MAKNA DAN SEJARAH NYEPI



Image may contain: 4 people, people standing and outdoor
(Seka Suka Duka Tempekan Likawa - ST Wira Karya - Banjar Kedampal)
Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan pinanggal apisan Sasih Kadasa, atau tanggal pertama atau kesatu bulan ke sepuluh dalam Kalender Hindu.  Sedangkan rangkaian Nyepi sudah dimulai sekitar tiga hari sebelumnya dan berakhir sehari setelahnya. Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi.

Kita semua tahu bahwa Agama Hindu berasal dari India. Sebelum Masehi kondisi di India sering diwarnai dengan pertikaian yang panjang antara suku bangsa yang memperebutkan kekuasaan sehingga penguasa (Raja) yang menguasai India silih berganti dari berbagai suku, yaitu: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa, dan Saka. Di antara suku-suku itu yang paling tinggi tingkat kebudayaanya adalah suku Saka. Ketika suku Yuehchi di bawah Raja Kaniska berhasil mempersatukan India maka secara resmi kerajaan menggunakan sistem kalender suku Saka. Keputusan penting ini terjadi pada tahun 78 Masehi.



Image may contain: 11 people, people smiling, people standing and outdoor
(pemudi melakukan photo bersama di depan ogoh ogoh yang akan di arak saat pengerupukan)
Sejak itu sistem kalender Saka digunakan terus menerus hingga saat ini yang disebut Tahun Saka. Itulah sebabnya sistem kalender Hindu “seolah-olah terlambat” 78 tahun dari kalender Masehi. Pada tahun 456 M (atau Tahun 378 Saka), datanglah ke Indonesia seorang Pendeta penyebar Agama Hindu yang bernama Aji Saka asal dari Gujarat, India. Beliau mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan Agama Hindu di Jawa.

Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke-13 M) sistem kalender Tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kartagama. Masuknya Agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14 dengan sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali hingga sekarang. Perpaduan budaya (akulturasi) Hindu India dengan kearifan lokal budaya Hindu di Indonesia (Bali khususnya) dalam perayaan Tahun Baru Saka inilah yang menjadi pelaksanaan Hari Raya Nyepi unik seperti saat ini.

Peringatan Tahun Baru Saka dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian upacara sebelum dan sesudahnya antara lain: 

a. Upacara Melasti atau Makiyis
b. Tawur Agung Kesanga
c. Nyepi
d. Ngembak Geni
e. Dharma Santi

Melasti

(Desa Adat Abiansemal Saat Melasti)

Melasti berasal dari kata Mala = kotoran/leteh, dan Asti = membuang/memusnahkan. Melasti dilaksanakan Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura termasuk Pratima dan Pralingga di arak ke danau, laut atau pantai. Kita semua mengetahui bahwa laut merupakan sumber air yang terbesar, di mana seluruh sungai bermuara ke laut, dan dari laut pula asalnya air yang memberikan hidup di bumi ini. Segala macam air dari berbagai wilayah pastilah menuju ke laut, meskipun itu air kotor sekalipun.

Setelah sampai di laut, air tersebut dinetralisir dan bercampur dengan dengan air laut itu sendiri sehingga segala jenis kekotoran yang dibawanya tidak tampak lagi. Sehingga dengan demikian air laut menjadi pelebur sarwa mala atau segala bentuk kekotoran dan menjadi sumber amerta. Karena itu, saat mekiyis kita membersihkan diri lahir bathin, melebur malaning jagat dan mendapatkan tirtha amerta.

Pelaksanaan Melasti tidak mutlak harus bertempat di laut. Bila di daerah-daerah tertentu yang jauh dari pantai, diperbolehkan Melasti di sumber-sumber mata air yang bersih seperti danau atau pegunungan. Ini juga tidak bertentangan mengingat mata air yang ada di danau maupun pegunungan sesungguhnya berasal dari uap air laut yang telah menjadi hujan.

Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan “Apam napatam paritasthur apah” yang artinya “Air yang berasal dari mata air dan laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan”. Nah itulah fleksibilitas dari Agama Hindu yang tidak kaku dalam mengatur umatnya. Yang paling utama adalah segala Pratima atau Pralingga tersebut telah dibersihkan dan disucikan dengan sarana air. Ini karena dalam Agama Hindu, air memegang peranan yang sangat penting dalam setiap pelaksanaan upacara Yadnya, apapun itu jenisnya.

Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "Tilem Sasih Kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari keluarga, banjar, desa, kecamatan dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis jenis caru menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan ‘nyomya’ atau menetralisir kekuatan negatif Bhuta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.

Pecaruan atau Tawur dilaksanakan di Catus Pata pada waktu tepat tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis. Tata cara Tawur kesanga yang diadakan tepat pada Tilem Kasanga ini diatur dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala, Agastya Parwa, Usana Bali, dan Ekapratama.

Filosofi Tawur Agung

Filosofi Tawur dilaksanakan di Catus Pata agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan perempatan merupakan lambang tapak dara (Swastika), lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan atas (Tuhan), bawah (Alam lingkungan), kiri kanan (sesama manusia). 

Hasil gambar untuk tawur agung kesanga
Setelah tawur pada catus pata diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan/kulkul) hingga bersuara ramai/gaduh.

Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.  Pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan/desa, dan kemudian dibakar. Dengan demikian diharapkan bahwa Bhuana Agung dan Bhuana Alit telah benar-benar bersih dan suci dalam menyambut datangnya Nyepi Tahun Baru Saka.

Keesokan harinya, yaitu pada Purnama Kedasa (bulan purnama ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktifitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari Amati Geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api). Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak menghibur diri). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata/upawasa, yoga dan semadhi. Brata yang lengkap juga disertai dengan upawasa (puasa), mona (tidak berbicara) dan Jagra (tidak tidur). Jadi kesimpulannya, perayaan Nyepi memang dilakukan secara prihatin, dengan menggelar Tapa-Yadnya, bukan berhura-hura, pesta dan sejenisnya.

Amati Geni yaitu secara fisik tidak boleh menyalakan api atau membakar sesuatu apapun. Pada jaman dulu api identik dengan sarana penerangan sebelum ada teknologi berupa lampu atau listrik. Nah kini kebiasaan itu dirubah menjadi tanpa penerangan lampu atau tanpa listrik. Api atau listrik ini merupakan salah satu unsur vital dalam kehidupan manusia. Tanpa api orang tidak bisa memasak/melaksanakan aktifitas dapur lainnya. Demikian pula tanpa listrik orang tidak bisa memasak, menyetrika, menonton tv, dan mengoperasikan alat elektronik lainnya.

Nah pengertian api secara filosofi spiritual adalah tidak terbakar emosi atau amarah. Sebagaimana sifat api yang panas membakar, demikian pula api emosi atau amarah dalam diri yang dapat membakar diri kapan saja. Api kemarahan dalam diri inilah yang harus bisa dikendalikan dan dikelola supaya tidak membakar diri, dan justru bisa menjadi penerangan yang bermanfaat. Salah satu ajaran Panca Niyama Brata menyebutkan Akroda yang artinya tidak marah.

Amati Karya artinya tidak bekerja atau tidak melakukan aktifitas sebagaimana biasanya, dimaksudkan agar manusia berhenti sejenak dari segala kesibukannya sehari-hari dan fokus pada sang diri. Seseorang yang sibuk bekerja tiap hari, memiliki waktu yang sedikit untuk melakukan perenungan atau bahkan Puja (sembahyang). Nah saat Nyepi inilah yang menjadi momen yang sangat tepat untuk perenungan/introspeksi diri, berjapa, dan aktifitas spiritual lainnya karena memang kita lepas dari pekerjaan sehari-hari. Hal ini penting sebagai upaya perubahan untuk menjadi lebih baik di tahun yang baru. Inilah merupakan hakikat perenungan diri saat Nyepi.

