PURA PUCAK TEDUNG

Image result for pura pucak tedungPura ini terletak di suatu dataran tinggi yang sering disebut bukit atau pucak di Desa Kerta, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Dengan jarak ± 30 km dari Denpasar, arah ke Utara.

Dari halaman pura (jeroan) akan jelas dapat dilihat pemandangan Pulau Bali bagian Timur Selatan, Barat, tampak pula kendaraan-kendaraan lalu lalang di daerah Baturiti yang sedang menuju Singaraja dari Denpasar atau sebaliknya.

Pura Pucak Tedung belum ditembok sekelilingnya (penyengker) dan terdiri dari 3 halaman (undag). Halaman pertama adalah yang tertinggi yang disebut Jeroan, halaman yang kedua lebih rendah yang disebut Jaba Tengah dan halaman yang ketiga disebut Jaba Sisi.

Halaman yang tertinggi atau Jeroan, luasnya 730,77 m2 dengan ukuran panjang (Timur ke Barat) 27,37 m dan lebar (Utara ke Selatan) 26,70 m. Jeroan adalah tempat-tempat bangunan pokok yang akan diuraikan menyendiri. Di Jaba Tengah hanya ada dua bangunan antara lain Bale Kulkul dan Bale Panggungan.

Di sebelah Barat Laut Pura Pucak Tedung ada sebuah Pura Kecil yang disebut Pura Sekartaji yang luas halamannya lebih kurang 7 m2 dengan panjang 3,5 m dan lebar 2 m. Di Pura Sekartaji ini hanya ada 2 bangunan, yaitu :
Palinggih Batur Sari
Paruman Pancaresi

Pura ini erat kaitannya dengan Pura Pucak Tedung.


Sejarah Pura Pucak Tedung

Image result for pura pucak tedungSecara harfiah Pucak berarti ujung tertinggi dari dataran tinggi. Tedung adalah semacam payung. Sejarah nama Pura Pucak Tedung sampai saat ini belum ditemukan termuat dalam lontar-lontar/purana. Secara mythologi bahwa waktu seorang pemimpin Agama Hindu yang bernama Danghyang Nirartha atau Bhatara Sakti Wawu Rauh, mengadakan perjalanan dari daerah Pulaki menuju Pulau Bali bagian timur, beliau beristirahat di ujung tertinggi suatu dataran tinggi (orang Bali biasanya menyebut suatu ujung dataran tinggi adalah Pucak). Pada saat beliau melanjutkan perjalanan, pajeng (tedung) yang dibawanya ketinggalan di pucak tersebut, maka dataran itu disebut Pucak Tedung dan Pura yang dibangunnya disebut Pura Pucak Tedung.

Untuk menghormati jasa-jasa Danghyang Nirartha maka didirikanlah Palinggih Meru Atap 3 (Tumpang Tiga). Seorang keturunan Raja Mengwi dalam perjalanan menuju Pucak Pangelengan (Tinggan) untuk melakukan meditasi (myasa), juga beristirahat di Pura Pucak Tedung. Atas perintah beliau dibangunlah sebuah meru tumpang 7. Meru tumpang 7 ini adalah representasi dari Pura Pucak Beratan. Dengan dibangunnya meru tumpang 7 ini, masyarakat di Petang dan sekitarnya tidak usah langsung lagi datang ke Pura Pucak Beratan untuk memohon kemakmuran di sawah dimana hanya cukup melalui Pura Pucak Tedung.

Bila ada orang meninggal di suatu desa yang merupakan pengemong Pura Pucak Tedung, biasanya dalam upacara penguburan/pembakaran mayat sekeluarga memohon air suci (nunas tirtha) yang disebut tirtha pengentas. Untuk masyarakat di Desa Petang, Desa Kerta diperkenankan memohon tirtha suci/air pengentas dari Jaba Pura Desa Kerta, yang mana di Jaba Pura Desa Kerta itu ada sebuah bangunan khusus untuk memohonnya yang disebut Pura Penataran.

Sewaktu jayanya Kerajaan Mengwi sekitar abad ke-17, dimana menguasai sampai daerah Badung bagian utara, maka pengawasan/pemeliharaan Pura Pucak Tedung diserahkan kepada Puri Carangsari. Puri Carangsari menyerahkan kepada Puri (Jeroan) Kerta untuk mengawasi/memelihara. Pada abad ke-17 Puri Carangsari mengembangkan wilayahnya dimana seorang keturunannya yang bernama I Gusti Ngurah Rai, pindah ke Desa Petang dan menetap di sana, karena Puri Kerta putung (tidak ada kelanjutan keturunan) maka pengawasan/pemeliharaan Pura Pucak Tedung diserahkan kepada Puri Petang yang merupakan pecahan/bagian Puri Carangsari, sedangkan Raja Busana (peralatan di Pura antara lain Bajra/ semacam genta) masih disimpan di Jeroan Kuta.

