========================================================================
Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.
Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga.
Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala.
Belum jelas, kapan sejatinya pura ini mulai dibangun. Tim Universitas Udayana yang meneliti pura ini tahun 1992 tak mendapatkan kejelasan sejarah awal pendirian pura. Benda-benda purbakala yang tersimpan di sana tak satu pun menjelaskan perihal sejarah awal pendirian pura ini, termasuk nama Panarajon ataupun Koripan. Para peneliti hanya menyimpulkan kesamaan kata pucak, tegeh, dan panarajon yang disebut berasal dari kata tuju, berarti tinggi.
Prasasti Sukawana A-1 berangka tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog R Goris pun dinilai tak memberikan kepastian perihal Pura Pucak Panulisan ini. Prasasti ini memang menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani (Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan kurang mendapat perhatian dan sering dijadikan tempat persinggahan, peristirahatan anak atar (para pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian khusus penguasa Bali kala itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat Kumpi Marodaya dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini.
Dalam buku Keadaan Pura-pura di Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda yang meninggal di Bali ini menyebutkan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai Pura Panataran sekaligus pemujaan awal terjadinya kehidupan di Bali, Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran, Pejeng, Gianyar. Pura tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan, di Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di Desa Pejeng berupa Pura Puser Tasik.
Menilik lokasi pura di atas bukit dengan sistematika teras piramida ditambah dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat diduga kuat dari dulu pura ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa Bali Aga di Kintamani, selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama raja-raja Bali Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca Bhatari Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum mendapatkan kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan di Pura Pucak Panulisan.
Pernah ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura Batukaru di Tabanan. Konon, Ida Bhatara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah rajeg di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini wewenang spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang dinamakan Jero Kubayan. Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak mempergunakan pandita atau sulinggih layaknya di beberapa pura sad kahyangan di Bali.
Khusus di Pura Pucak Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk. Keduanya bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan sembah. Jero Kubayan ini memiliki senjata berwujud golok dipergunakan sebagai alat saat ngendag, mulai memotong lis waktu digelar upacara. Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra, dinamakan puja sana.
Dalam struktur kemasyarakatan Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah jabatan tertinggi. Di bawahnya ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan kabau. Jabatan kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti bila yang bersangkutan sudah punya kumpi (cicit). Bila tak berketurunan, seperti Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang sampai meninggal. Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat pamadegan, pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa Sukawana.
Arca Ida Bhatara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari upaya krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi pura dengan tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami mohonkan secara niskala ke hadapan Ida Bhatara, diizinkan disimpan di Desa Sukawana,” tambah Jero Kubayan Istri Kiwa.
Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Bhatara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.
Dulu, bila upacara hanya bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari warga Sukawana. Desa lain hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh tahun sekali barulah warga gebug domas turun semua.
Sejak tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti warga yang semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan di Pura Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka mengeluarkan urunan dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan di desa masing-masing. Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu, maka masyarakatnya menghaturkan bambu.
Dulu, sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga dikurbankan seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan penuh dan sesuai kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar justru keyakinan pada kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,” Jero Kubayan mengingatkan.
Saat upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan ayam putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng 22 keping, sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat yang menyatakan Desa Sukawana melaksanakan wali Ida Bhatara nyatur muka. Pakelem dilaksanakan di depan palinggih, pada tempat khusus berupa lesung.
“Ada kalanya lubang lesung kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil, tapi bisa menampung semua sarana upacara yang akan dijadikan pakelem. Ini sulit dicerna akal sehat, memang,” tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta
Lingga Purba, Siwa, Ganesa
Pura Pucak Panulisan tak hanya berfungsi sebagai tempat memuja keagungan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Natha. Dari lokasi berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang bisa mengetahui jejak sejarah Bali tempo dulu.
Di tempat ini tersimpan ratusan peninggalan purbakala, artefak arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa dan bagaimana Bali dalam beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga era pengaruh Hindu. Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para peneliti, sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut.
Beberapa peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di antaranya batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan dan matahari, sebuah perwujudan Bhatara Brahma, tiga arca berpasangan, dua lingga perwujudan berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur candi sebagai simbolis gunung tempat berstana para dewa atau roh suci.
Tersimpan pula ratusan lingga tak berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada utuh, tak jarang tinggal beberapa bagian tubuh saja. Secara keseluruhan lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa. Tinggalan kuno ini saban malam dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir di pura.
Berbagai kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri perihal tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan purbakala yang tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya kerajaan Bali Kuno. Ini dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti yang berhubungan dengan kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan, prasasti berangka tahun 999 saka (1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M).
Kebenaran tersebut diperkuat lagi dengan ditemukannya arca laki perempuan yang di belakangnya terdapat prasasti sebagai pratista Raja Udayana Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki tahta kerajaan di Bali sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan sikap berdiri di belakangnya menyebut nama Bhatari Mandul, diperkirakan sebagai pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra.
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).
Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Bhatari Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).
Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).
Selain arca Bhatari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).
Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).