembah kehadapan Hyang Bhatara yang tak henti—hentinya menyesali perbuatannya. Itulah sebabnya mengapa manusia di dunia tidak dapat melihat para dewata lagi. 


Diceritakan bahwa ketika mereka kembali ke gubuknya di tengah jalan mereka bertemu dengan si Balwan, Terjadilah perdebatan antara si Balwan dengan manusia, Mereka berseru : “Berbahagialah aku bertemu denganmu di sini, Sekarang aku akan menyampaikan kepadamu bahwa mulai saat ini sampai seterusnya aku akan menjadi musuhmu dan setiap keturunanku bertemu dengan keturunanmu mereka akan membunuh keturunanmu", Si Balwan lalu menjawab : “Hai manusia aku tidak akan menolak permintaanmu, baiklah kalau demikian, tetapi ada permintaanku kepadamu yaitu apabila keturunanku bertemu dengan keturunananmu pada waktu kajeng kliwon, keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan menjilat badan serta mata kakinya”.  Baiklah kalau demikian mulai sekarang beritahukanlah seluruh keturunanmu agar mereka tetap waspada terhadap perjanjian ini, Itulah sebabnya si Balwan dapat merubah diri sesuai dengan keadaan disekitarnya lebih—lebih apabila berada di daun kayu.

Pada salah satu bagian babad ini dijelaskan pula asal mula timbulnya pungkusan keturunan Tewel yang diuraikan sebagai penuturan di bawah ini. Seperti halnya para dewa—dewa lainnya Bhatara çiwa diutus oleh Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk menuntun dan memberikan pelajaran kepada orang—orang yang ada di Bali, membuat bale papayon agar dapat ditiru ôleh orang—orang Baliaga. Dalam perjalanannya beliau menjumpai tuwed nangka sisa—sisa hutan yang terbakar waktu membuat ladang. Melihat tuwed nangka ini lalu terbitlah keinginan beliau untuk memperbaiki dan memperhalusnya sehingga berbentuk manusia, Bhatara çiwa dengan dibantu oleh Hyang Semara, beryoga dan menjelmakan manusia laki perempuan Sejumlah 119 orang. Mereka berpasang—pasangan dan menikah dengan saudaranya, Karena jumlah 119 salah seorang wanita diantaranya tidak mendapatkan jodoh dan tidak mau dimadu oleh saudaranya, Dengan perasaan kesal dan sedih berjalanlah ia tanpa tujuan sehingga akhirnya sampai di tempat tuwed nangka yang diperhalus oleh Bhatara çiwa, Wanita ini merasa tertarik / jatuh cinta kepada togog nangka dan sambil dielus—elusnya ia pun berkata “Wahai arca penjelmaan Mona, benar—benar terkesan dihati hamba, Yah seandainya tuanku (togog), menjadi manusia, hamba akan sanggup dan bersedia menghamba, suka duka hamba akan selalu mendampingi serta memenuhi segala kehendak tuanku." Demikian ucapan wanita itu seraya mengurut togog tuwed nangka sehingga karena seolah—olah telah berhubungan dengannya keluarlah spermanya. Atas kehendak Hyang Bhatara akhirnya perempuan itupun hamil, namun ia tidak henti hentinya berujar bermohon kepada Bhatara agar apa yang dicita—citakan terlaksana.

Selanjutnya datanglah Bhatara Brahma disertai Bhatara Semara seraya berkata “Hai kamu perempuan Baliaga dusun, apa kehendakmu sekarang ? Hendak bersuami dengan togog ?".  Perempuan itupun menjawab sambil menyembah: “Wahai paduka Bhatara, hamba menyadari tetapi oleh karena besar kasih sayang hamba kepada tawulan ini, andaikata berkenan dihati Bhatara alangkah berbahagia perasaan hamba seandainya paduka Bhatara dapat menjelmakan tawulan ini menjadi manusia agar dapat hamba jadikan suami sampai seterusnya”. Bhatarapun menjawab: “Hai kamu manusia andaikata demikian kehendakmu baiklah akan aku laksanakan segalanya”. Kemudian Bhatara pun beryoga sehingga tidak lama akhirnya tawuluan itu menjelma menjadi seorang pria yang amat tampan. Tidak terkatakan betapa gembiranya wanita dusun Baliaga itu, sebagai tidak di dunia perasaannya. 


Segera penjelmaan itu diayunnya, dipangku, dirangkul, dielus— elus karena suka citanya sehingga hampir saja keluar sanghyang tiga smaraturanya (sperma), Tercenganglah Bhatara melihat tingkah laku perempuan itu dan berkata : “Hai kamu manusia, amatlah tidak senonoh dirimu, sekarang terimalah kutukanku atas dosamu yang tidak tahu diri tidak sabar berkasih kasihan serta mengelus elus dihadapanku, sedikitpun kamu tidak mengenal malu dan tidak mempunyai perasaan takut. Semogalah kamu hai manusia selalu bertengkar, tidak serasi dalam keluargamu karena kawin dengan tuwed, kelak apabila kandungan ini lahir semoga melahirkan gumatap-gumitip sejumlah 175 dan berbalik menjadi musuh manusia di dunia. Selanjutnya apabila kamu kembali melahirkan anak dengan si Tawulan dimanapun mereka berada agar bernama Ki Mangatewel sebab leluhurmu berasal dari kayu tuwed nangka." 

Pada bahagian lain babad Pasek Kayuselem diselingi cerita bertahtanya seorang raja bernama Detya Karna pati dengan abiseka çri Jayapangus yang berkeraton di Balingkang. Selama beliau memegang tampuk pemerintahan, Bali amat aman, tenteram dan segala usahanya selalu berhasil. Sebaliknya ketika çri Jayapangus wafat, Bali kembali menjadi lengang sebab tidak ada raja yang membimbing penduduk Bali.