Dengan bertahtanya I Gusti Ngurah Rai di Desa Petang maka diadakanlah pembagian wilayah disebut Desa Adat dan merupakan pengemong Pura Pucak Tedung. Desa-desa yang dimaksud adalah :
Desa Sulangai
Desa Adat Munduk Damping
Desa Adat Lipah
Desa Adat Sandakan
Desa Adat Angantiga
Desa Adat Batulantang
Desa Adat Kerta
Desa Adat Petang

Selain dari masyarakat desa adat tersebut di atas ini melakukan persembahyangan pada waktu piodalan di Pura Pucak Tedung, ada juga orang-orang luar Kecamatan Petang melakukan persebahyangan antara lain :

dari Banjar Pupuan Desa Mengwi
dari Banjar Subali Desa Ubud
dari Banjar Ulapan Kecamatan Blahkiuh




Upacara Piodalan

Image result for pura pucak tedungUpacara piodalan dilaksanakan setiap enam bulan sekali yang jatuh pada Hari Sabtu Kliwon Wuku Krulut atau Tumpek Krulut. Pada waktu upacara piodalan palinggih Ida Bhatara diusung untuk mekiyis atau melasti ke Pura Beji. Sekembali dari Pura Beji pelinggih tersebut berhenti sementara (mesandekan) di Pura Sekartaji. Maksud dari mesandekan itu adalah tak ubahnya seorang yang habis mandi mesti memperbaiki/mengatur pakaiannya menjelang masuk rumah.

Pada upacara piodalan (piodalan agung/besar) sesajen yang dipersembahkan antara lain :
Banten Catur
Banten Panggungan Jaba/Jero
Banten Bebangkit Jaba/Jero

Pada meru tumpang tiga dipersembahkan sesajen antara lain : Peras Daksina, suci 5 buah dan sesantun agung 1 buah. Dalam meru tumpang 7 dipersembahkan sesajen antara lain : peras daksina, suci 5 buah, catur 1 buah. Pada padmasana dipersembahkan sesajen antara lain : peras daksina, suci 5 buah, catur 1 buah, daksina agung 1 buah. Pada surya dipersembahkan sesajen antara lain : peras daksina, suci 5 buah, matah-matah (bogolan).

Pada hari piodalan (piodalan kecil/alit) sesajen yang dibuat atau dipersebahkan antara lain : pada meru tumpang 3, merum tumpang 7, palinggih padmasana masing-masing dipersembahkan peras daksina dan suci dua buah.



Nama Palinggih serta Fungsinya

Nama palinggih serta fungsi dari masing-masing palinggih di Pura Pucak Tedung antara lain :

Palinggih Ratu Meres/Ratu Mujung menghadap ke Selatan yang mempunyai fungsi sebagai Dewa Kemakmuran.

Palinggih Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, yang menghadap ke Selatan, yang mempunyai fungsi sebagai prekangge Bhatara di Pura Dalem.

Palinggih Ratu Ngurah Tangkeb Langit menghadap ke Selatan yang berfungsi sebagai prekangge Bhatara di Pura Desa.

Meru Tumpang 7 yang menghadap ke Selatan yang mempunyai fungsi sebagai penyiwian Ida Bhatara di Pucak Beratan Bedugul.

Palinggih Padmasana menghadap ke Barat dan mempunyai fungsi sebagai tahta Tuhan Yang Maha Esa (Siwa Raditya).

Meru Tumpang Tiga menghadap ke Barat yang mempunyai fungsi untuk menyembah Ida Danghyang Nirartha.

Bale Paselang yang mempunyai fungsi sebagai tempat upacara “Mapeselang“.

Bale Panggungan yang mempunyai fungsi tempat banten ayaban Bhatara.

Bale Pelik yang mempunyai fungsi tempat ngadegang/ngelinggihang Ida Bhatara.

Bale Sekulu yang berfungsi sebagai tempat masandekan/menghias.

Palinggih Apit Lawang yang mempunyaim fungsi sebagai tempat prekangge di Pura tersebut.

Bale Kulkul yang mempunyai fungsi sebagai tanda upacara.



Kesimpulan


Status Pura dan Fungsinya :

Pura Pucak Tedung dapat digolongkan sebagai Dang Kahyangan karena pada jaman dahulu menjadi tanggungan kerajaan.

Fungsinya :
Untuk memohon tirtha pengentas meru tumpang tiga
Sebagai pura tempat memohon kemakmuran karena ada pesimpangan Pura Beratan dan Pelinggih Ratu Meres/Ratu Mujung.

PURA PUCAK PANULISAN

sumber : youtube
========================================================================

Pura Pucak Panulisan terletak di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang berkunjung ke Bali.

Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.

Secara garis besar kompleks pura ini menghadap ke selatan, kecuali pura utama yang mengarah ke barat. Pada halaman utama (jeroan) tersimpan peninggalan-peninggalan dari masa prasejarah hingga Bali Kuno.

Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga.

Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala.

