(Seka Suka Duka Tempekan Likawa - ST Wira Karya - Banjar Kedampal) |
(pemudi melakukan photo bersama di depan ogoh ogoh yang akan di arak saat pengerupukan) |
Sejak itu sistem kalender Saka digunakan terus menerus hingga saat ini yang disebut Tahun Saka. Itulah sebabnya sistem kalender Hindu “seolah-olah terlambat” 78 tahun dari kalender Masehi. Pada tahun 456 M (atau Tahun 378 Saka), datanglah ke Indonesia seorang Pendeta penyebar Agama Hindu yang bernama Aji Saka asal dari Gujarat, India. Beliau mendarat di pantai Rembang (Jawa Tengah) dan mengembangkan Agama Hindu di Jawa.
Ketika Majapahit berkuasa, (abad ke-13 M) sistem kalender Tahun Saka dicantumkan dalam Kitab Nagara Kartagama. Masuknya Agama Hindu ke Bali kemudian disusul oleh penaklukan Bali oleh Majapahit pada abad ke-14 dengan sendirinya membakukan sistem Tahun Saka di Bali hingga sekarang. Perpaduan budaya (akulturasi) Hindu India dengan kearifan lokal budaya Hindu di Indonesia (Bali khususnya) dalam perayaan Tahun Baru Saka inilah yang menjadi pelaksanaan Hari Raya Nyepi unik seperti saat ini.
Peringatan Tahun Baru Saka dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian upacara sebelum dan sesudahnya antara lain:
a. Upacara Melasti atau Makiyis
b. Tawur Agung Kesanga
c. Nyepi
d. Ngembak Geni
e. Dharma Santi
Melasti berasal dari kata Mala = kotoran/leteh, dan Asti = membuang/memusnahkan. Melasti dilaksanakan Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura termasuk Pratima dan Pralingga di arak ke danau, laut atau pantai. Kita semua mengetahui bahwa laut merupakan sumber air yang terbesar, di mana seluruh sungai bermuara ke laut, dan dari laut pula asalnya air yang memberikan hidup di bumi ini. Segala macam air dari berbagai wilayah pastilah menuju ke laut, meskipun itu air kotor sekalipun.
Setelah sampai di laut, air tersebut dinetralisir dan bercampur dengan dengan air laut itu sendiri sehingga segala jenis kekotoran yang dibawanya tidak tampak lagi. Sehingga dengan demikian air laut menjadi pelebur sarwa mala atau segala bentuk kekotoran dan menjadi sumber amerta. Karena itu, saat mekiyis kita membersihkan diri lahir bathin, melebur malaning jagat dan mendapatkan tirtha amerta.
Pelaksanaan Melasti tidak mutlak harus bertempat di laut. Bila di daerah-daerah tertentu yang jauh dari pantai, diperbolehkan Melasti di sumber-sumber mata air yang bersih seperti danau atau pegunungan. Ini juga tidak bertentangan mengingat mata air yang ada di danau maupun pegunungan sesungguhnya berasal dari uap air laut yang telah menjadi hujan.
Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan “Apam napatam paritasthur apah” yang artinya “Air yang berasal dari mata air dan laut mempunyai kekuatan untuk menyucikan”. Nah itulah fleksibilitas dari Agama Hindu yang tidak kaku dalam mengatur umatnya. Yang paling utama adalah segala Pratima atau Pralingga tersebut telah dibersihkan dan disucikan dengan sarana air. Ini karena dalam Agama Hindu, air memegang peranan yang sangat penting dalam setiap pelaksanaan upacara Yadnya, apapun itu jenisnya.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "Tilem Sasih Kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari keluarga, banjar, desa, kecamatan dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis jenis caru menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan ‘nyomya’ atau menetralisir kekuatan negatif Bhuta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.
Pecaruan atau Tawur dilaksanakan di Catus Pata pada waktu tepat tengah hari. Filosofi Tawur adalah sebagai berikut tawur artinya membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis. Tata cara Tawur kesanga yang diadakan tepat pada Tilem Kasanga ini diatur dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala, Agastya Parwa, Usana Bali, dan Ekapratama.