 Menyadari hal ini Bhatara Putra jaya, Bhatara Ghnijaya serta Hyang Catur Purusa bersama sama pergi ke Jambudwipa menghadap Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk memohon, agar ada raja yang memerintah di Bali. Permohonan beliau dipenuhi dan sesuai dengan hasil pertemuan para dewa, diputuskan Mayadanawa turun ke Bali untuk memegang tampuk pemerintahan, Mayadanawa adalah anak Bhagawan Kasyapa yang kawin dengan Dyah Wyapara, Dari perkawinan ini lahir Mayadanawa yang menikah dengan Dewi Malini putri dari Hyang Anantabhoga dan beribu-kan Ni Dewi Danuka. Mayadanawa selama memerintah di Bedahulu didampingi seorang patih yang amat terkenal bernama Kala Wong dan pusat pemerintahannya terletak di Batànar ( Pejeng). Pada awal pemerintahan Mayadanawa pulau Bali tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan çri Jaya pangus yang berkeraton di Balingkang. Namun hal ini tidaklah dapat berlangsung lama sebab sifat loba,tamak angkara murka serta “Nyapa kadi aku” makin menyelubungi hatinya. 

Prabu Mayadanawa tidak ingat akan dirinya sebagai seorang raja yang harus mengayomi dan melindungi seluruh rakyat, Mayadanawa tidak ingat akan kebesaran Tuhan yang telah menjadikannya raja, bahkan dengan tegas Mayadanawa menghalangi dan melarang rakyat menghaturkan sembah dan pemujaan Ida Sanghyang Widhi Waça.

Rakyat Bali tidak diperkenankan sujud kehadapanNya sebab Mayadanawa berpendapat, tidak ada yang lebih kuasa, kuat dan berpengaruh selain dirinya. Oleh karena itu tidaklah ada gunanya menghaturkan sajian kepada Ida Sang hyang Widhi Waça kecuali kepada dirinya. Tindakan di atas amat merisaukan para dewata sebab sejak saat itu rakyat Bali tidak ada yang berani menghaturkan sembah dan bakti kepadaNya. Mereka takut melakukannya, khawatir serta cemas dikenakan hukuman ataupun siksaan oleh Mayadanawa, kegelisahan para dewata makin tidak dapat dibendung lagi. Akhirnya para Bhatara dan dewata di Tolangkir menghadap Hyang Pramesti Guru, memohon agar Prabu Mayadanawa yang mencemaskan penduduk Bali dimusnahkan dari madyaloka. Hyang Pramesti Guru memerintahkan para dewata, para resi dan tidak ketinggalan Bhatara Indra agar turun ke Bali untuk melenyapkan raja Mayadanawa. Setibanya di Bali terjadilah pertempuran yang dahsyat antara bala tentara Mayadanawa dengan para dewat. Korban diantara kedua belah pihak berjatuhan dan pertempuran tetap berkobar dengan sengitnya. Bala tentara Mayadanawa terdesak, tidak kuat melawan serangan para dewata yang dipimpin Bhatara Indra, Mayadanawa dan Patih Kala Wong melarikan diri tetapi walaupun menyamar menjadi berbagai bentuk, penyamarannya tetap diketahui Bhatara Indra.
Mula—mula Mayadanawa menjelma menjadi pohon timbul, kemudian lari ke sorga menjadi seorang bidadari tetapi diketahui juga dan tak henti—hentinya dikejar oleh Bhatara Indra. Perlu kami sampaikan bahwa pada Usana Bali dijelaskan banyak nama—nama desa yang dihubungkan dengan penjelmaan Mayadanawa dalam menyelamatkan dirinya dari kejaran Bhatara Indra. Misalnya tempat Mayadanawa menjelma menjadi busung (daun kelapa muda),disebut desa Belusung, tempat Mayadanawa menyamar menjadi pusuh ( jantung pisang) disebut desa Paburwan, tempat Mayadanawa menyamar menjadi batu besar sekarang disebut desa Sebatu, Menjadi manuk (burung) disebut desa Manukaya, Tempat Mayadanawa menyamar menjadi padi disebut desa Tampaksiring dan terakhir sampailah ia pada suatu tempat dan menjelma menjadi padas (paras), Pada penjelmaan inilah akhirnya Mayadanawa dipanah oleh Bhatara Indra, sehingga menemui ajalnya. Tempat terbunuhnya Mayadanawa dan Patih Kala Wong kini dikenal dengan nama desa Toya Dapdap dan Pangkung Petas. Sedangkan darah Mayadanawa yang terus mengalir menjelma menjadi sungai yang sekarang dikenal dengan nama sungai Petanu. 

Tersebutlah setelah Prabu Mayadanawa meninggal, arwahnya dapat kembali ke sorga sebab walaupun Mayadanawa telah berbuat jahat dan melarang orang—orang menghaturkan sembah kehadapan Sanghyang Widhi Waça pada waktu beliau di Madyaloka namun tetap dianggap sebagai seorang kesatria (puruseng rana) yang rela berkorban di medan pertempuran. Dewi Malini amat sedih ditinggalkan suaminya (Mayadanawa), Ia merasa ini sebab arwah suaminya dapat menetap di sorga dengan tenangnya, Itulah sebabnya Dewi Malini pergi ke Sapta Petala menghadap ibundanya Dewi Danuka. Mendengar pengaduan putrinya, Dewi Danuka tidak dapat memecahkan permasalahan tersebut dan mereka berdua pergi menghadap Dewi Wyapara, Dewi Wyapara pun tidak dapat mengatasi persoalan di atas. Akhirnya mereka berdua(Dewi Wyapara dan Dewi Danuka) pergi ke Indraloka menghadap Bhatara Indra serta memohon agar Mayadanawa dapat kembali menjelma menjadi raja di Bali. Oleh Bhatara Indra permohonan mereka dikabulkan tetapi dengan persyaratan bahwa sebelum Mayadanawa menjelma Ia harus beryoga semadi untuk melenyapkan segala dosa yang pernah dibuatnya. Ketika yoganya selesai dan segala dosa—dosanya lenyap Mayadanawa diperintahkan menjelma menjadi raja di pulau Bali. Penjelmaan beliau buncing (kembar laki perempuan) dan berabiseka çri Aji Masula Masuli.

