PURA GERIA ANYAR TANAH KILAP

sumber : youtube
========================================================================

Pura Tanah Kilap
Pura Geria Anyar Tanah Kilap berada di wilayah Banjar Gelogor Carik Desa Pakraman Pemogan Kecamatan Denpasar Selatan, Bali. Di Pura Tanah Kilap merupakan stana Ida Bhatara yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Ratu Niyang Sakti.

Pura ini disebut Tanah Kilap, konon, lantaran di lokasi tersebut tanahnya dulu berwarna merah yang dikenal pula sebagai tanah legit atau ampo yang mengkilap. Lokasi pura ini sangat strategis di pinggir jalan. Di sebelah utara tembok penyengker-nya terdapat tempat pengayatan – tempat umat Hindu yang kebetulan lewat umumnya berhenti sejenak untuk menghaturkan canang atau sesajen guna menghaturkan bakti memohon keselamatan dari Ida Bhatari Ratu Niang Sakti yang berstana di pura setempat.



Sejarah Pura Tanah Kilap

Awal dari pembangunan Pura Tanah Kilap yaitu ketika Dinas PU Kabupaten Badung berencana membangun jembatan di sebelah barat lokasi pura untuk menghubungkan jalan-jalan yang ada. Dalam pengerjaannya, pembangunan jembatan tersebut selalu gagal. Ada saja hambatan yang dihadapi. Suatu ketika, ada fenomena gaib. Konon, Ida Bhatari Ratu Niang menunjukkan dirinya sebagai sosok wanita tua di hadapan Kabag Bendungan Dinas PU saat itu. Sosok wanita tua itu lalu memohon agar dirinya segera dibuatkan ‘rumah’ ( palinggih atau pura). Jika itu tak dilakukan, kapan pun jembatan tidak akan jadi.

Hal itu lalu dibawa dan diceritakan pada rapat pimpinan PU yang juga menghadiri unsur Parisada Hindu Bali, sehingga disepakati pembangunan palinggih di timur lokasi jembatan. Palinggih awal yang didirikan hanya berupa Padmasari dan Piyasan, berdiri di atas tanah yang awalnya 0,5 are, dan kini sudah dikembangkan hingga mencapai 17,8 are. Baru setelah palinggih itu berdiri, jembatan yang dibangun Dinas PU itu bisa dikerjakan dengan lancar tanpa hambatan.

Seiring dengan perjalanan waktu, Pura Geria Anyar Tanah Kilap mengalami renovasi tahun 1992. Awalnya hanya Padmasari kemudian dilengkapi sejumlah pelinggih lainnya. Di pura tersebut selain terdapat pelinggih gedong stana Ida Bhatara Ratu Niyang Sakti, juga pelinggih stana Danghyang Dwijendra atau Danghyang Nirarta atau Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, pelinggih Ida Bhatara Gede Mecaling atau Ida Bhatara Ratu Gde Sakti Dalem Peed, pelinggih Ida Bhatara Segara, Melanting dan sebagainya.

Setelah direnovasi, Pura tersebut dilengkapi administrasinya. Sebagai pengemong pura adalah Banjar Gelogor Carik. Kedudukan Pura adalah Dang Kahyangan Geria Anyar Tanah Kilap, status tanah milik Pura Geria Anyar Tanah Kilap dengan luas keseluruhan 17,8 are. Dahulu, yang mapunia tanah Pura atas nama Wayan Cepog Suradnya, milik leluhurnya yang tercantum dalam pipil I Wayan Sarya.

Mitologi

Kini tersebutlah Danghyang Nirartha, seorang pendeta utama datang ke tanah Bali pada tahun Saka 1411 bersama istri dan putra-putranya, yakni: (1) Ida Ayu Swabawa, (2) Ida Kuluwan, (3) Ida Lor, (4) Ida Wetan, (5) Ida Rai Istri, (6) Ida Tlaga, (7) Ida Nyoman Kaniten. Adapun Danghyang Nirartha menaiki waluh kele / waluh pahit, istri dan putra-putranya menaiki perahu bocor. Karena kesaktiannya segera sampai di Bali, istirahat di bawah pohon ancak. Kemudian didirikan parhyangan bernama Pura Ancak. Ada bisama/ putusannya kepada keturunannya, tidak boleh makan waluh selama-lamanya.

Dikisahkan, perjalanan Danghyang Nirartha ke arah timur, tiba-tiba bertemu dengan seekor naga yang mengangakan mulutnya bagaikan goa. Masuklah beliau, ke mulut naga, dan di dalam ditemuinya telaga berisi bunga tunjung sedang mekar di dalamnya, ada yang putih, merah dan hitam. Lalu dipetik bunga-bunga itu.

Ketika beliau keluar dari perut naga, sirnalah naga itu, wajah Danghyang Nirartha berubah-ubah dan menyeramkan, terkadang merah, hitam, dan putih silih berganti. Itu sebabnya istri dan para putranya takut melihat sang rsi. Kemudian terlihat istrinya Sri Patni Kiniten demikian juga putra-putranya. Tetapi Ida Ayu Swabawa terlihat paling akhir dalam keadaan pingsan, karena diperdaya oleh orang desa di Pagametan. Lalu marah sang Rsi seraya mengutuk orang Desa Pagametan menjadi wong samar bernama wong Sumedang berikut desanya disirnakan. Demikian kisahnya.

Adapun Ida Ayu Swabawa sirna sebagai dewa wong Sumedang, berstana di Pura Melanting disembah sebagai Dewi Pasar. Ibunda beliau Sri Patni Kaniten sirna di Pulaki menjadi Bhatari Dalem Pulaki. Demikian juga putrinya yang bernama Ida Rai Istri, ketika mengikuti perjalanan Danghyang Nirartha, lalu sirna di Alas Sepi bernama Suwung, disembah di Pura Griya Tanah Kilap, Desa Suwung Badung, bergelar Bhatari Lingsir atau Bhatari Ratu Niyang Sakti.

Legenda di atas nampaknya perlu dikupas lagi apabila kita percaya adanya makna di baliknya. Naga yang ditemui Danghyang itu sebenarnya adalah kondisi spiritualisme masyarakat Bali pada saat itu, di mana beliau merelakan diri untuk masuk ke mulut naga itu, seakan pasrah untuk ditelan bulat-bulat. Di dalam mulut naga itu, beliau menemukan tiga aliran agama yang besar, yang disimbolkan oleh tiga warna bunga teratai yang dipetiknya. Beliau memetik dan mendalami ketiga ajaran utama itu hingga nampak sedemikian asing dan aneh bagi para keluarganya. Memang pengorbanan beliau tidak tanggung-tanggung, namun hasilnya seperti kita lihat sekarang. Masyarakat Bali dapat menyatu dalam keserasian pemujaan dan bakti karena arsitek spiritual seperti Danghyang Nirarta yang kita muliakan.