Amati Lelungaan artinya tidak bepergian atau tidak keluar rumah saat Nyepi. Biasanya akses jalan akan ditutup selama 24 jam penuh sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 06.00 keesokan harinya. Khusus di Bali dan di beberapa daerah/desa yang mayoritas penduduknya Hindu juga akan menutup akses jalan masuk dan keluar desa. Bahkan ada juga polisi adat (Pecalang) yang bertugas berkeliling untuk berjaga-jaga dan memantau bahwa umat benar-benar tinggal di rumah dan tidak ada yang bepergian.

Jadi memang dapat dipastikan jalanan akan lengang dan sunyi serta bebas dari kendaraan. Secara filosofis hal ini menyiratkan maksud agar manusia tidak mudah tergoda dengan apa yang tampak di luar sana. Dengan ‘keluar’ rumah maka akan banyak hal yang bisa menarik mata kita.

Amati Lelanguan yang artinya tidak bersenang-senang atau menghibur diri saat Nyepi. Umat pantang untuk mencari hiburan, misalnya menonton tv, mendengar musik, main game, internet, dan segala aktifitas lainnya yang menimbulkan kesenangan atau kepuasan. Ini bermakna bahwa manusia tidak boleh terlena dan terlarut dengan kesenangan duniawi. Karena kesenangan yang berlebihan akan membuat manusia menjadi lupa diri, lupa waktu, serta lupa akan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Manusia harus selalu bisa menyeimbangkan dirinya terhadap kesenangan jasmani dan rohani (spiritual).

Ngembak Geni

Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesimakrama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi. Dengan Dharma Santi kita dapat saling memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan yang pernah terjadi setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Dharma Santi dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan saja setelah Nyepi asal tidak lewat dari waktu kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat baik kalau setiap usai hari raya keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja) diikuti dengan Dharma Santi atau simakrama.

Mesimakrama atau Dharma Santi merupakan ajang tatap muka antar sesama untuk saling maaf-memaafkan dan mempererat tali persaudaraan dan keharmonisan. Pemaknaan Nyepi tidak semata-mata hanya dalam bentuk rangkaian ritual yang panjang. Namun lebih dari itu bagaimana kita bisa memperbaiki kualitas diri dari waktu ke waktu sehingga hidup menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain dan alam sekitar.

Kearifan lokal

Kearifan lokal yang dimiliki umat Hindu yaitu salah satunya Nyepi sesungguhnya sarat akan makna upaya menyeimbangkan alam semesta beserta isinya (Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit). Jika dikaji lebih lanjut Nyepi sesungguhnya memberikan kontribusi positif terhadap alam/bumi. Dengan Catur Brata yang dilakukan saat Nyepi, umat Hindu telah berperan aktif dalam upaya mengurangi dampak Global Warming. Sehari tanpa listrik melalui Amati Geni dan Amati Lelanguan, serta sehari tanpa asap kendaraan lewat brata Amati Karya dan Amati Lelungaan. Selain itu, pemaknaan Nyepi juga bisa dilakukan dalam bentuk kegiatan kemanusiaan seperti bhakti sosial.

Merayakan Nyepi hendaknya lengkap. Bila di daerah tersebut ada Pura, biasanya terlebih dahulu ada upacara Melasti ke laut, tujuannya adalah mensucikan diri dan simbol-simbol Hyang Widhi (Ida Bhatara). Setelah itu diadakan upacara Tawur atau Pecaruan. Tepat pada hari Nyepi dilakukan Brata Penyepian, meliputi: Brata yang lengkap juga disertai dengan Upawasa (puasa), Mona (tidak berbicara) dan Jagra (tidak tidur).

Nah, bagi teman-teman perantau sulit memang melakukan Brata Penyepian dengan baik, karena lingkungan kita bukan Hindu. Bahkan mungkin bisa saja ada yang berkunjung ke rumah pas di saat Nyepi, karena melihat kalender dan hari libur, lalu mereka berkunjung memberi selamat tahun baru misalnya. Sebenarnya maksudnya baik dan bersahabat. Lalu bagaimana sikap kita? Ya teman-teman kita bisa diberitahu sebelumnya, jika ingin berkunjung jangan pas di hari Nyepi, tetapi besok harinya. Atau bisa juga pagar depan dikunci dan diisi tulisan: “Maaf tidak terima tamu, karena sedang melaksanakan Brata Nyepi” Lampu di rumah dimatikan siang dan malam. Anak-anak, pembantu, jangan berkeliaran di halaman rumah. 

MAKNA MELASTI

(melasti Desa Adat Abiansemal)
Melasti adalah upacara penyucian diri untuk menyambut hari raya Nyepi oleh seluruh umat Hindu di Bali. Upacara Melasti digelar untuk menghanyutkan kotoran alam menggunakan air kehidupan. Upacara Melasti dilaksanakan di pinggir pantai dengan tujuan mensucikan diri dari segala perbuatan buruk pada masa lalu dan membuangnya ke laut. 

Dalam kepercayaan Hindu, sumber air seperti danau, dan laut dianggap sebagai air kehidupan (tirta amerta). Selain melakukan persembahyangan, upacara Melasti juga adalah pembersihan dan penyucian benda sakral milik pura (pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya). Benda-benda tersebut diarak dan diusung mengelilingi desa. Hal ini dimaksudkan untuk menyucikan desa. 

Dalam upacara ini, masyarakat dibentuk berkelompok ke sumber-sumber air seperti danau dan laut. Satu kelompok berasal dari wilayah atau desa yang sama. Seluruh peserta mengenakan baju putih. Para pemangku berkeliling dan memercikan air suci kepada seluruh warga yang datang serta perangkat-perangkat peribadatan dan menebarkan asap dupa sebagai wujud mensucian. Pelaksaaan upacara Melasti dilengkapi dengan berbagai sesajian sebagai simbol Trimurti, 3 dewa dalam Agama Hindu, yaitu Wisnu, Siwa, dan Brahma, serta Jumpana, singgasana Dewa Brahma.

Untuk menyambut Hari Raya Nyepi, pelaksanaan upacara Melasti ini di bagi berdasarkan wilayah, di Ibukota provinsi dilakukan Upacara Tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata. Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Upacara ini dilaksanakan agar umat Hindu diberi kekuatan dalam melaksanakan Hari Raya Nyepi.


Melasti (atau Makiyis; Melis) dilaksanakan di tepi laut, danau atau pada sumber / mata air menjelang perayaan Nyepi yang bermakna untuk mensucikan diri secara lahir dan bathin dengan tujuannya diantaranya disebutkan yaitu :
  • Untuk dapat meningkatkan keheningan pikiran dan juga dilaksanakan untuk kesucian jagat raya ini yang disimbolisasikan dengan labuh gentuh dengan labuhan sesaji ke laut.
  • Mesucikan seluruh arca, pratima, nyasa, pralingga sebagai wujud atau sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya.
Sebagaimana disebutkan Melasti dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia yang dilaksanakan setahun sekali.
    Dalam Babad Bali, Melasti, juga disebutkan merupakan rangkaian dari hari raya Nyepi dan Melasti disebut juga melis atau mekiyis bertujuan untuk :
    • Melebur segala macam kekotoran pikiran, perkataan dan perbuatan, serta memperoleh air suci (angemet tirta amerta) untuk kehidupan yang pelaksanaannya dapat dilakukan di laut, danau, dan pada sumber / mata air yang disucikan.
    • Bagi pura yang memiliki pratima atau pralingga seyogyanya mengusungnya ke tempat patirtan tersebut di atas. Pelaksanaan secara ini dapat dilakukan beberapa hari sebelum dilaksanakanya tawur kesanga untuk memohon kepada Tuhan untuk kesejahteraan alam lingkungan menjelang pergantian tahun saka.

    Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama sebagaimana penjelasan Radiograf, dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. seperti ini:
    "....Manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

    Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci.

    Upacara Melasti dilaksanakan dengan melakukan sembahyang bersama menghadap laut dan setelah usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya ditedunkan dari jempana dan diusung kembali ke Balai Agung di Pura Desa masing - masing.

    Melasti dalam sumber Lontar Sunarigama dan Sanghyang Aji Swamandala yang dirumuskan dalam bahasa Jawa Kuno menyebutkan 
    Melasti ngarania ngiring prewatek dewata angayutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana, ngamet sarining amerta ring telenging segara”.
    Dari rumusan ini dapat kita lihat bahwa ada lima tujuan upacara melasti tersebut, yaitu :
    1. Ngiring prewatek dewata, ini artinya upacara melasti itu hendaknya didahului dengan memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dalam perjalanan melasti. Tujuannya adalah untuk dapat mengikuti tuntunan para dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dengan mengikuti tuntunan Tuhan, manusia akan mendapatkan kekuatan suci untuk mengelola kehidupan di dunia ini. Karena itu melasti agak berbeda dengan berbhakti kepada Tuhan dalam upacara ngodalin atau saat sembahyang biasa. Para dewata disimbolkan hadir mengelilingi desa, sarana pretima dengan segala abon-abon Ida Bhatara. Semestinya umat yang rumahnya dilalui oleh iring-iringan melasti itu menghaturkan sesaji setidak-tidaknya canang dan dupa lewat pintu masuknya kepada Ida Bhatara yang disimbolkan lewat rumah itu. Tujuan berbhakti tersebut agar kehadiran beliau dapat dimanfaatkan oleh umat untuk menerima wara nugraha Ida Bhatara manifestasi Tuhan yang hadir melalui melasti itu.
    2. Anganyutaken laraning jagat, artinya menghayutkan penderitaan masyarakat. Jadinya upacara melasti bertujuan untuk memotivasi umat secara ritual dan spiritual untuk melenyapkan penyakit-penyakit sosial. Penyakit sosial itu seperti kesenjangan antar kelompok, perumusuhan antar golongan, wabah penyakit yang menimpa masyarakat secara massal, dan lain-lain. Setelah melasti semestinya ada kegiatan-kegiatan nyata untuk menginventariskan berbagai persoalan sosial untuk dicarikan solusinya. Dengan langkah nyata itu, berbagai penyakit sosial dapat diselesaikan tahap demi tahap secara niskala. Upacara melasti adalah langkah yang bersifat niskala. Hal ini harus diimbangi oleh langkah sekala. Misalnya melatih para pemuka masyarakat agar memahami pengetahuan yang disebut “manajemen konflik” mendidik masyarakat mencegah konflik.
    3. Papa kelesa, artinya melasti bertujuan menuntun umat agar menghilangkan kepapanannya secara individual. Ada lima klesa yang dapat membuat orang papa yaitu; Awidya : Kegelapan atau mabuk, Asmita : Egois, mementingkan diri sendiri, Raga : pengumbaran hawa nafsu, Dwesa : sifat pemarah dan pendendam, Adhiniwesa : rasa takut tanpa sebab, yang paling mengerikan rasa takut mati. Kelima hal itu disebut klesa yang harus dihilangkan agar seseorang jangan menderita.
    4. Letuhing Bhuwana, artinya alam yang kotor, maksudnya upacara melasti bertujuan untuk meningkatkan umat hindu agar mengembalikan kelestarian alam lingkungan atau dengan kata lain menghilangkan sifat-sifat manusia yang merusak alam lingkungan. Umat hindu merumuskan lebih nyata dengan menyusun program aksi untuk melestarikan lingkungan alam. Seperti tidak merusak sumber air, tanah, udara, dan lain-lain.
    5. Ngamet sarining amerta ring telenging segara, artinya mengambil sari-sari kehidupan dari tengah lautan, ini berarti melasti mengandung muatan nilai-nilai kehidupan yang sangat universal. Upacara melasti ini memberikan tuntunan dalam wujud ritual sakral untuk membangun kehidupan spiritual untuk didayagunakan mengelola hidup yang seimbang lahir batin.
    Nilai-nilai tersebut adalah berbhakti pada tuhan (ngiring prawatek dewata), menghilangkan penyakit sosial (laraning jagat), menghilangkan kepapanan individu (papa klesa) dan menghilangkan sifat-sifat yang merusak alam lingkungan (letuhing bhuwana). Jadinya tujuan berbhakti kepada Tuhan adalah dengan mengiring para dewata dalam upacara melasti untuk menghilangkan hal tersebut. Dengan lenyapnya penyakit sosial kepapanan individu dan kerusakan alam barulah manusia akan dapat menikmati sari-sari kehidupan. Samudra disimbolkan sebagai sumber kehidupan. Air laut menguap jadi mendung, mendung terus menjadi hujan. Hujan inilah yang menjadi sumber kehidupan flora dan fauna, sumber penghidupan manusia.

    ASAL USUL NAMA GUNUNG DAN DANAU BATUR

    Pada zaman dahulu di sebuah desa hiduplah seorang raksasa yang sangat besar. Raksasa itu bernama Kebo Iwa. la sering menolong penduduk desa membangun rumah, membuat sumur dan mengangkat batu-batu besar. Kebo lwa tidak minta imbalan apapun, hanya saja masyarakat desa harus menyiapkan makanan yang banyak untuknya secara teratur.

    Semakin hari tubuh Kebo Iwa semakin besar, makannya sangat banyak sekali. Penduduk desa kerepotan harus menyediakan makanan itu setiap waktu. Porsi makan Kebo Iwa setara dengan menyiapkan makanan untuk seratus orang dewasa. Walaupun masyarakat desa sudah tidak membutuhkan kemampuan dan tenaganya, mereka tetap wajib menyiapkan masakan dan minuman untuk Kebo Iwa. Apabila Kebo Iwa tidak diberi makanan sampai dua hari misalnya, dia akan mengamuk dan melakukan pengrusakan apa saja yang ditemuinya, termasuk rumah warga dan pura. Kebun, sawah, dan ladang juga dirusaknya.

    Hal itu membuat penduduk desa khawatir, walau penduduk desa sudah tidak membutuhkan tenaganya, mereka harus tetap menyediakan makanan untuk Kebo lwa. Sampai musim kemarau datang. Seluruh lumbung padi milik penduduk mulai menipis. Beras serta bahan makanan lainnya sangat sulit didapatkan. Hujan pun tak kunjung datang. Penduduk mulai khawatir keadaan Kebo lwa. Karena, apabila Kebo Iwa lapar pasti akan melakukan pengrusakan. Sedangkan persediaan bahan makanan sudah sangat menipis, untuk makan keluarga saja tidak cukup apalagi memberi makanan Kebo lwa.

    Kekhawatiran penduduk desa akhirnya terjadi. Pada suatu waktu Kebo lwa merasa kelaparan, namun makanan belum juga disiapka karena persediaan makanan penduduk desa sudah tidak ada lagi. Kebo lwa menjadi marah dan melakukan pengrusakan. la merusak rumah-rumah penduduk. Bahkan Pura yang merupakan tempat ibadah juga tidak ia lewatkan.

    “AKU LAPAR! MANA MAKANAN UNTUKKU!” teriaknya meraung-raung. Penduduk berlarian, mereka mengungsi ke desa tetangga.

    Mereka berteriak-teriak ketakutan, “Tolong..! Tolong…!” semua panik dan takut menjadi terkaman raksasa itu.

