PURA PUCAK GENI


No automatic alt text available.


Sejak ditemukan pertama kali tahun 1906, pura ini selalu padat penangkilan . Tak hanya masyarakat umum, tiada jarang pejabat tinggi bersujud suntuk di hadapan Ida Bhatara Pura Luhur Pucak Geni. Apa hubungannya dengan semut api?

Entah apa yang menjadi alasan hingga pura ini kerap dikunjungi warga. Dari sudut sejarah, sesuai pengakuan seorang warga Seribupati, tidak ada bukti otentik yang dapat dijadikan tonggak awal pendirian pura yang hari piodalan jatuh pada Buda Cemeng Kelawu ini.



Kalau toh ada, bukti yang tersiar di masyarakat lebih banyak berdasarkan cerita mitos warisan para moyang Seribupati. Seperti yang cerita yang didapat seorang sesepuh, I Ketut Tantra. Pamangku Pura Dalem Purwa Desa Pakraman Seribupati ini berkisah, bahwa tahun 1906, penguasa Kerajaan Belayu, Kecamatan Marga, I Gusti Gede Oka, sempat datang bersama ratusan abdi dari berbagai desa, seperti warga Desa Jadi, Belayu, Kuwum, Kukuh, dan Selanbawak, ke sebelah timur wilayah kekuasaannya.

Kawasan yang dituju masih berupa hutan perawan yang ditumbuhi semak serta pepohonan besar. Rombongan Kerajaan Belayu tersebut hendak memperluas wilayah tempat tinggal warga yang berada di bawah kekuasaannya.


Bagai kisah perjalanan Rsi Markandeya, Mpu dari Jawa Timur, saat pertama kali mengadakan perabasan hutan di Besakih, kedatangan Raja Belayu bersama pasukan pertama kali ke hutan dimaksud ternyata gagal mengadakan pembabatan hutan. Para pengikutnya tiba-tiba terserang semut api (semut merah) cukup banyak hingga tak sanggup lagi menunaikan tugas-tugasnya. Melihat keadaan yang kurang menguntungkan, Raja Belayu memerintahkan para warga kembali lagi ke desa masing-masing.

Image result for pura pucak geni
Menyerah? Belum ternyata, penguasa Puri Belayu kembali datang ke alas tadi. Kedatangan yang kedua kali juga disertai pengikut cukup banyak. Di antara pengikut itu bernama I Wayan Ngiring alias Pan Kayun,---Pan Kayun kelak jadi kakek dari Jero Mangku Dalem Purwa.


Sesuai rencana yakni membuka kembali lahan baru, maka perabasan pun dilakukan. Kali ini memang berhasil, tak lagi ada semut merah yang mengganggu. Tiba di satu tempat yang cukup tinggi para perabas hutan dikejutkan oleh penemuan benda berupa batu yang bertumpuk. Sedangkan di sekitarnya tumbuh pohon andong bang (merah) dan kayu pule cukup besar. Orang-orang yang hadir saat itu, termasuk kakek Jero Mangku Dalem Purwa meyakini lokasi tadi merupakan tempat suci. Mereka tak berani mengganggu. Sebaliknya, di tempat itu kemudian didirikan sanggar agung sebagai tanda tempat suci. Kawasan suci itulah kemudian disebut Pura Hyang Api. Nama Hyang Api muncul, mengingat pertama kali pasukan Belayu datang dan hendak mengadakan perabasan hutan, ternyata diserang semut api.


Pasca perluasan lahan untuk tempat tinggal dan pertanian, mulailah orang-orang menempati wilayah yang kelak dinamakan Desa Adat Seribupati. Saban waktu mereka hadir ke Pura Hyang Api memohon karahayuan dan keselamatan. “Itulah cerita yang saya tami (wariskan) sampai kini,” lanjut Jero Mangku Tantra.


Setelah mendekati setengah abad, sekitar tahun 1950-an, nama Hyang Api diganti menjadi Pura Luhur Pucak Geni. Pergantian dilakukan berdasarkan atas pamuus Ida Bhatara yang disampaikan langsung oleh Jero Dasaran.


