Hari Raya Galungan yang jatuh pada hari Budha Kliwon Dungulan merupakan hari yang dirayakan sebagai kemenangan Dharma melawan Adharma. Dalam rangkaian persiapan penyambutan Galungan terdapat berbagai tahapan yang dimulai dari Tumpek Pengatag, Sugihan Jawa & Bali, Penyekeban, Penyajaan, Penampahan Galungan.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ada hal lain yang penting yang harus kita waspadai yang merupakan godaan kita dalam menyambut Galungan. Hal tersebut adalah Sang kala Tiga yang selalu melakukan daya upaya untuk menjebak manusia agar gagal mendapatkan hikmah Galungan.
Sang Kala Tiga yang terdiri dari:
Sang Bhuta Galungan. Bhuta ini mengganggu manusia bertepatan dengan perayaan penyekeban, yaitu pada hari Redite Pahing Dungulan sebelum Galungan. Bhuta Galungan akan menyerang manusia dengan berbagai cara agar bisa ditaklukan. Jadi pertarungan umat manusia dalam rangka kemenangan Dharma melawan Adharma diuji pertama kali oleh Sang Bhuta Galungan. Galungan sendiri berarti penyerangan. Dengan mengikuti proses penyekeban, dimana kita dituntut untuk berbuat baik, maka diharapkan serangan Bhuta Galungan dapat dinetralisir.
Sang Bhuta Dungulan. Dungulan berarti menaklukan. Bhuta ini menyerang pada hari Penyajaan Galungan atau pada hari Soma Pon Dungulan. Apabila kita tidak waspada semenjak hari penyekeban, maka dapat dipastikan Bhuta Dungulan akan dengan mudah menaklukan kita. Penangkal dari Bhuta Dungulan adalah dengan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan Penyajaan dengan serius dan memasrahkan hasilnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Secara logika, penaklukan sendiri dapat dihindari apabila kita menguasai pengetahuan seperti Widyadara-Widyadari. Sehingga betapa pentingnya kita melakukan prosesi hari Penyajaan untuk menyambut Galungan dan menghindarkan diri dari Bhuta Dungulan.
Sang Bhuta Amangkurat. Bhuta Amangkurat bersifat menguasai yang mengganggu manusia pada saat Penampahan Galungan atau pada Anggara Wage Dungulan. Bhuta ini sangat ganas dan bersifat tidak ada ampun terhadap manusia yang sudah dikuasainya. Itulah sebabnya maka leluhur kita memberikan cara yang sangat tepat untuk menghadapinya yaitu dengan Penampahan Galungan. Penampahan Galungan mengharuskan kita dengan simbolik untuk mematikan sifat hewani yang ada dalam diri kita agar bisa terhindar dari Bhuta Amangkurat dan berhasil merayakan Galungan. Bila dilihat dari segi filosofi tersebut, betapa pengertian Penampahan Galungan yang benar yaitu untuk memadamkan nafsu hewani akan menjadi sangat penting karena bisa menghindarkan kita dari kemunduran.
Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.
Kemenangan dalam menghadapi Sang Kala tiga diwujudkan dengan cara natab byakala pada saat sore hari di hari Penampahan Galungan. Inti dari byakala sendiri adalah penyucian diri kita setelah melalui berbagai godaan dan kemungkinan kekotoran yang melekat di diri kita.
Saat ini kebiasaan dalam melakukan byakala mendapatkan tantangan dari ketidaktahuan dan kesibukan masyarakat kita. Hal ini bisa disikapi dengan bijaksana dengan cara melakukan pembersihan diri yang dilakukan dengan cara sederhana yang intinya tetap pada tataran penyucian diri.
Bila melihat betapa proses dan godaan yang harus dilalui sebelum menyambut Galungan sangat berat, maka wajarlah leluhur kita mengatakan bahwa Galungan merupakan hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Sudah tentu disini harus ditekankan bahwa semua proses harus dilalui dengan benar dan penuh kesadaran akan pentingnya proses tersebut.
Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.
Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi. Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin.
PENJOR
Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama.
Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.
Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain. Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya.
Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.