    Kebo lwa terus mengejar para penduduk itu sambil terus berteriak- teriak, “Mana makanan untukku! Atau kalian akan kuhancurkan!” Kebo lwa semakin ganas. la tidak hanya menghancurkan rumah serta bangunan lainnya, namun juga menyantap hewan-hewan ternak milik penduduk.

    Mengetahui kehancuran yang ditimbulkan Kebo lwa, penduduk desa menjadi sangat kesal dan marah. “Ini tidak bisa dibiarkan! Raksasa itu semakin menjadi-jadi!” ucap salah satu penduduk desa kesal. Kemudian mereka mencari ide untuk membunuh Kebo lwa. Setelah beberapa saat kemudian, mereka menemukan cara untuk mengatur siasat membunuh Kebo lwa.

    Pada awalnya mereka berpura-pura mengajak berdamai dengan Kebo Iwa. Kemudian mereka mengumpulkan makanan yang sangat banyak dengan berbagai cara agar dapat menjalankan siasat mereka untuk membunuh Kebo lwa. Lalu setelah makanan terkumpul banyak kemudian mereka mendekati Kebo lwa yang sudah selesai makan seekor kerbau.

    Kebo Iwa kekenyangan.  Lalu berbaring beralaskan rumput. “Hai Kebo lwa …!” panggil Kepala Desa.

    Kebo lwa menoleh, “Mau apa kalian mendekatiku?” tanya Kebo Iwa curiga.

    Kepala Desa mulai meluncurkan aksinya, “Sebenarnya kami masih membutuhkan tenagamu, karena rumah-rumah dan pura banyak yang kau hancurkan. Bagaimana kalau kau membantu kami membangunnya kembali. Kami akan menyediakan makanan yang banyak untukmu sehingga kau tak kelaparan lagi,” kata Kepala Desa mempengaruhi.

    “Makanan? Kalian akan menyediakan makanan yang enak untukku? Makanan yang banyak?” mata Kebo Iwa berbinar. la bahagia mendengar kata makanan. “Aku setuju!” sahutnya cepat.

    Kebo Iwa sangat senang, ia tidak mencurigai sedikit pun. Kebo Iwa mulai bekerja. Dengan waktu yang terhitung singkat, beberapa rumah selesai dikerjakan olehnya. Sementara itu, para penduduk sibuk mengumpulkan batu kapur dalam jumlah besar, itu akan menjadi salah satu alat untuk menjalankan siasat membunuh Kebo Iwa. Kebo Iwa merasa bingung melihat para penduduk sangat banyak mengumpulkan batu kapur. Padahal kebutuhan batu kapur untuk rumah dan pura sudah ia cukupkan.

    “Mengapa kalian mengumpulkan batu kapur begitu banyak?” tanya Kebo Iwa ingin tahu.

    “Wahai Kebo lwa yang baik hati! Ketahuilah setelah kamu selesai membuat rumah dan pura milik kami, kami juga akan membuatkanmu rumah yang besar dan sangat indah,” kata Kepala Desa berbohong.

    Kebo lwa sangat senang mendengarnya, “Benarkah?” tanyanya meyakinkan. Tidak ada kecurigaan sedikit pun darinya. la semakin semangat membantu penduduk desa. Hanya dalam beberapa hari, rumah-rumah dan pura milik penduduk selesai dikerjakan dan sudah tegak berdiri. Sekarang pekerjaannya hanya tinggal menggali sumur besar.

    Pekerjaan ini memakan waktu cukup lama, Kebo Iwa menggunakan kedua tangannya yang besar dan kuat untuk menggali tanah sampai dalam. Semakin hari lubang yang dibuatnya semakin dalam. Tubuh Kebo Iwa pun semakin turun ke bawah. la mengaum mengeluarkan semua tenaganya. Tumpukan tanah bekas galian yang berada di mulut lubang pun semakin menggunung.

    Dan terus seperti itu Kebo Iwa mengerjakannya sepanjang hari hingga suatu ketika Kebo lwa kelelahan dan berhenti sejenak untuk istirahat dan makan. la makan sangat banyak. Setelah makan ia mengantuk, ia pun tertidur dengan mengeluarkan suara dengkuran yang sangat keras.

    Suara dengkuran Kebo Iwa terdengar oleh para penduduk desa yang sedang berada di atas sumur. Para penduduk segera berkumpul di tempat lubang sumur tersebut. Mereka melihat Kebo lwa sedang tertidur pulas di dalamnya.

    “Dengar semua..!”seru Kepala Desa kepada warganya. “Mari kita jalankan rencana kita yang telah disepakati sejak awal!” perintahnya memimpin warganya untuk melemparkan batu kapur yang sudah mereka siapkan sebelumnya ke dalam sumur. Mereka terus melemparkan batu kapur itu. Kebo Iwa tidak menyadari dirinya dalam bahaya, karena ia terlelap tidur.

    Air di dalam sumur yang bercampur batu kapur sudah mulai meluap dan menyumbat hidung Kebo lwa, barulah raksasa itu tersadar, “Aaaaaaa….” Kebo lwa mengerang kesakitan, “Tolong teriaknya lemah.

    Namun, lemparan batu kapur dari para warga semakin banyak. Kebo Iwa tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun memiliki badan sangat besar dan tenaga yang sangat kuat, ia tidak mampu melarikan diri dari tumpukan kapur dan air sumur.

    Kebo Iwa terkubur hidup-hidup, ia menggelepar-gelepar selama beberapa saat dan menimbulkan gempa sesaat tapi kemudian reda dan diam. Semua penduduk desa mengira Kebo lwa telah tewas terkubur di dalam sumur. Setelahnya air sumur mengalir terus semakin deras. Kemudian air sumur itu membanjiri desa serta membentuk danau. Danau itu kini diketahui bernama Danau Batur. Sedangkan  tanah disamping danau yang tertimbun cukup tinggi membentuk sebuah bukit dan kemudian menjadi sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Batur.

    KERTA GOSA

    TAMAN KERTA GOSA _KOTA SEMARAPURA
    KLUNGKUNG_ BALI_ INDONESIA

    Kerta Gosa adalah salah satu obyek wisata andalan kabupaten Klungkung, Bali. Dibangun pada tahun 1686 oleh Dewa Agung Jambe, Taman Gili Kerta Gosa memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki obyek wisata lainnya. Kerta Gosa adalah sebuah bangunan terbuka (bale) yang secara resmi merupakan bagian dari kompleks Puri Semarapura.

    Terletak di jantung kota Semarapura Ibukota Kabupaten Klungkung, di sebelah pasar utama, Kerta Gosa telah direnovasi dan dilestarikan oleh pemerintah. Di dalam tembok dengan ukiran Bali tradisional, terdapat dua bangunan tinggi berdiri yaitu, disebut Bale Kerta Gosa dan Bale Kambang (Taman Gili). Bale Kerta Gosa merupakan sebuah bangunan tinggi di sudut kanan setelah pintu masuk, serta Bale Kambang yang lebih besar terletak di tengah dan dikelilingi oleh kolam.

    Selain arsitektur bangunan yang indah, keunikan Kerta Gosa terletak di langit-langit bale yang ditutupi dengan lukisan tradisional bergaya Kamasan. Kamasan adalah sebuah desa di kecamatan Klungkung yang terkenal dengan ciri khas lukisan wayangnya. Lukisan Kamasan biasanya mengambil epos seperti Ramayana atau Mahabharata sebagai tema lukisan. Lukisan Kamasan biasanya ditemukan di Pura-Pura sebagai hiasan yang memiliki banyak arti.