Mangku Tantra dan warga pangempon Pura Hyang Api yang berasal dari tiga banjar, Banjar Seribupati, Padangaling, dan Babakan, tiada banyak bertanya sehubungan dengan pergantian tersebut. Mengingat semua itu titah dari Ida Bhatara, maka sejak saat itu nama Hyang Api diganti jadi Pucak Geni. ”Sampai sekarang orang-orang lebih lumrah mengenal pura ini sebagai Pura Luhur Pucak Geni,” Mangku Tantra mempertegas.


Nama boleh berganti, toh itu tak menyurutkan bakti warga yang tangkil ke pura bersatus Dang Kahyangan ini—status Dang Kahyangan disematkan pada Pura Luhur Pucak Geni karena pangempon lebih dari satu banjar dan yang datang tangkil juga dari berbagai daerah di Bali—tiada pernah surut. Lebih-lebih pada hari rarainan gumi (hari suci jagat), seperti Keliwon, Purnama, Tilem, dan hari suci lain, masyarakat Hindu seakan berlomba mendatangi tempat ini.

Ditambah lagi pada saat tertentu, menjelang suksesi kepemimpinan atau kegiatan pemilu misalkan, tak jarang pamangku dan pangayah mesti rela begadang hingga larut malam. Menunggu mereka yang hendak tangkil di malam hari. “Beberapa palinggih di pura ini juga ada disumbangkan oleh petinggi di daerah ini,” Pamangku Anyar Pura Pucak Geni, I Nyoman Genting menambahkan. Rohaniwan ini tiada tahu pasti apakah persembahan tersebut sebagai wujud tanda bakti atas berkah yang diterima atau ada tujuan lain, membayar kaul setelah sukses meraih yang diinginkan, misalkan. Namun, dia tetap berpikiran positif, bahwa segala yang dihaturkan ke pura itu berdasarkan ketulusan.

Image may contain: one or more people and outdoor
Lumrahnya tempat suci di Bali, Pura Luhur Puncak Geni juga terbagi dalam tiga mandala (bagian). Di areal jaba (paling luar) sehari-hari dimanfaatkan untuk parkir bagi pamedek (warga yang hendak pergi ke pura). Ketika upacara besar banyak dibangun rompok oleh para pedagang.


Pada jaba tengah ada beberapa palinggih. Di ujung timur laut tepatnya di bawah pohon pule terdapat padmasana sebagai stana Ratu Gede Jaksa yang diyakini warga sebagai penjaga di pura luhur ini. Bagi orang-orang yang hendak sembahyang, sebelumnya mesti melapor di palinggih ini. Pun saat hendak berpamitan juga mohon diri dari Ida Ratu Gede Jaksa.


Sedangkan di pohon pule berstana Ratu Gede Siwa Sangkara. Kemudian ada palinggih apit lawang yang di sebelah Barat (kanan) sebagai stana Mahakala dan di kiri (timur) stana Adikala. Di kori agung merupakan stana Sanghyang Kala. ”Pohon pule ini juga sering dimohon warga dari beberapa desa untuk dijadikan punggalan atau prarai (kepala) dari sasuhunan barong atau rangda,” sebut Jero Mangku Tantra. Sebagai bentuk rasa ikatan dengan Ida Bhatara di Pura Pucak Geni, bagi warga desa yang memohon kayu pule untuk barong, maka pada upacara setahun sekali, pada Buda Cemeng Kelawu, umumnya warga dari desa bersangkutan akan ke tempat suci ini.


Berikutnya, di areal jeroan (paling dalam) palinggih berderet dari timur hingga ke utara. Pada deret timur, paling ujung selatan ada palinggih sebagai stana Ratu Ngurah, di utaranya ada gedong tempat menstanakan lingga yoni.


Lingga yoni atau dalam bahasa sederhana masyarakat Bali kuno disebut pula dengan nama celak kontol lugeng luwih , tiada lain merupakan simbol dari kesuburan. Dari simbol inilah diharapkan tercipta kesejahteraan, kesuksesan di masyarakat.


Di sebelah palinggih Lingga Yoni terdapat meru tumpang (tingkat) lima yang menjadi stana penguasa atau palinggih pusat dari pura ini, yakni Ida Ratu Luhur Pucak Geni.


Di samping palinggih tadi, pada deret utara ada meru tingkat tujuh tempat pangayatan (perwakilan) Ida Bhatara di Pura Pucak Padangdawa, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Di baratnya terdapat gedong stana Ratu Mas Lingsir. Di sinilah orang yang mengalami sakit akan memohon kesembuhan.

No comments:

Post a Comment