Filosofi Tawur Agung
Filosofi Tawur dilaksanakan di Catus Pata agar kita selalu menempatkan diri ditengah alias selalu ingat akan posisi kita, jati diri kita, dan perempatan merupakan lambang tapak dara (Swastika), lambang keseimbangan, agar kita selalu menjaga keseimbangan dengan atas (Tuhan), bawah (Alam lingkungan), kiri kanan (sesama manusia).
Setelah tawur pada catus pata diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan/kulkul) hingga bersuara ramai/gaduh.
Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan/desa, dan kemudian dibakar. Dengan demikian diharapkan bahwa Bhuana Agung dan Bhuana Alit telah benar-benar bersih dan suci dalam menyambut datangnya Nyepi Tahun Baru Saka.
Keesokan harinya, yaitu pada Purnama Kedasa (bulan purnama ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktifitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian yang terdiri dari Amati Geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api). Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak menghibur diri). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata/upawasa, yoga dan semadhi. Brata yang lengkap juga disertai dengan upawasa (puasa), mona (tidak berbicara) dan Jagra (tidak tidur). Jadi kesimpulannya, perayaan Nyepi memang dilakukan secara prihatin, dengan menggelar Tapa-Yadnya, bukan berhura-hura, pesta dan sejenisnya.
Amati Geni yaitu secara fisik tidak boleh menyalakan api atau membakar sesuatu apapun. Pada jaman dulu api identik dengan sarana penerangan sebelum ada teknologi berupa lampu atau listrik. Nah kini kebiasaan itu dirubah menjadi tanpa penerangan lampu atau tanpa listrik. Api atau listrik ini merupakan salah satu unsur vital dalam kehidupan manusia. Tanpa api orang tidak bisa memasak/melaksanakan aktifitas dapur lainnya. Demikian pula tanpa listrik orang tidak bisa memasak, menyetrika, menonton tv, dan mengoperasikan alat elektronik lainnya.
Nah pengertian api secara filosofi spiritual adalah tidak terbakar emosi atau amarah. Sebagaimana sifat api yang panas membakar, demikian pula api emosi atau amarah dalam diri yang dapat membakar diri kapan saja. Api kemarahan dalam diri inilah yang harus bisa dikendalikan dan dikelola supaya tidak membakar diri, dan justru bisa menjadi penerangan yang bermanfaat. Salah satu ajaran Panca Niyama Brata menyebutkan Akroda yang artinya tidak marah.
Amati Karya artinya tidak bekerja atau tidak melakukan aktifitas sebagaimana biasanya, dimaksudkan agar manusia berhenti sejenak dari segala kesibukannya sehari-hari dan fokus pada sang diri. Seseorang yang sibuk bekerja tiap hari, memiliki waktu yang sedikit untuk melakukan perenungan atau bahkan Puja (sembahyang). Nah saat Nyepi inilah yang menjadi momen yang sangat tepat untuk perenungan/introspeksi diri, berjapa, dan aktifitas spiritual lainnya karena memang kita lepas dari pekerjaan sehari-hari. Hal ini penting sebagai upaya perubahan untuk menjadi lebih baik di tahun yang baru. Inilah merupakan hakikat perenungan diri saat Nyepi.
Amati Lelungaan artinya tidak bepergian atau tidak keluar rumah saat Nyepi. Biasanya akses jalan akan ditutup selama 24 jam penuh sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 06.00 keesokan harinya. Khusus di Bali dan di beberapa daerah/desa yang mayoritas penduduknya Hindu juga akan menutup akses jalan masuk dan keluar desa. Bahkan ada juga polisi adat (Pecalang) yang bertugas berkeliling untuk berjaga-jaga dan memantau bahwa umat benar-benar tinggal di rumah dan tidak ada yang bepergian.