Sejak saat kelahiran çri Aji Màsula Masuli, Bhatara Indra memberitahukan kepada seluruh penduduk Bali bahwa mereka tidak diperkenankan kawin dengan saudara kandungnya. Mereka tidak diperkenankan meniru (amada—mada) çri Aji Masula Masuli yang kawin dengan saudara kandungnya. Ditegaskan bahwa andaikata diantara mereka ada yang melanggar, mereka harus dibuang ke laut sebab dianggap mencemarkan negara (angletuhin gumi). Lebih—lebih apabila ada penduduk yang melahirkan anak laki perempuan (kembar buncing) seperti ke lahiran Dalem çri Aji Masula Masuli, mereka harus disingkirkan dan bertempat tinggal di dekat kuburan Selama 42 hari, serta untuk mengembalikan kesucian desa penduduk harus melaksanakan upakara pamalik sumpah, anyapuh untuk melenyapkan kekotoran (keletehan) desa.


Lebih jauh diceriterakan bahwa dari çri Aji Masula Masuli ini lahirlah seorang putra yang tampan serta ahli menjalarkan weda mantra. Putra beliau bernama Tapolung (Tapaulung) yang kemudian menggantikan ayahndanya menjadi raja di Bali dengan didampingi dua orang patihnya yaitu Pasung grigis dan Kebo Iwa, Selama pemerintahan raja Tapolung, pulau Bali tetap aman seperti pada masa pemerintahan Sri Aji Masula Masuli.

Selanjutnya pada bagian akhir babad mi dijelaskan bahwa Bhatara Putrajaya memerintahkan agar :

a. Mpu Ghnijaya beryoga di gunung Lempuyang bersama—sama Bhatara Kamimitan yaitu Bhatara Ghnijaya.

b. Mpu Semeru beryoga di Besakih bersama— sama Bhatara Putrajaya.

c. Bhatara Ghana beryoga di Dasar Bhuwana.

d. Mpu Kuturan beryoga di silayukti.

e. Mpu Bradah ke Jawa dan ke Bali (angajawa dan angabali).

Mpu Ghnijaya menurunkan Sanak Pitu, Mpu Sumeru menurunkan Mpu Kamareka, dan Mpu Ghana menurunkan Mpu Galuh.

Setelah kita mengikuti beberapa garis besar isi babad Pasek Kayuselem yang merupakan uraian pelengkap babad ini, baiklah pada bagian ini kita mengalihkan pikiran untuk membicarakan bagaimana asal usul terjadinya Warga Pasek Kayuselem sesuai dengan babad yang kami pakai dasar penyusunan tulisan ini.

Tersebutlah pada waktu para dewata merabas dan membakar hutan di gunung Tampurhyang sebuah pohon asam( tuwed) tidak habis terbakar oleh api. Tuwed asam yang masih tersisa ini kelihatan sebagai orang yang sedang bersemadi (ngranasika). Penduduk Bali makin bertambah mengingat sudah banyaknya manusia di Bali. Bhatara Brahma diperintahkan oleh Hyang Pramesti Guru turun ke Bali untuk menciptakan manusia agar kelak ada keturunan Bhujangga di Bali. Ketika beliau sampai di Tampurhyang dijumpainya tuwed asam tersebut. Beliau amat tertarik melihat dan berkehendak memperbaikinya. Kemudian Hyang Brahma mengundang Bhagawan Wismakarma untuk memperbaiki dan memperhalus tuwed asam itu agar benar—benar menyerupai bentuk manusia. Untuk memenuhi maksud di atas serta agar beliau tidak dikenal oleh orang—orang Baliaga. Bhagawan Wismakarma menyamar menjadi seorang petani dusun, berbaju kotor dan bertopikan sebuah kuskusan datang ke tempat tuwed asam bekas pembakaran hutan di Tampurhyahg. Tuwed tersebut diperbaiki dengan saksama sehingga benar benar berbentuk wujud manusia yang tampan.

Sebelum Bhagawan Wismakarma meninggalkan Tampurhyang beliau tidak lupa memberikan petunjuk kepada wong Baliàga, bagaimana cara membuat bangunan (ngundaginin) agar dapat dikembangkan dan diterapkan pada masa mendatang. Atas perintah Hyang Pramesti Guru, Bhatara Indra ditugaskan mengajar wong Baliaga agar mereka dapat mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ukir mengukir (sangging). Selama Bhatara Indra berada di Tampurhyang beliau tidak lupa menyempurnakan togog celagi yang telah diperhalus sebelumnya oleh Bhagawan Wismakarma. Demikian pula agar penduduk Baliaga mengenal perdagangan, Bhatara Hyang Pramesti Guru mengutus para Bidadari menyamar menjadi penjual keris serta kain agar dapat ditiru oleh wong Baliaga. Pada kesempatan ini para bidadari pergi ke tempat togog tuwed celagi dan mengenakan kain, destar, sampir, ikat pinggang serta menyisipkan sebuah keris di pundaknya.
Keindahan togog makin bertambah serta orang—orang Baliaga tidak bosan—bosan menikmatinya. Siang malam mereka berbondong-bondong melihat sehingga tak ubahnya Seperti Sang Kresna di Dwarawati sedang dihadapan para menteri dan rakyatnya. Kewibawaan togog makin cemerlang, sehingga banyak diantara mereka yang kagum dan tercengang menyaksikan. Bahkan banyak pula diantara mereka mengeluarkan ucapan bahwa apabila tögog tersebut benar benar berwujud seorang manusia mereka akan sanggup menghamba selama hidupnya.