    Sebelumnya lukisan di langit-langit Kerta Gosa dibuat pada kain, namun pada tahun 1930 dipugar dan dicat pada eternit. Lukisan-lukisan di langit-langit Kerta Gosa menawarkan pelajaran rohani yang berharga. Jika seseorang melihat hal ini secara rinci, pada setiap bagian langit-langit menceritakan cerita yang berbeda, terdapat satu bagian yang bercerita tentang karma dan reinkarnasi, dan bagian lain menggambarkan setiap fase kehidupan manusia dari lahir sampai mati. Lukisan dibagi menjadi enam tingkatan, yang mewakili akhirat, serta yang paling atas yaitu nirwana.

    Bale Kambang adalah sebuah bangunan indah di tengah kolam. Lukisan Kamasan di langit-langit menggambarkan kisah dari epos Sutasoma. Kedua sisi dari jembatan menuju bale dijaga oleh patung-patung yang mewakili karakter dari epos dengan latar belakang kolam teratai. Tema dalam lukisan menunjukkan bahwa bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat bagi keluarga kerajaan untuk mengadakan upacara agama untuk ritual Manusa Yadnya seperti pernikahan dan upacara potong gigi.

    Kerta Gosa ternyata juga pernah difungsikan sebagai balai sidang pengadilan yaitu selama berlangsungnya birokrasi kolonial Belanda di Klungkung (1908-1942) dan sejak diangkatnya pejabat pribumi menjadi kepala daerah kerajaan di Klungkung (Ida I Dewa Agung Negara Klungkung) pada tahun 1929. Bahkan, bekas perlengkapan pengadilan berupa kursi dan meja kayu yang memakai ukiran dan cat prade masih ada. Benda-benda itu merupakan bukti-bukti peninggalan lembaga pengadilan adat tradisional seperti yang pernah berlaku di Klungkung dalam periode kolonial (1908-1942) dan periode pendudukan Jepang (1043-1945). Pada tahun 1930, pernah dilakukan restorasi terhadap lukisan wayang yang terdapat di Kerta Gosa dan Bale Kambang oleh para seniman lukis dari Kamasan dan restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.

    Objek wisata taman Kerta Gosa terkadang ditulis Kertha Gosa dulunya adalah bagian dari komplek bangunan kerajaan Klungkung. Komplek kerajaan Klungkung dibangun pada tahun 1686 oleh pemegang kekuasaan pertama yaitu Ida I Dewa Agung Jambe. Namun pada tahun 1908, hampir semua bangunan kerajaan Klungkung hancur karena invasi kolonial Belanda.

    Ada tiga bangunan dari komplek kerajaan Klungkung yang masih tersisa dan tidak sampai hancur saat invasi kolonial Belanda. Ketiga bangunan tersebut antara lain:

    Bangunan Medal Agung (pintu gerbang utama kerajaan Klungkung).
    Bale Kambang (bangunan yang dikelilingi kolam yang disebut Taman Gili).
    Bangunan / Bale Kertha Gosa.
    Bale Kertha Gosa tidak langsung dibangun pada tahun 1686 bersamaan dengan pembangunan kerajaan Klungkung. Namun Bale Kertha Gosa dibangun pada akhir abad ke 18, dan lokasinya berada di ujung timur laut kawasan kerajaan Klungkung.

    Pada jaman dahulu fungsi dari Bale Kertha Gosa adalah tempat diskusi mengenai situasi keamanan, keadilan dan kemakmuran wilayah kerajaan Bali, serta pada jaman dulu juga difungsikan sebagai tempat pengadilan di Bali.

    Daya Tarik & Keunikan
    Taman Kertha Gosa

    Hal utama yang menjadi daya tarik tempat wisata taman Kerta Gosa adalah arsitektur bangunan yang mencirikan arsitektur khas Bali abad 17. Keindahan arsitektur terutama terlihat pada bangunan Bale Kambang, yang dikelilingi kolam yang disebut Taman Gili. Karena terdapat kolam mengelilingi Bale Kambang, maka untuk dapat memasukai area bangunan Bale Kambang, pengunjung akan melewati jembatan dari batu-bata.

    Keunikan dari bangunan Bale Kambang dan Bale Kertha Gosa, ada pada langit – langit atap bangunan. Pada langi-langit atap bangunan terdapat lukisan Wayang yang mengambarkan kasus yang disidangkan, serta jenis hukuman yang akan diterima, jika melakukan kesalahan.

    Disamping itu, lukisan Wayang tersebut juga menceritakan hukum Karma Pahala. Hukum sebab akibat dari baik buruknya perbuatan manusia, yang dilakukan selama hidupnya. Serta lukisan Wayang juga menggambarkan penjelmaan kembali manusia ke dunia untuk menebus dosa dari perbuatannya (reinkarnasi).

    Lukisan Wayang yang terdapat di langit – langit atap Bale Kertha Gosa, serta Bale Kambang adalah contoh dari keunikan dan ciri khas lukisan Wayang Desa Kamasan, Klungkung.

    Selain kedua bangunan tersebut, di kawasan objek wisata Kertha Gosa, tepatnya di areal barat, terdapat sebuah museum yang juga ramai dikunjungi wisatawan. Museum ini menyimpan benda bersejarah peninggalan kerajaan Klungkung, dan benda yang digunakan oleh pengadilan adat tradisional Bali pada jaman dulu.

    PELINGGIH INDRA BLAKA

    Karang Panes atau nyakitin adalah pekarangan yang tidak baik untuk dijadikan tempat tinggal karena konon orang yang menempati atau menghuninya akan kerap kena bencana, acap bertengkar lantaran hal-hal sepele, sering kecurian, kena fitnah, diganggu mahluk halus dll.

    Namun, apabila memang terpaksa menempati atau menghuni karang panes dapat meruwatnya dimana dalam mengetahui karang panes dan untuk menetralkannya secara niskala disebutkan baik dalam lontar wismakarma dan lontar bhamakertih agar tanah tersebut dapat memberikan rasa damai dan tentram, banyak rezeki dan panjang umur yaitu disebutkan antara lain :

    Karang Tumbak Rurung, didirikan sebuah pelinggih pada posisi yang ditumbak oleh rurung guna dapat mengeliminasi dampak negatif keberadaan posisi pekarangan.Pekarangan rumah yang ngulonin (terletak di bagian hulu) banjar atau pura bisa dinetralisir dengan jalan memundurkan tembok panyengker (pembatas) rumah.Antara tembok banjar atau pura dengan tembok rumah dibuatkan gang kecil (rurung gantung).Sementara di luar tembok pekarangan agar dibangun pelinggih (bangunan suci) berbentuk padma capah dan di tanah pekarangan dibuatkan upacara pemahayu pekarangan (pecaruan karang tenget/angker).Segala yang disebut Pamanes Pekarangan, seperti: Kemasukan gelap, dan terbakar, patut membangun palinggih berupa Padma capah, sthana Sang Hyang Indra Blaka.Apabila tidak membangun sthana untuk Sang Hyang Indra Blaka, tidak putus-putusnya menemukan sakit bermacam-macam, walaupun hingga sepuluh kali telah macaru, tak akan bisa selesai oleh caru itu, karena Beliau Sang Hyang Indra Blaka telah berubah dari Sang Hyang Indra Blaka, menjadi Kala Maya, menjadi Kala Desti, demikian dinyatakan.

    KISAH WATU GUNUNG / LAHIRNYA WEWUKON

    Watugunung (Watu Gunung) yang disebutkan dalam wuku dengan urip 8 dan bilangan 30. Tersebutlah sebuah kisah watugunung sebagaimana yang disebutkan dalam lontar medangkemulan, sebagai salah satu acuan lontar dalam perhitungan kalender Bali.

    Watugunung adalah seorang anak dari raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang Kulagiri dan ibunya bernama Dewi Sintakasih.

