Walunateng Dirah atau Ni Walunateng disebut juga Ni Calonarang, seorang janda dengan kamampuan ilmu pengelakan, sudah terkenal di daerah Dirah. Jangankan manusia, para butha, wong samar, gamang, memedi dan sejenisnya tiada berani menandingi kemampuan pengeleakannya. Hal ini tiada lain karena telah menjadi kesayangan dan mendapat anugrah Dewi Durga.
Tiada rasa yang lebih dari hari
ini. Serasa bunga bermekaran di taman, kembang merekah ikut merasakan gembira
hati Ni Walunateng. Daerah Dirah adalah daerah yang tenteram, yadnya,
persembahan tulus dihaturkan setiap hari. Alam pun memberikan hasil yang bergelimpahan.
Hati Ni Walu juga seirama. Sang
buah hati, kebahagiaan seorang ibu, telah dipinang ke Lembah Tulis. Mpu Bahula
telah menjadi menantu Ni Walunateng. Ciri sekarang si buah hati sudah mampu
mandiri. Mungkin inilah saat yang telah ditunggu sejak lama. "tolong panggilkan anakku, bibi"
demikian Ni Walunateng meminta kepada sisyanya.
"Oh, ibu, terimalah sembah sujud hamba. Engkau yang sangat hamba
hormati" sembah bakti Ni Diah Ratna Mangali memberikan hormat kepada Ni
Walunateng.
"Anakku, Diah Ratna Mengali, bunga hidup ibu, sembah sujudmu, ibu
terima, berbahagialah engkau kebahagiaan ibu".
Tiada bahagia rasa seorang Ni
Walunateng selain melihat senyum ceria sang pelita hati. Ini adalah anugrah
terindah dari sang pemilik semesta. Ni Walunateng menceritakan tentang
kebahagiaan yang ia rasakan kepada anaknya. Ia bercerita juga tentang bagaimana
menjadi istri yang baik, agar rumah tangga menjadi rukun. Purana-Purana, Dharma
Sastra, Ithiasa, kisah-kisah dalam Ramayana dan Mahabharata jadikan pedoman,
bagaimana bertingkah menjadi putra yang suputra.
Segala yang ada di dalam hati
telah tersampaikan. Namun ada satu. Satu lagi yang harus diberitahu. Hal ini
tentang kehidupan dan kematian.
Ni Walunateng akan ke Kahyangan
Dalem untuk melaksanakan Dhurga Sraya, menghaturkan puja yadnya kepada Dewi
Durga. Untuk itu, dititipkanlah dua pusaka, dan jangan beritahu siapapun.
Lahir hidup mati, Uppeti, Stiti,
Pralina. Ilmu pengelakan adalah Rwa Bhineda, dua hal yang harus ada. Di hari
kajeng kliwon, seseorang membawa daksina, 17 ribu uang kepeng, canang 11 ,
tipat duang kelan dan arak berem. Saat tengah malam, berjalanlah ia ke kuburan,
tepat di tempat pembakaran mayat, meminta anugerah kepada sang penguasa
kuburan.
Sejatinya ilmu pengeleakan adalah
ilmu kebebasan karena ilmu inilah yang akan menghantarkan kita menuju Brahma
Loka, namun jangan sombong. Leak yang tidak dibenarkan adalah leak yang
menyakiti orang tanpa dosa, leak yg penuh dengan kesombongan. Ilmu pengeleakan
akan mampu menyakiti asal manusia salah. Itu untuk memberitahu bahwa ia telah
salah. Kesombongan seseorang akan ilmu pengelakannya akan menyebabkan
penderitaan dan kesengsaraan yang sangat.
Demikian sambil menunggu
kedatangan sang putra, Mpu Baradah bercerita pada dua orang abdinya.
Setelah memberi restu kepada Mpu
Bahula, Mpu Baradah mengingatkan akan tugas, Mpu Bahula adalah seorang duta.
Tujuannya adalah mendapatkan pusaka Ni Calonarang, Nircaya Lingga dan Niscaya Lingga. Dalam melaksanakan tugasnya, Mpu
Bahula telah menikah dengan putri Ni Calonarang, Diah Ratna Mangali. Tentu hal
ini akan memuluskan tugas untuk mendapatkan pusaka. Namun apa daya, hingga
sekarang belum juga diketahui dimana pusaka itu tersimpan.
"bertemunya sasih desta dengan sasih sada, adalah waktu yang
sangat tepat…" demikian Mpu Baradah berpetunjuk.