Diceriterakan Mpu Mahameru turun ke Bali hendak menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir dan Bhatara Ghnijaya di Lempuyang. Dalam perjalanannya menuju desa Kuntugladi beliau beristirahat sejenak di Tampurhyang. Di tempat itu Mpu Mahameru melihat air yang jernih Sehingga timbul hasrat beliau untuk mencuci muka. Ketika beliau mencuci muka terlihat olehnya tuwed celagi yang amat tampan dan berwibawa sedang dikerumuni oleh orang orang Baliaga. Terketuk hati beliau untuk menjelmakan togog tersebut menjadi seorang manusia. Mpu Mahameru beryoga dan dengan segala keahliannya dan terjelmalah togog itu menjadi seorang manusia. Tiba—tiba manusia penjelmaan togog (Kayureka) menjadi amat tercengang serta keheran heranan sebab tidak mengetahui apa yang harus ia perbuat, seraya menghaturkan sembah dihadapan Sira Mpu ia pun bertanya : “Wahai Paduka Sang Mahamuni, siapakah yang telah menaruh belas kasihan kepada hamba sehingga hamba benar—benar menjelma menjadi seorang manusia ?“. Mpu Mabameru menjawab : “Hai Kayureka akulah yang menjelmakanmu menjadi manusia”. Kayukreka menyembah dan memeluk kaki beliau seraya bertanya : “Siapakah sebenarnya paduka yang masih kasihan kepada hamba ?“. Mpu Mahameru menjelaskan bahwa beliau adalah putra Bhatara Ghnijaya yang bersemayam di Adrikarang (Lempuyang).


Mendengar penjelasan itu Kayureka berkata “Wahai Mpu engku junjungan hamba, hamba merasakan seolah—olah mendapatkan amerta dari paduka. Apakah yang harus hamba pergunakan membayar hutang hamba kehadapan paduka yang tak ubahnya sebagai bumi dan akasa ini ?. Sekarang tuluskanlah belas kasihan paduka kepada hamba agar segala dosa—dosa yang ada pada diri hamba menjadi bersih seterusnya. Demikian juga apabila paduka berkenan hamba memohon agar hamba bisa jüga kiranya mengikuti jejak Sang Mahameru”. Mpu Mahameru menjawab : “Tidak boleh aku menganugrahkan Sanghyang Aji kepadamu sebab engkau bukanlah berasal dari manusia, Tidak sepatutnyalah Sanghyang Aji dianugrahkan kepadamu”. Mendengar jawaban itu Kayureka menangis, menyesali nasib nya yang malang serta berkata : “Wahai paduka Bhatara, seandainya paduka tidak ada belas kasihan kepada hamba, menganugrahkan Sanghyang Aji, baiklah kembalikan dirihamba kepada wujud semula yaitu berupa tuwed, Apakah gunanya hamba menjadi manusia tidak mengetahui tata laksana dan selalu akan dijadikan tertawaan orang ?“. Mpu Mahameru tertegun mendengar ucapan Kayureka Tiba tiba terdengar suara dari angkasa : “Anakku Sang Mpu, janganlah demikian, boleh juga anakku menganugrahkan Sanghyang Aji kepadanya sebab anakku jugalah yang menjelmakan Kayureka nenjadi manusia, Janganlah khawatir aku memperkenankan Sanghyang Aji diajarkan kepada— nya”. Mpu Mahameru berpikir dan berkata : “Wahai Kayureka, benarlah kamu ini seorang dewata yang berganti rupa menjadi sebuah togog, Pantaslah kamu menjadi Wong lawu, sekarang marilah mendekat képadaku, aku akan menganugrahimu”. Kayuréka pun mendekat dan menunduk di hadapan Sang Adiguru. Sabda Sang Mahajati: “Hai Kayureka, dengarkanlah petuahku baik—baik dan janganlah engkau mengumbar—ambirkan serta meremehkannya, karena Sanghyang Aji yang akan aku anugrahkan amat keramat. Terimalah anugrahku semoga kamu dapat meresapkan ke dalam batinmu dan karena tidak adanya Bhujangga di Bali, mulai sekarang engkau diperkenankan menjadi Bhujangga (mujanggain) orang—orang Baliaga semuanya. Janganlah lupa memberitahukan keturunanmu agar mereka selalu mengingat asal usulnya. Begitu pula kelak apabila lahir keturunan dari kakakku Mpu Ghnijaya, keturunanmu harus menghormat dan menyembahhya, Tetapi keturunanku tidak boleh menyembah keturunanmu sebab kamu aguru putra denganku lagi pula penjelmaanmu berbeda dengan kelahiranku. Ingatlah jangan lupa, amat berbahaya apabila engkau tidak mentaati petuahku, Ada pun anakku Kayureka oleh karena engkau sudah apodgala (dibaptis) mulai sekarang engkau bernama Mpu Bendesa Dryakah sebab engkau berasal dan tuwed pada mulanya. Engkau diperkenankan melaksanakan upakara kematian (pralina ngentas) tetapi yang boleh kamu selesaikan upakaranya hanyalah orang—orang Baliaga saja, Anakku Mpu Dryakah kelak apabila engkau sudah meninggal dan diupakarai oleh anak cucumu, upakaranya tidak boleh diselesaikan oleh Brahmana. Kamu cukup memohon di kawitanmu (kahyanganta) sebab asal usulmu bukanlah dari manusia. Apabila anak cucumu telah selesai mengupakarai jasadmu, engkau diperkenankan melakukan pitra yadnya sebanyak tiga turunan, dan setelah tiga turunan barulah sang resi Siwa Bhudha diperkenankan menyelesaikan (muputang) upakaranya. Ingat dan beritahukanlah petuah—petuahku ini kepada seluruh keturunanmu karena amat berbahaya apabila kena kutukanku". Demikianlah sabda Mpu Mahameru kepada sisyanya disertai sembah sujud Mpu Dryakah dihadapannya.