    Pada mulanya diceritakan, setelah lama bersuami istri, lalu Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Sang Raja menyampaikan bahwa beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di keraton selama beliau pergi dan kedua istri beliau menyetujuinya.

    Tak diceritakan keadaan sang raja bertapa sudah cukup lama sekarang diceritakan Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi Sintakasih bercakap-cakap dengan Dewi Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja belum datang. Akhirnya dalam percakapan itu diputuskan akan mencari suaminya ke gunung Sumeru (tempat sang raja bertapa). 

    Tersebutlah kedua istri sang raja berangkat dari keraton, menuju tempat suaminya bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai tanda akan  melahirkan. Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan lebar, melepaskan lelahnya sambil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang tidak tertahan saat itu juga Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi. 
    Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia. Saat itu pula turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih. 
    Sang Dewi menghormat sambil berkata:
    “Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak  hamba baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini  belum juga beliau datang (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati”. 


    Demikianlah kata kedua putri itu menghormat kehadapan Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma.  Dewa Brahma setelah mendengar cerita kedua putri tersebut beliau sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali yang dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. “Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung”.


    Demikianlah sabda Dewa Brahma. Sang Dewi keduanya menghormat dan menghaturkan terima kasih. Kemudian gaiblah  Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka. 
    Ketika lenyapnya Dewa Brahma, sang dewi keduanya ke keraton dengan memangku seorang putra. 

    Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat.
    Heranlah kedua permaisuri  itu melihat putranya demikian hebatnya makan, kadang-kadang satu kali  masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya. Makin hari makin bertambahlah kesibukan ibunya untuk meladeni putranya yang luar biasa itu. Sampai-sampai merasa kewalahan untuk memberi makan dan selalu menuntut untuk makan.

    Tersebutlah pada suatu hari ibunya  sedang memasak di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya  seraya minta nasi untuk dimakan. Ibunya berkata : ”Anakku bersabarlah  menunggu sementara ini nasinya belum masak”.

    Demikian kata ibunya tetapi sang Watugunung tidak menghiraukan dan melahan mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum, pendeknya dalam keadaan masih  panas sudah dihabiskan. 

    Melihat perilaku putranya demikian sangat tidak  sopan, ibunya menjadi naik pitam dan mengambil sodo (siut) langsung  memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang dideritanya. Ketika sakit dari lukanya sudah agak reda Watugunung meninggalkan keraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.

    Dalam perjalanan sang Watugunung berbuat seenaknya, merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Penduduk di  sekitar lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk.

    Hal ini sangat mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan untuk mengahadapi tingkah polah anak itu, akhirnya  masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu sang raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk  membunuh Watugunung.  

    Setelah mendengar keputusan raja seluruh lapisan  kekuatan daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan  memukul dengan bermacam-macam senjata, serangan datang dari segala sudut  yang kesemuanya tertuju ke badan sang Watugunung. Tetapi sayang seluruh serangan dan seluruh senjata penyerang tidak ada yang mempan. Sang Watugunung sedikit pun tidak ada yang cidera. Sang Watugunung terus mengadakan aksinya dengan  mengobrak-abrik yang menyerangnya, menghancurkan kelompok penyerang yang hebat itu. Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Sang Raja sangat  marah mengetahui keadaan rakyatnya dihancurkan oleh Watugunung.


    Raja Girisrawa dengan hati yang membara turun ke medan perang dengan persenjataan yang lengkap untuk menghadapi sang Watugunung. Maka terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang  sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan itu. Perang tanding itu  berlangsung 7 (tujuh) hari. Dan pada akhirnya Raja Giriswara dapat  dikalahkan oleh sang Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung, mengenai kekalahan kerajaan Emalaya.

    Tersebutlah sang Watugunung melanjutkan  serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa.karena serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung yang hebat itu.
    Akhirnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing. Namun akhirnya  sampai raja Kuladewa dapat dikalahkan, dan tunduk kepada Watugunung.  

    Sang Watugunung melanjutkan serangannya kepada raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang  lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Keseluruhan dari kerajaan yang dikalahkan berjumlah 27 kerajaan dan sampai semua Rajanya tunduk  kepada sang Watugunung. Tak ketinggalan juga rakyat beserta daerahnya  menjadi jajahan sang Watugunung.  Kesaktian ini diperolehnya pada saat lahirnya di kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Selama 150 tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya. 

    Dalam pemerintahannya itu beliau selalu menanyakan kepada raja-raja  taklukannya. Katanya : ”Hai para raja apakah ada raja yang hebat lagi  yang belum aku tundukkan?”. Para raja pun menjawab ” Daulat tuanku maha raja Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku tundukkan yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang sangat diagungkan oleh rakyatnya dan dihormatinya. Jika tuanku dapat mengalahkannya kedua raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja.

    Demikianlah jawaban dari raja-raja yang  didengar keterangannya. Dan raja Girisila membenarkan.  Setelah  mendengar keterangan dari para raja itu, Maharaja Girisila memerintahkan kepada rakyatnya supaya mempersiapkan diri lengkap dengan  persenjataan guna menyerang kerajaan Kundadwipa.
    Rencana ini didengar oleh kerajaan Kundadwipa maka dari itu rakyat Kundadwipa bersiap-siap untuk menyambut tamu yang tak diundang itu, tidak ketinggalan pula dengan persenjataan yang memadai.dan pada saat terjadinya pertempuran  yang sengit, seram sampai aliran darah dari para korban menganak sungai.

    Sama-sama perwira sama-sama gagah berani tidak ada yang mau menyerah  pantang mundur. Korban dari kedua belah pihak makin banyak, korban jiwa korban harta dan yang lain-lainnya. Setelah pertempuran berlangsung yang menderita kekalahan adalah di pihak Kundadwipa. Maka kedua raja perempuan itu dikawini, karena lupa padahal itu adalah ibunya sendiri. 

    Pada suatu saat setelah lama bersuami istri, sang Watugunung menyuruh  kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya. Sedang asyiknya pekerjaan memburu kutu itu dilakukan terjadilah gempa bumi, hujan dengan lebatnya disertai  angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di langit.


    Melihat  tanda-tanda itu para dewa sangat khawatir kejadian apakah yang bakal terjadi selanjutnya. Maka sekalian dewa menghadap Dewa Siwa. ”Haturnya  yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat seperti sekarang ini? Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat  tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak benar berlaku seperti binatang”.

    Mendengarkan keterangan Dewa seperti itu, Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) supaya menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini. 

    Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki perbuatan manusia di dunia ini. Diketahuilah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua istrinya. Dengan segera Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka).  Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa. Kata beliau ”Yang mulia Dewa Siwa kami datang dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami  lakukan dengan sangat teliti ternyata memang memang ada manusia berbuat  yang tidak memenuhi tata susila kemanusiaan yaitu sang Watugunung  mengambil kedua ibunya dipakai istri (dipakai permasuri). Hal yang demikianlah sangat tidak tepat dilakukan oleh manusia”. 

    Mendengar laporan yang sangat meyakinkan itu  Sang Hyang Sahasra menjadi naik pitam dan menjatuhkan kutukan yang  ditujukan kepada sang Watugunung, sabda beliau : ”Hai kau sang Watugunung semoga engkau mati dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) karena perbuatan yang sangat dursila itu yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai permaisuri (memperistri ibu kandung), mengambil ”babu sodaran, mengambil tumin temen, kewaulan, babu dimisan, keponakan ring  nyama, rerama ringmisan, suta sodaran dan cucu”.