Jadi memang dapat dipastikan jalanan akan lengang dan sunyi serta bebas dari kendaraan. Secara filosofis hal ini menyiratkan maksud agar manusia tidak mudah tergoda dengan apa yang tampak di luar sana. Dengan ‘keluar’ rumah maka akan banyak hal yang bisa menarik mata kita.
Amati Lelanguan yang artinya tidak bersenang-senang atau menghibur diri saat Nyepi. Umat pantang untuk mencari hiburan, misalnya menonton tv, mendengar musik, main game, internet, dan segala aktifitas lainnya yang menimbulkan kesenangan atau kepuasan. Ini bermakna bahwa manusia tidak boleh terlena dan terlarut dengan kesenangan duniawi. Karena kesenangan yang berlebihan akan membuat manusia menjadi lupa diri, lupa waktu, serta lupa akan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Manusia harus selalu bisa menyeimbangkan dirinya terhadap kesenangan jasmani dan rohani (spiritual).
Ngembak Geni
Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesimakrama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi. Dengan Dharma Santi kita dapat saling memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan yang pernah terjadi setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Dharma Santi dapat dilaksanakan di mana saja dan kapan saja setelah Nyepi asal tidak lewat dari waktu kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat baik kalau setiap usai hari raya keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja) diikuti dengan Dharma Santi atau simakrama.
Mesimakrama atau Dharma Santi merupakan ajang tatap muka antar sesama untuk saling maaf-memaafkan dan mempererat tali persaudaraan dan keharmonisan. Pemaknaan Nyepi tidak semata-mata hanya dalam bentuk rangkaian ritual yang panjang. Namun lebih dari itu bagaimana kita bisa memperbaiki kualitas diri dari waktu ke waktu sehingga hidup menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain dan alam sekitar.
Kearifan lokal
Kearifan lokal yang dimiliki umat Hindu yaitu salah satunya Nyepi sesungguhnya sarat akan makna upaya menyeimbangkan alam semesta beserta isinya (Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit). Jika dikaji lebih lanjut Nyepi sesungguhnya memberikan kontribusi positif terhadap alam/bumi. Dengan Catur Brata yang dilakukan saat Nyepi, umat Hindu telah berperan aktif dalam upaya mengurangi dampak Global Warming. Sehari tanpa listrik melalui Amati Geni dan Amati Lelanguan, serta sehari tanpa asap kendaraan lewat brata Amati Karya dan Amati Lelungaan. Selain itu, pemaknaan Nyepi juga bisa dilakukan dalam bentuk kegiatan kemanusiaan seperti bhakti sosial.
Merayakan Nyepi hendaknya lengkap. Bila di daerah tersebut ada Pura, biasanya terlebih dahulu ada upacara Melasti ke laut, tujuannya adalah mensucikan diri dan simbol-simbol Hyang Widhi (Ida Bhatara). Setelah itu diadakan upacara Tawur atau Pecaruan. Tepat pada hari Nyepi dilakukan Brata Penyepian, meliputi: Brata yang lengkap juga disertai dengan Upawasa (puasa), Mona (tidak berbicara) dan Jagra (tidak tidur).
Nah, bagi teman-teman perantau sulit memang melakukan Brata Penyepian dengan baik, karena lingkungan kita bukan Hindu. Bahkan mungkin bisa saja ada yang berkunjung ke rumah pas di saat Nyepi, karena melihat kalender dan hari libur, lalu mereka berkunjung memberi selamat tahun baru misalnya. Sebenarnya maksudnya baik dan bersahabat. Lalu bagaimana sikap kita? Ya teman-teman kita bisa diberitahu sebelumnya, jika ingin berkunjung jangan pas di hari Nyepi, tetapi besok harinya. Atau bisa juga pagar depan dikunci dan diisi tulisan: “Maaf tidak terima tamu, karena sedang melaksanakan Brata Nyepi” Lampu di rumah dimatikan siang dan malam. Anak-anak, pembantu, jangan berkeliaran di halaman rumah.