Belum jelas, kapan sejatinya pura ini mulai dibangun. Tim Universitas Udayana yang meneliti pura ini tahun 1992 tak mendapatkan kejelasan sejarah awal pendirian pura. Benda-benda purbakala yang tersimpan di sana tak satu pun menjelaskan perihal sejarah awal pendirian pura ini, termasuk nama Panarajon ataupun Koripan. Para peneliti hanya menyimpulkan kesamaan kata pucak, tegeh, dan panarajon yang disebut berasal dari kata tuju, berarti tinggi.

Prasasti Sukawana A-1 berangka tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog R Goris pun dinilai tak memberikan kepastian perihal Pura Pucak Panulisan ini. Prasasti ini memang menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani (Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan kurang mendapat perhatian dan sering dijadikan tempat persinggahan, peristirahatan anak atar (para pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian khusus penguasa Bali kala itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat Kumpi Marodaya dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini.

Dalam buku Keadaan Pura-pura di Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda yang meninggal di Bali ini menyebutkan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai Pura Panataran sekaligus pemujaan awal terjadinya kehidupan di Bali, Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran, Pejeng, Gianyar. Pura tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan, di Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di Desa Pejeng berupa Pura Puser Tasik.

Image result for pucak penulisan
Menilik lokasi pura di atas bukit dengan sistematika teras piramida ditambah dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat diduga kuat dari dulu pura ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa Bali Aga di Kintamani, selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama raja-raja Bali Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca Bhatari Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum mendapatkan kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan di Pura Pucak Panulisan.

Pernah ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura Batukaru di Tabanan. Konon, Ida Bhatara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah rajeg di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini wewenang spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang dinamakan Jero Kubayan. Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak mempergunakan pandita atau sulinggih layaknya di beberapa pura sad kahyangan di Bali.

Khusus di Pura Pucak Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk. Keduanya bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan sembah. Jero Kubayan ini memiliki senjata berwujud golok dipergunakan sebagai alat saat ngendag, mulai memotong lis waktu digelar upacara. Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra, dinamakan puja sana.

Dalam struktur kemasyarakatan Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah jabatan tertinggi. Di bawahnya ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan kabau. Jabatan kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti bila yang bersangkutan sudah punya kumpi (cicit). Bila tak berketurunan, seperti Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang sampai meninggal. Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat pamadegan, pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa Sukawana.

Arca Ida Bhatara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari upaya krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi pura dengan tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami mohonkan secara niskala ke hadapan Ida Bhatara, diizinkan disimpan di Desa Sukawana,” tambah Jero Kubayan Istri Kiwa.

Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Bhatara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.

Image result for pucak penulisan
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.


Dulu, bila upacara hanya bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari warga Sukawana. Desa lain hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh tahun sekali barulah warga gebug domas turun semua.

Sejak tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti warga yang semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan di Pura Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka mengeluarkan urunan dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan di desa masing-masing. Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu, maka masyarakatnya menghaturkan bambu.

Dulu, sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga dikurbankan seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan penuh dan sesuai kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar justru keyakinan pada kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,” Jero Kubayan mengingatkan.

Saat upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan ayam putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng 22 keping, sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat yang menyatakan Desa Sukawana melaksanakan wali Ida Bhatara nyatur muka. Pakelem dilaksanakan di depan palinggih, pada tempat khusus berupa lesung.

“Ada kalanya lubang lesung kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil, tapi bisa menampung semua sarana upacara yang akan dijadikan pakelem. Ini sulit dicerna akal sehat, memang,” tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta

Lingga Purba, Siwa, Ganesa


Image result for pucak penulisan
Pura Pucak Panulisan tak hanya berfungsi sebagai tempat memuja keagungan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Natha. Dari lokasi berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang bisa mengetahui jejak sejarah Bali tempo dulu.


Di tempat ini tersimpan ratusan peninggalan purbakala, artefak arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa dan bagaimana Bali dalam beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga era pengaruh Hindu. Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para peneliti, sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut.

Beberapa peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di antaranya batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan dan matahari, sebuah perwujudan Bhatara Brahma, tiga arca berpasangan, dua lingga perwujudan berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur candi sebagai simbolis gunung tempat berstana para dewa atau roh suci.

Tersimpan pula ratusan lingga tak berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada utuh, tak jarang tinggal beberapa bagian tubuh saja. Secara keseluruhan lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa. Tinggalan kuno ini saban malam dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir di pura.

Berbagai kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri perihal tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan purbakala yang tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya kerajaan Bali Kuno. Ini dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti yang berhubungan dengan kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan, prasasti berangka tahun 999 saka (1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M).

Image result for pucak penulisan
Kebenaran tersebut diperkuat lagi dengan ditemukannya arca laki perempuan yang di belakangnya terdapat prasasti sebagai pratista Raja Udayana Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki tahta kerajaan di Bali sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan sikap berdiri di belakangnya menyebut nama Bhatari Mandul, diperkirakan sebagai pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra.

Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).

Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Bhatari Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).

Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).

Selain arca Bhatari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).

Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).