Dalam penantiannya, Mpu Bahula
berbincang dengan Ratna Mangali tentang kehidupan dan kematian serta tujuan
dari hidup dan mati. Ratna Mangali tanpa tersadar, telah memberitau tentang
pusaka ibunya yang harus dirahasiakan. Segera saja Mpu Bahula ingin melihat
seperti apa pusaka kehidupan dan kematian. Beralaskan cinta dan bakti pada
suami, Diah Ratna Mangali memperlihatkan pusaka Nircaya Lingga dan Niscala Lingga. Namun, mpu bahula adalah seorang
duta, mengemban tugas untuk mendapatkan pusaka Ni Calonarang, Nircaya Lingga
pun berpindah tangan.
Sekembalinya Ni Walunateng dari
tapa yoga, hal yang tidak biasa ia rasakan. Didapatkan Ratna Mangali menangis,
dan Nircaya Lingga telah hilang. Kemarahan mulai merasuki setiap nadi Ni
Walunateng, menantunya ternyata pendusta. Seraya menatap langit, ia tahu ini
adalah penistaan, ia memanggil semua sisya dan buatlah penyakit di Lembah
Tulis.
Seketika wabah melanda di Lembah
Tulis, masyarakat terjangkit penyakit aneh. Secara tiba-tiba sakit kemudian
meninggal. Mengetahui akan hal ini, segera Mpu Baradah menuju ke Dirah.
Burung gagak bersoak-soak,
organ-organ manusia bergelantungan di sebuah carang kayu tua. Melewati kuburan,
bau amis menusuk penciuman, perjalanan masih harus diteruskan. Mpu Baradah
menapakkan kaki di Dirah ditemani dua orang abdi. Gelap gulita, ketakutan
merasuk ke suasana saat itu. Tiba-tiba nampak seorang wanita tua samar wajah,
Ni Walunateng mengetahui kedatangan Mpu Baradah.
Saling memberi hormat antara Mpu
Baradah dengan Ni Walunateng, setelah sekian lama, betapa bahagia mereka bisa
saling bertemu di waktu kali ini. Namun kenapa kita bertemu di malam kala
ini..?
Mpu Baradah mempertanyakan
keberadaan Ni Walunateng berada di kuburan di malam seperti ini. Dalam tatanan
Surya Chandra, surya (matahari) diibaratkan laki-laki dan candra (bulan) adalah
perempuan. Ni Walunateng berada di kuburan hanya untuk menikmati keindahan
malam saat ini, betapa alam menciptakan sesuatu yang mempesona. Bagai bulan,
ini adalah waktu yang tepat untuk muncul menampakkan diri. Sangat disayangkan
kalau kita tidak merasakannya.
Dibalikkan pertanyaan, bukankah
ketiadaan surya menandakan malam..?
Bercahayanya candra bukan karena
mampu mengeluarkan cahaya, namun candra hanya memantulkan cahaya surya dan ini
menandakan surya selalu hadir. Sepertinya kebanggaan yang berlebihan akan
membuat surya terlalu membanggakan diri,
Apakah salah jika cahaya candra
menandakan malam memberikan rasa yang berbeda buat bumi..?
Sangat tidak salah, namun terang
hanya temaram, jangan panas. Jika panas akan membuat masyarakat menderita dan
itulah yang tidak diperbolehkan.
Keberadaan rwa bhineda di dunia
ini haruslah berjalan beriringan. Ni Walunateng dalam menjalankan ilmu
pengeleakannya memiliki swadarma untuk mem-prelina segala yang salah. Namun
yang dilakukan adalah mem-prelina semuanya. Bukan hanya yang salah, yang tanpa
salahpun terkena penyakit, itulah yang salah.
Perdebatan tidak akan mampu
menyelesaikan permasalahan, begitu dalam pikiran keduanya. Hingga adu kemampuan
antara Mpu Baradah dengan Ni Walunateng terjadi. Sebagai sasaran adalah pohon
beringin. Ni Walunateng menghanguskan pohon beringin dan Mpu Baradah
menghidupkan seperti sedia kala. Sekarang, mpu baradah yang menghanguskan pohon
beringin, namun apa daya ketika Ni Walunateng mencoba untuk menghidupkan pohon
beringin, nircaya lingga telah dicuri, ia tak sanggup untuk menghidupkan
kembali pohon beringin.
Merasa tak sanggup, Ni Walunateng menantang Mpu Baradah untuk adu kesaktian secara sesungguhnya. Sebagai mpu yang menjalankan dharma kesucian, bukan saatnya lagi untuk melakukan "siat peteng", maka diutuslah Patih Taskara Maguna untuk menghadapai Ni Walunateng Dirah.