Disamping itu Mpu Mahameru memperingatkan kepada orang Baliaga bahwa kelak apabila diantara mereka ada yang hendak melaksanakan upakara pitrayadnya, mereka diperkenankan membakar jasad, (mabya geseng ) dan setelah dibakar diperkenankan menanam kembali. Itulah yang disebut wangsa Krama Tambus yang penyelesaian upakaranya dilaksanakan oleh Mpu Dryakah. Sebagai kelanjutannya mereka diperkenankan juga melaksanakan upakara matres dan matuwun.

Kepada keturunan Ki Barakan yang berasal dari tanah liat diperingatkan oleh Mpu Mahameru bahwa keturunan mereka diperkenankan membakar jasad dan menanamnya kembali. Keesokan harinya mereka diperkenankan melakukan upakara ngirim yaitu membuat symbolis orang—orangan di atas kuburannya dan apabila ada yang hendak melanjutkan dengan upakara matres dan matuwun tidak dihalangi. Mpu Mahameru menegaskan. apabila mereka hendak bercakap—cakap dengan Bhujangga Mpu Bendesa Dryakah, mereka harus menyebut beliau Jro Gede sebagai panggilan penghormatannya.

Ditambahkannya setelah Mpu Mahameru memberikan penjelasan kepada Wong Baliaga, untuk lebih sempurnanya keutamaan (kahotaman) Mpu Bandesa Dryakah, Mpu Mahameru kembali menganugrahkan Sanghyang Aji Sehingga pikiran (ajnanan) Mpu Dryakah makin terang Sejak saat itu nama beliau diganti menjadi Mpu Kamareka. Tidak lama setelah menganugrahkan Sanghyang Aji serta memberikan petuah—petuah kepada Wong Baliaga, Mpu Mahameru meninggalkan Tampurhyang melanjutkan perjalanan menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir serta Hyang Kamimitan Bhatara Ghnijaya di gunung Lempuyang. Selama di Bali dan bekerja sama dengan Bhatara Tri Purusa, Tolangkir, Lempuyang dan UlunDanu yang dibantu oleh Wong Baliaga di bawah pimpinan Mpu Kamareka, beliau membuat beberapa kahyangan-kahyangan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan keberangkatan Mpu Mahameru ke Jawadwipa mengalami hambatan.

Diceriterakan sepeninggal Mpu Mahameru diBali, Mpu Kamareka kembali beryoga di gunung Tampurhyang yaitu pada suatu tempat yang agak tinggi bernama Gwa Song. Beliau melaksanakan yoganya dengan taat dan tekun sesuai dengan petunjuk yang diterima dan Mpu Mahameru. Dalam melaksanakan tapa, beliau tidak makan maupun minum kecuali memusatkan pikiran (ngranasika ) menghadap ketimur selama satu tahun empat hari, menegakkan Sanghyang Ongkara Mantra di dalam hatinya. Berkat kekuatan yoganya maka turunlah paduka Bhatara Brahma dari alam sunya menganugrahi Mpu Kamareka. Bhatara Brahma bersabda “Hai kamu Mpu Kamareka sungguh amat kuat yoga semadimu menghormat kepadaku. Sekarang terimalah anugrahku kepadamu tatwa dyatmika, bentuk tak berbentuk. Begitu pula aku berpesan kepadamu bahwa apabila nanti ada seorang perempuan cantik datang kepadamu mencari tirtha kamandalu, banu pawitra, itulah anugrahku sebagai istrimu dan nanti apabila kamu melahirkan keturunan dengannya berilah ia nama Mpu Ghnijaya Kayu Ireng." Demikianlah anugrah Bhatara Brahma maka Mpu Kamareka menghaturkan sembah.


Tidak hanya sampai di sini bahkan setelah beliau menerima anugrah Bhatara Brahma, Mpu Kamareka kembali beryoga memusatkan pikiran dihadapan api perasapan, Asapnya membubung ke atas, bau yang harum sampai ke sorga. Gemparlah seluruh widyadara dan widyadari para dewata serta para resi gana yang ada di sorga. Dari awang—awang keluarlah Bhatara Sanghyang Acintya disertai hujan bunga dan bersabda : “Wahai Kamareka walaupun kamu seorang Mpu dan keturunan sudra (kula wangsa) tetapi tidak terhingga betapa teguh yoga Semadimu, Sekarang ada anugrahku kepadamu tirtha kamandalu, banu pawitra. Terimalah tetapi janganlah ditekeburkan, simpanlah baik—baik dalam hatimu." Tak lama kemudian lenyaplah Bhatara diiringi weda pujaan Mpu Kamareka. Bertambah kegembiraan Mpu Kamareka berkat anugrah Sanghyang Aji yang telah disampaikan kepadanya.