    Semua yang tersebut di atas tidak boleh dijadikan istri. Jika ada manusia yang melakukan hal itu, patut dibuang ke laut, dan jiwanya supaya disiksa oleh rakyat Bhatara Yama pada alam neraka (Bhur Loka). Apabila kelak menjelma agar dalam  kehidupannya itu selamanya menderita kesengsaraan”. 
    Demikian kutuk Sang Hyang Tri Purusa.  

    Tersebutlah pada suatu hari sang Watugunung melakukan  pemburuan kutu yang dilakukan oleh kedua istrinya pada atau di atas kepala sang Watugunung yang besar itu. Saat asyiknya mencari kutu sambil menggaruk-garuk kepada maha raja, ketika melipat-lipat rambut yang  kurang teratur itu kedua istrinya tercengang seketika, karena melihat bekas luka pada kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Maka teringatlah beliau dengan perbuatannya yang terdahulu yaitu memukul kepala putranya dengan sodo  (siut) sehingga menimbulkan luka di kepala putranya demikian pertimbangan di dalam hati, beliau tidak dapat berbuat apa-apa hanya diam tercengang, bahwa yang dipakai suami adalah putranya sendiri. 


    Karena kedua pasang tangan istrinya menjadi agak lemas dan percakapan  kecil seketika menjadi hening. Dalam keheningan itu sang Watugunung bertanya kepada kedua permaisurinya: ”Hai adinda kenapa diam seketika  apa yang menyebabkan coba jelaskan supaya kakanda mengetahui hal itu”.
    Pertanyaan itu lama tidak dijawab karena dadanya merasa sesak, akhirnya  menjawab : ”Ampun tuanku raja, adapun yang menyebabkan kami berdiam  karena karena kami ngerempini (ngidam)”.  
    Sang Watugunung balik bertanya: ”Bagaimana adinda mengidam?”. Apa yang adinda idamkan  katakanlah! : "Kakanda yang terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada permaisuri Sang Hyang Wisnu”, demikianlah  permaisuri beliau menjawab. “Sangat sayang aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah dinda berdua mengetahuinya?” Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah”. "Ya kalau demikian kanda bersedia untuk mencarinya”

    Sang Watugunung mulai memusatkan pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang ketujuh.

    Sang Watugunung turun ke lapis tanah yang ketujuh sampai di sana disambut oleh Aribuana: Ah-ahih-ih apa maksud kedatanganmu?” mohon dijelaskan.

    Sang Watugunung menjawab: “Aum Bhatara, adapun kedatanganku kemari, sebab berita yang kudengar di dunia, bahwa Bhatara adalah yang amat pengasih, apa saja yang diminta oleh manusia Bhatara izinkan”. "Apa yang kau sebutkan itu memang benar” jawab Sang Hyang Wisnu. "Kalau memang benar hal tersebut sekarang permintaanku  adalah, saya mohon permaisuri Hyang Wisnu. bagaimana engkau izinkan bukan, katakanlah segera” Sang Hyang Wisnu segera menjawab“Oh permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak boleh meminta istriku cobalah minta yang  lainnya, tentu aku akan penuhi, kehebatan, senjata dan lain-lainnya”.  

    “Jika demikian halnya Dewa Wisnu berbohong tidak menepati (tidak setia) kepada ucapan namanya, oh janganlah mengaku pada sadhu dharma (beriman dan saleh), kamu berikan atau tidak, kalau kamu berikan istrimu engkau  selamat, kalau tidak engkau izinkan berbahayalah engkau”.
    Sang  Watugunung sangat marah.  “Aum, seperti apa yang kamu katakan, kalau aku  tidak izinkan, bagaimana kehendakmu cobalah bilang”. “Kalau Bhatara tidak izinkan, marilah segera kita berperang. Apakah kamu berani? katakan” Bertambah-tambah marahlah sang Watugunung, kata-katanya kasar.

    Demikian pula Hyang Wisnu (sangat marah) segera menjawab: "kalau benar seperti apa yang kamu katakan, aku betul-betul tidak memenuhi permintaan, karena apa yang kamu katakan hal itu tidak benar (tidak wajar)”.  Ketika itu sang Watugunung sangat marah, demikian pula Sang Hyang Ari, maka terjadilah pertempuran yang  amat dasyat saling kejar mengejar, tusuk menusuk, pukul memukul dengan  garangnya.

    Tujuh puluh yuga lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan sang Watugunung, seribu kepalanya, dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti bintang, amat menakutkan, rupanya seperti api  berkobar-kobar menyala. Sang Hyang Wisnu memurti (membesar wujudnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam (suligi),  atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura itu, besar badannya. Karena sang Watugunung tidak dapat dikalahkan oleh dewa, tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati dibawah dan di atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura.


    Setelah Sang Hyang Wisnu berwujud Badawang (Kurma), yang amat menakutkan, barulah beliau berperang.  Bagaikan gelombang laut yang murka, bergetarlah dunia ini, sehingga menyebabkan para dewa sibuk bertanya. Sang Hyang Siwa pun berkata kepada para dewa: ”Hai anakku semua, apakah kiranya yang terjadi sehingga  terjadi getaran - getaran yang hebat”.
    Coba katakan!
    Bhagawan Narada  menjawab: ”Seperti apa yang bhatara katakan, hal itu terjadi karena ada  manusia yang congkak berbuat yang tidak wajar, tidak lain manusia itu  adalah si Watugunung, minta permaisuri dari Sang Hyang Wisnu, itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran, karena perbuatan si Watugunung amat berdosa." 

    Mendengar laporan Hyang Narada demikian, lalu sang Watugunung dikutuk oleh Bhatara Sangkara. ”Jah tah smat, semoga si Watugunung mati, karena perilakunya yang amat berdosa mau memperistri dari salah seorang dewa, terus-menerus sampai pada penjelmaan kelak kemudian hari terbunuh oleh kebesaran Hyang Ari” demikianlah kutuk Sang Hyang Sangkara.


    Tersebutlah lagi pertempuran Sang Hyang Ari berhadapan dengan si Watugunung, lalu keluarlah api yang amat hebat dari kurma perwujudan Hyang Wisnu, disemburlah si Watugunung, dibelit oleh bajra ditikam dengan cakra. Akhirnya kalahlah sang Watugunung, tembus dadanya. Berkatalah sang Watugunung: ”Ih Hyang Wisnu sekarang  matilah aku dengan marahnya lalu mengatakan, aku tidak akan henti-hentinya bermusuhan dengan dirimu, sampai kepada penjelmaanku yang  ketujuh aku tidak akan melupakan hal ini."

    Hyang Wisnu berkata: ”benar katamu itu, tetapi dimanakah engkau akan menjelma? Katakanlah! Sang Watugunung menjawab aku akan menjelma di Lengka dengan nama Dasasia dan sebaliknya menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana akan menjelma nanti?"   Hyang Aribuana menjawab (bersabda): ”Ih Watugunung, kalau demikian  katamu aku akan menjelma di Yodyapura; pada maharaja Dasaratha dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!” akhirnya  meninggallah sang Watugunung.

    Demikianlah diceritakan tentang sang Watugunung yang termuat dalam lontar Medangkamulan lembar 1a – 9b. 

    Tentang cerita lahirnya Wuku yang pernah termuat dalam majalah Bhagawanagara, disebut pula dipetik dari lontar Medan Kamulan dengan jalan cerita yang agak berbeda seperti di bawah  ini. 

    Tersebutlah setelah istri sang Watugunung keduanya minta  permaisuri sang Hyang Wisnu sebagai pembatunya (babu), dengan segera sang Watugunung mengutus sang Warigadian ke Surga, membawa surat ke hadapan Hyang Ari. Setelah surat itu di bawa, Hyang Wisnu amat marah dan segera menantang sang Watugunung untuk bertempur. 