Diceriterakan Dadari Kuning diperintahkan Bhatara Indra ke Tampurhyang untuk menjadi jodoh Mpu Kamareka. Setibanya di Gwa Song Dadari Kuning dilihat oleh Mpu Kamareka seraya disapanya, “Wahai wanita cantik yang tak ubahnya seperti Dewi Gangga, dan manakah tuan putri sehingga sampai di sini di tengah hutan yang lebat serta siapakah sebenarnya tuan putri ini ? Siapakah orang tua anda,kalau boleh ceritakanlah kepada hamba segera”. Menjawab Dadari Kuning, “ Hamba ini adalah seorang bidadari dari Indraloka, membuang— buang langkah ke Bali hendak mencari tirtha pawitra. Tetapi oleh karena hamba melihat sebuah sinar gemerlap, hamba memutuskan menuju sinar tersebut. Itulah sebabnya hamba sampai ke tempat ini”. Mpu Kamareka menjawab : “Baiklah hai wanita cantik yang tak ubahnya sebagai Dewi Ganggà. Apakáh maksud tuan putri mencari tirtha pawitra ? ”. Dedari Kuning menjawab: ''Wahai Sang Maha Mpu, dahulu pada waktu hamba di sorga loka hamba merasa khawatir terhadap para watek gandharwa yang selalu mendesak dan memaksa hamba untuk menjadi istrinya. Itulah sebabnya hamba pergi dari sorga, pergi tanpa tujuan untuk membersihkan diri dan akhirnya bertemulah hamba dengan Sang Mahamuni di sini." Mpu Kamareka berkata : “Baiklah andaikata demikian,apabila tuan putri tidak berkeberatan marilah kita bersama—sama menanggung kesengsaraan di hutan belantara ini." Dadari Kuning menjawab : “Aduhai Sang Mahamuni teringatlah hamba pada perintah Bhatara, dahulu menyuruh hamba turun ke dunia. Mungkin benar inilah jodoh hamba, Ya apabila Mahamuni tidak berkeberatan tuluskanlah belas kasihan Mpu engku kepada hamba." Mpu Kamareka tertegun tidak bisa menjawab permohonan Dadari Kuning oleh karena suka citanya, pilu bagaikan disayat hatinya,Akhirnya beliau pun menjawab dengan gregetan : " Aduhai buah hatiku tidak lain hambalah jodohmu, teringat hamba kepada sabda Bhatara báhwa bidadarilah tuanku, tidak sabar sudah kakandamu menantikannya”. Dadari Kuning menunduk, dipangku, dibelai oleh Mpu Kamareka dengan gregetan seraya berkata : “Aduhai idaman hatiku, teruskanlah kasih sayangmu kepada hamba, bersama menderita di dalam hutan, Kakandamu tidak akan menentangmu walau pun sampai tujuh kali menjelma kanda akan selalu menyertaimu”. Dadari Kuning menjawab dengan berlinangkan air mata “Wahai Mpu ku janganlah demikian tergesa—gesa Mpu ku. Siapakah yang tidak akan bergembira apabila Mpu ku berbahagia bersama hamba. Tetapi permintaan hamba apabila perkawinan telah terlaksana Mpu ku tidak boleh menolak segala permintaàn hamba sebab demikianlah tata krama di sorga loka." Menjawab Sang Mpu Kamareka “Baiklah kalau demikian, kanda akan mematuhi permintaanmu, Janganlah ragu—ragu terhadap hamba." Kemudian merekapun kawin dan bersama sama mengecap kebahagiaan orang bersuami istri.


Entah berapa lama mereka bersuami istri, lahir dua orang anak laki perempuán yang amat cantik rupanya. Tidak terhingga betapa gembiranya Mpu Kamareka beserta istrinya. Kedua putra putri beliau diupacarai sesuai dengan upakara yang telah berlaku. Kedua putra putrinya diberi nama Ki Kayu Ireng dan Ni Kayu Ayu Cemeng. Ketika keduanya telah dewasa Ki Kayu Ireng berkata pada ayahndanya “Wahai ayahnda oleh karena anakanda sudah dewasa dan di gunung demikian dinginnya kalau boleh hamba ingin mencari seorang istri, ayah anda”. Sang Maha Mpu menjawab:  “Anakku Kayu Ireng baiklah tetapi yang patut engkau jadikan istrimu tidak lain adikmu Ni Kayu Ayu Cemeng sebab ialah jodohmu semenjak engkau berada di dalam perut. Hanya saja sekarang masih menunggu hari yang baik untuk melangsungkan upakaranya." Akhirnya ketika tiba waktunya Ki Kayu Ireng dikawinkan dengan Ni Kayu Ayu Cemeng serta setelah 
apodgala (dibaptis) Ki Kayu Ireng berganti nama Mpu Ghnijaya Mahireng.

Selanjutnya, pada waktu Mpu Mahameru pergi ke Bali menghadap Bhatara Putrajaya di Besakih dan Bhatara Ghnijaya di Lempuyang beliaupun tidak lupa singgah di Tampurhyang menemui Mpu Kamareka. Beliau disambut Mpu Kamareka dan istrinya sesuai dengan penyambutan para pendeta yang lazim dilaksanakan. Pada kesempatan ini Mpu Kamareka diberi petuah agar tetap taat melaksanakan apa yang telah dianugrahkan kepadanya. Ditegaskan bahwa sejak saat itu Mpu Kamareka rumawak ksatriya Brahmana selama tiga keturunan saja dan setelah itu kembali menjadi kulawangsa (sudra). Para pratisentana Mpu Kamareka dimanapun mereka berada agar tetap menjaga gagaduhan yang telah dipaparkan. Sebaliknya apabila ada yang melanggar gagaduhan tersebut mereka dikutuk agar menjadi wong tani cingkrang. Pada waktu meninggalnya tidak boleh upakaranya dilaksanakan oleh brahmana atau dibakar sebab mereka di anggap bukan ketürunan Mpu Kamareka. Sedangkan bagi mereka yang taat melaksanakan gagaduhan di atas, disebut wong tani dan setelah tiga turunan menjadi Arya Pasek Kayuselem. Demikian pula mereka yang sudah dianggap akhli menjalankan tata agama diperkenankan mujanggain tetapi batasnya hanya tiga turunan dan Setelah itu surud kembali. Kelak apabila ada keturunanmu hendak membakar jasad leluhur apabila belum ada brahmana di Bali yang lahir dari keturunan Mpu Ghni jaya, keturunan beliau yang disebut Jro Gede diperkenan kan menyelesaikan upakaranya. Sekarang anakku diperkenankan melaksanakan penyelesaian (muputang) jasad orang—orang Baliaga semua.

Sebelum Mpu Mahameru kembali ke Jawadwipa beliau tidak lupa menganugrahkan Sanghyang Aji kepada Mpu Kamareka. Sepeninggal Mpu Mahameru, Mpu Kamareka memberi petuah kepada putranya sesuai dengan petuah yang beliau terima dari Mpu Mahameru. Antara lain oleh karena telah banyaknya keturunan Mpu Kamareka ditekankan agar pratisentanan beliau tetap menjaga gagaduhan dan harus aguru sisya dengan keturunan Bhatara Ghnijaya yang disebut Sanak Pitu. Walaupun mereka bersaudara, oleh karena asal penjelmaan mereka berbeda maka ditegaskannya keturunan Mpu Kamareka harus menghormati dan menyembah keturunan Sanak Pitu. Keturunan Mpu Kamareka tidak diperkenankan saling ambil mengambil (silih alap) dengan keturunan Sanak Pitu. Tetapi apabila keturunan Sanak Pitu berkenan, mereka boleh mengambil keturunan Mpu Kamareka, Keturunan Sanak Pitu tidak diperkenankan menyembah keturunan Mpu Kamareka tetapi keturunan Mpu Kamareka harus menyembah keturunan Sanak Pitu sebab méreka pernah menjadi sisya dengan Bhatara Ghnijaya. 


Seandainya keturunan Mpu Kamareka meninggal jasadnya tidak boleh dibakar agar asapnya tidak membubung lebih atas dan pura Panarajon, pura Ulun Danu, pura Tegeh serta gunung Tampurhyang. Bhatara tidak menginginkan kahyangañ beliau diliputi asap mayat yang amat kotor (leteh). Untuk mengatasi hal ini mereka hanya diperkenankan melaksanakan upakara penguburan ( mabya tanem ).
Disamping Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu Kamareka melahirkan pula tiga orang putra yaitu Sang Made Clagi, Sang Noman Taruan dan Sang Ketut Kayuselem yang setelah dibaptis (apodgala) masing—masing berganti nama menjadi Mpu Kaywan, Mpu Nyoman Tarunyan dan Mpu Badengan. Seperti halnya Mpu Ghnijaya Mahireng ketiga adik beliau inipun menjadi Bhujangga di Bali. Dari Goa Song mereka berpindah dan beryoga semadi mencari tempat masing—masing. Mpu Kaywan berpindah dan beryoga di Panarajon, Mpu Nyoman Tarunyan pindah ke gunung Tuluk biyu di Blong yang selanjutnya disebut desa Taruñyan.
Sédangkan Mpu Badengan menetap di Gwa Song (Songan)’beserta kakaknya Mpu Ghnijaya Mahireng. Dan catur bhujangga ini melahirkan keturunan yang pada akhirnya saling ambil mengambil (silih alap) diantara mereka.


Dunia berputar terus, usia Mpu Kamareka makin bertambah lanjut dan masanya kembali ke alam sunya makin mendekat, Kini Mpu Kamareka sudah wreda, beliau menyadari bahwa tidak lama beliau harus meninggalkan anak cucunya. Oleh karena itu beliau memanggil seluruh anak cucunya untuk menyampaikan bahwa pada purnamaning kartika. beliau akan meninggalkan mereka kembali kepada Sanghyang Acintya. Pada kesempatan itu beliau berpesan bahwa apabila beliau telah meninggal agar anak cucunya membuatkan kahyangan mengukuhkan (ngadegang ) Sanghyang Tri Purusa beserta Hyang Bhatara lainnya dan khusus baginya agar dibuatkan Sebuah bebaturan sebagai pelinggihnya. Kahyangan tersebut harus dipelaspas, anyapuh serta melaksanakan piodalannya pada hari tileming kadasa. Seluruh keturunannya (Warga Pasek Kayuselem) agar melaksanakan upacara di atas dengan hikmat dan tawakal. Mereka yang tidak mau patuh kepada petunjuk beliau akan kena kutukan yaitu banyak kerja tetapi tidak menemukan pahalanya. Segala tindak perbuatannya tidak akan menemukan kebahagiaannya serta setiap akan muncul di akhiri dengan kegagalan (sugih gawe kurang pangan salampah lakunya tan amangguhaken ayu, mentik—mentik punggel). Selanjutnya apabila pada kahyangan tersebut tumbuh pohon kayu yang hitam warñanya, hal itu suatu pertanda bahwa beliau (Mpu Kamareka) telah berbadan sakala niskala, telah beradá di sisi Sanghyang Jagat Karana serta sejak saat itu berilah nama kahyangan tersebut Pura Kayuselem. Seandainya di sini (di Gwa Song) telah tumbuh pohon beringin hal itu suatu pertanda bahwa Mpu Kamareka di alam sunya telah atirta gamaña. Dan sanalah beliau mendoakan seluruh keturunannya (Warga Pasek Kayuselem) yang taat dan patuh terhadap petuahnya tidak akan kurang sesuatu apapun. Hidup dalam kebahagiaan serta kepada mereka yang telah ahli menjalankan weda mantra diperkenankan melaksanakan upakara (manditanin) dan patut dihormati seluruh keluarganya.