    Hal itu disampaikan oleh sang Warigadian yang mengakibatkan sang Watugunung menjadi marah, segera memerintahkan memukul kentongan, rakyatnya semua berkumpul lengkap dengan senjata, segera menyerbu ke surga. Terjadilah pertempuran  yang sangat dasyat bunuh membunuh antara kedua pihak, sampai Sang Hyang  Wisnu merasa tertekan karena serangan dari pasukan Watugunung.
    Diceritakan sang Watugunung sedang berada di tempat tidur disertai oleh  kedua orang permaisurinya.

    Istri sang Watugunung menanyakan kejadian  peperangan yang telah terjadi dan juga menanyakan hal tersebut sang Watugunung berkata: ”Janganlah adikku berdua memberitahu kepada orang lain (awywa wera), kesaktianku ini tidak akan dapat dikalahkan oleh para  dewa, bhuta, danawa, kala, raksasa, manusia.  Namun ada yang dapat mengalahkan, jika ada orang sakti (nara wisesa) berwujud kurma (empas/badawang), berkuku yang kuat itulah yang dapat membunuh diriku”.

    Tentang percakapan tersebut didengar oleh Bhagawan Lumanglang yang sedang  dalam keadaan berupa laba-laba. Bhagawan Lumanglang segera kembali ke surga, menghadap Dewa Wisnu seraya memberitahukan keadaan Watugunung.  Besok paginya sekitar pukul 9 (dawuh tiga), Dewa Wisnu sudah berwujud  kurma, berkepala seribu, kuku tanganya sangat panjang dan sangat kuat,  segera berangkat untuk bertempur melawan sang Watugunung.

    Saat itu adalah Redite Kliwon, peperangan berlangsung sangat sengitnya. Sang Watugunung dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada). 
    Itulah  sebabnya disebut ”Watugunung mati terbunuh oleh Bhatara Wisnu, hari  kematiannya ini dinamai ”Candung Watang”.
    Besoknya adalah hari Anggara Pahingnya  mayatnya ditarik-tarik oleh Sang Lumanglang, sehingga hari itu disebut  hari ”paid-paidan”.
    Hari Budha Pon datanglah Bhagawan Budha, sang Watugunung dihidupkan kembali, tetapi hanya satu dauh, kemudian dibunuh  kembali oleh Batara Wisnu, hari itu disebut Budha Urip. 
    Hari Wrhaspati datanglah Bhagawan Wrhaspati dengan rasa kasihan benar kepada sang Watugunung, sehingga dihidupkan kembali tetapi sebentar, kemudian  dibunuh kembali oleh Hyang Wisnu, hari itu disebut Panetan.
    Pada hari sukra Kliwon, Hyang Siwa mengetahui bahwa sang Watugunung mati dan turunlah beliau untuk  menghidupkan kembali sang Watugunung, harinya disebut dengan Pangredanan.  

    Saat itu datanglah Bhatara Wisnu hendak membunuhnya kembali  namun dapat dicegah oleh Bhatara Siwa, sabdanya: ”Hai anakku, janganlah hendaknya sang Watugunung dibunuh, biarkanlah untuk hari-hari  selanjutnya supaya diingat orang sebagai bahan pertimbangan atau perbandingan.” Maka menjawablah sang Bhatara Wisnu, sabdanya: ”Yang Watugunung amat besar dosanya, mengawini orang yang sudah bersuami dan  memperistri ibunya sendiri. Dikemudian hari tidak boleh orang yang  sudah bersuami dan memperistri ibunya sendiri”. Bhatara Wisnu pun  mengutuk sang Watugunung, sabdanya: ”Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh)."
    Jawaban sang Watugunung:
    ”Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon apabila hamba jatuh di darat hendaknya turun hujan dan bila hamba jatuh di laut supaya hari panas terik, agar hamba tidak  kedinginan."

    Permohonan sang Watugunung semua dikabulkan serta rakyat sang Watugunung serta pada Dewa yang menjadi korban dalam pertempuran  itu dihidupkan kembali. Demikianlah diceritakan kisahnya dalam Mitologi Hindu Dharma, Watugunung menjadi terbawah dan terakhir dari pawukon, yang juga disebutkan Hari Raya Saraswati sebagai perayaan ilmu pengetahuan yang dirayakan pada wuku watugunung.

    PANCA MAHA BHUTA

    Hasil gambar untuk PANCA MAHA BHUTAPanca Maha Butha adalah lima unsur elemen atau zat dasar yang membentuk lapisan mahluk hidup termasuk badan manusia (sarira kosha) yang sesuai dengan hukum rta.

    Seluruh unsur-unsur ini juga membentuk bhuwana agung, alam semesta kita ini. Kelima unsur atau zat Panca Maha Bhuta membangun kesadaran itu disebutkan terdiri dari :


    - Pertiwi; unsur padat / tanah
    - Apah; unsur cair /air
    - Teja; unsur cahaya / api
    - Bayu; unsur angin / udara
    - Akasa; ruang / eter

    Juga sebagai kekuatan yang memiliki sifat bhuta dewa (kekuatan anglurah / penglurah penjaga para dewa) sebagaimana disebutkan dalam kutipan artikel penglurah <> abstraksi agung yoga, Panca Maha Bhuta ini digolongkan menjadi lima kekuatan yang memiliki sifat Bhuta Dewa, yaitu sebagai berikut .

    • Pertiwi, bermanifestai sebagai Ratu Anglurah Tangkeb Langit. Kemahakuasaannya sebagai lurah (pepatih) Ida Sang Hyang Wisesa atau menjadi sedahan tugu di lebuh depan rumah. Beliau memiliki kemahakuasaan sebagai Dewa Binatang Peliharaan, sebagai sedahan sawah.
    • Teja, bermanifestasi sebagai Ratu Anglurah Wayahan Tebha (Ratu Anglurah Wayan Teba) yang memiliki kemahakuasaan menjadi kekuatan gunung, hutan, tempat angker, dan jalan simpang empat (catus pata). Beliau menjadi lurah (pepatih) Sang Hyang Siwa Reka dan bersama pada tempat suci pekarangan rumah.
    • Apah, bermafestasi sebagai Ratu Anglurah Made Jalalung yang berkuasa sebagai sedahan tumbuh-tumbuhan dan pohon besar yang angker. Beliau menjadi pepatih di Merajan dan beristana pada bangunan tugu Merajan atau Pura.
    • Bayu, bermafestasi sebagai Ratu Anglurah Nyoman Sakti Pengadangan (gelar dari "banaspatiraja"; Lontar Kanda Pat Sari) yang menguasai kekuatan penjaga daerah setra dan pura dalem, menjadi kekuatan danau, sungai, dan juga jurang. Beliau menjadi pepatih Sang Hyang Durga Manik yang beristana pada Penunggun Karang.
    • Akasa, bermanifestasi sebagai Ratu Anglurah Ketut Petung yang menjadi kekuatan taksusegala profesi, menjadi Dewanya bayi, serta menjadi kekuatan Purusa dan Predana . Beliau menjadi pepatih dan beristana di bangunan Taksu di Merajan dan menjadi kekuatan profesi tukang perempuan dan laki-laki..
    Sebagai tambahan dalam beberapa upacara yadnya dijelaskan, bahwa ngaben, pada saat manusia meninggal dunia juga disebutkan merupakan proses pengembalian unsur panca maha butha yang ada dalam diri manusia pada asalnya atau ke pencipta, atau Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Dimana dalam lontar puja mamukur disebutkan, Pretiwi, Apah, Teja, Bayu dan akasa unsur - unsur dari panca maha bhuta dikembalikan pada asalnya.
    Pada hakekatnya, dijelaskan "Butha Yadnya", merupakan upacara yang menjaga keharmonisan dan merawat lima unsur alam ini.