Kini- tibalah purnamaning kartika, hari yang ditunggu—tunggu Mpu Kamareka bersiap—siap menuju sunya taya. Pada waktu itu seluruh wong Baliaga, para tamu terutama para warga Sanak Pitu diundang menghadiri dan menyaksikan perjalanan beliau ke alam niskala. Putra— putra beliau sang atur pandita yaitu Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu Panarajon, Mpu Tarunan serta Mpu Badengan sibuk menyapa dan menyambut para tamu yang datang menghadirinya. Dauh 5, rabu, madhura, byantara, dadi, mahulun wurukung, guru mandala, manga pada waktu itulah saatnya, Mpu Kamareka mengenakan pakaian serba putih tanda kesuciannya. Seluruh persiapan upakara telah disiapkan yaitu dupa, menyan, astanggi, tile gandapati serta seluruh alat—alat pemujaan lainnya berada di tempatnya masing masing. Mpu Kamareka dengan tenang dan tabah dituntun para putranya keluar menjumpai para tamu yang diundang nya. Kepada para tamu Mpu Kamareka berkata dengan hormatnya : “Amatlah berbahagianya hati kami sebab Seluruh maha pendeta telah datang ketempat ini,meluangkan waktu untuk memenuhi undangan kami, menyaksikan dan memberikan doa restu sebagai pengantar kami menuju alam sunyata. Kesemuanya itu benar-benar mengharukan dan menggembirakan hati saya sebab segalanya menandakan bahwa para Mpu benar—henar tulus, ikhlas kepada hamba". Menjawab para Mpu serta sisya beliau : “ Wahai adikku Sang Mpu, andaikata demikian maafkanlah kami sebab seolah—olah lupa mematuhi kehendak Sang Mpu. Kini kami akan selalu bersedia memenuhi dan mentaati kehendak adik Sang Mpu”. Mpu Kamareka berkata kepada para sisyanya : "Aduhai para sisyaku semua, dengarkanlah sekali lagi petuahku apabila keturunanmu telah berkembang beritahukan pula kepadanya bagaimana cara melaksanakan upakara berkenaan dengan upakara kematian (ngaben). Andaikata diantara keturunanmu belum ada yang bisa mujanggain, salah seorang dan keturunan Sanak Pitu yang telah menjadi Bhujangga diperkenankan melaksanakan upakara di atas sebab demikianlah petuah yang telah aku terima dari Bhatara junjungan kita Bhatara Mpu Mahameru. Ingatlab segala nasehat—nasehat ku. Jikalau ada keturunanku yang tidak mau mematuhi petuah serta nasehatku semoga kena kutukan, merosot, bodoh, banyak kerja tetapi tidak menemukan pahalanya. Lagi pula pada waktu engkau melaksanakan upakara kematian (ngaben) tetapi belum ada Bhujangga di Bali engkau diperkenankan nuhur tirta pangentas di kahyangan saja. Tetapi sebelum engkau nuhur tirta,berdoa dan mohonlah kehadapan Bhatara Jagat Karana serta Sanghyang Tri Purusa. Namun sebelum melaksanakan hal di atas beritahukankanlah kepadaku dahulu,(anging manira astawa rutnuhun) aku akan datang dari alam sunya membantumu memohonkan tirtha pangentas dan pabersihan. Kemudian jika Bhatara Tri Purusa telah menganugrahkan tirtha beritahukan pula kepadaku segera sebab dari sana aku bersama—sama Bhatara akan menganugrahkan tirtha panglambus. Adapun cara memohonnya pergunakanlah sangku tembaga, bahem. slaka, batil besi, dengan rerajahannya masing—masing. Tempat Sanghyang tirta berupa 3 buah periuk (payuk anar) tempat tirta pabersihan”. Para sisya mendengarkannya dengan tekun dan meresapkan petuah—petuah beliau ke dalam hati seraya menghaturkan sembah kepada sang kawitan. Ketika telah selesai memberikan petüah Mpu Kamareka beryoga dan dengan tenang moksa menuju alam sunyata.

Diceriterakan setelah Mpu Kamareka moksa Mpu Ghni jaya Mahireng beserta saudara—saudara dan cucunya berkumpul membicarakan petunjuk yang telah disampaikan Sang wuwus lepas yaitu agar segera melaksanakan upakara pitrayadnya Hari Rabu, mahadewa, kresna paksa ping 15, sasih badrawada mereka mengundang para pandita yang disebut Sanak Pitu agar datang ke Songan menyaksikan upakara pitrayadnya yang akan diselenggarakannya. Upakara berlangsung dengan meriah, gambelan selonding ditabuh sehingga menambah khikmatnya upakara tersebut. Mpu Ragarunting dan Mpu Kaywan mamutru. Mpu Ketek ayoga tasik wedana, Mpu Witadharmma melaksanakan reg weda, Mpu Panarajon ngastawa wedana. Amatlah meriahnya upakara di atas, suara genta bergema bagaikan suara kumbang sedang mengisap bunga. Demikianlah suasana pitrayadnya yang dilaksanakan oleh Mpu Ghnijaya Mahireng dan setelah upacara berakhir para tamu pun kembali ke tempatnya masing—masing.

Oleh karena upacara pitrayadnya telah dilaksanakan selanjutnya Mpu Ghnijaya Mahireng beserta anak cucunya membangun kahyangan sesuai dengan petuah sang wuwus lepas yaitu :

  1.  Di Jeroan.
  • Sanggar agung pangastawan Bhatara Hyang Suci yang berabiseka Sanghyang Taya. 
  • Gedong Tn Purusa tumpang t1u, pangastawan Bhatara çiwa, Sada Siwa, Parama Siwa yang juga disebut Sanghyang Tiga Yadnya. 
  • Gdong tumpang dua, pangastawan Bhatara Hyang Brahma dan Hyang Wisnu. 
  • Kemulan rong telu, pangastawan Sanghyang Tn Purusa, Brahma Wisnu, Içwara rikala atma tiga. 
  • Bebaturan rong dua pangastawan Sanghyang Akasa bertemu dengan Sanghyang Ibu Pertiwi disebut juga, Ibu, Bapak yang menimbulkan amerta siwaiba ( Dwipala).
      2. Di Madya : Pesamuhan agung untuk Bhatara semua.

      3. Di Jabayan.

  • a. Bebaturan rong dua, lanang wadon pangastawan Hyang Kawitan.
  • b. Bebaturan rong t1u, pangastawan.Sanghyarig tiga sakti.
  • c. Sedahan taksu apit lawang.

Seluruh pelinggih kahyangan di atas selesailah sudah dibangun serta upakara anyapuh, pamelaspas, ngenteg linggih segera dilaksanakan. Tidak lama kemudian pohon asam hitampun tumbuh di kahyangan tersebut sehingga sejak saat itu pura tersebut dinamakan pura Kayu selem yang juga merupakan suatu pertanda Mpu Kamareka telah berbadan sakala niskala.


Sesuai dengan petuah Hyang Kawitan oleh karena pelaksanaan upakara telah selesai, sebagai pertanda kebenaran (kesujatian) kahyangan dibangunnya, didirikan pula sebuah kahyangan disebut Pura Jati yang menjadi junjungan penduduk pulau Bali.

No comments:

Post a Comment