Watugunung (Watu Gunung) yang disebutkan dalam wuku dengan urip 8 dan bilangan 30. Tersebutlah sebuah kisah watugunung sebagaimana yang disebutkan dalam lontar medangkemulan, sebagai salah satu acuan lontar dalam perhitungan kalender Bali.
Watugunung adalah seorang anak dari raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang Kulagiri dan ibunya bernama Dewi Sintakasih.
Pada mulanya diceritakan, setelah lama bersuami istri, lalu Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Sang Raja menyampaikan bahwa beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa, juga mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di keraton selama beliau pergi dan kedua istri beliau menyetujuinya.
Tak diceritakan keadaan sang raja bertapa sudah cukup lama sekarang diceritakan Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi Sintakasih bercakap-cakap dengan Dewi Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja belum datang. Akhirnya dalam percakapan itu diputuskan akan mencari suaminya ke gunung Sumeru (tempat sang raja bertapa).
Tersebutlah kedua istri sang raja berangkat dari keraton, menuju tempat suaminya bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai tanda akan melahirkan. Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan lebar, melepaskan lelahnya sambil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang tidak tertahan saat itu juga Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi.
Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia. Saat itu pula turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih.
Sang Dewi menghormat sambil berkata:
“Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini belum juga beliau datang (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati”.
Demikianlah kata kedua putri itu menghormat kehadapan Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Dewa Brahma setelah mendengar cerita kedua putri tersebut beliau sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali yang dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu. “Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung”.
Demikianlah sabda Dewa Brahma. Sang Dewi keduanya menghormat dan menghaturkan terima kasih. Kemudian gaiblah Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka.
Ketika lenyapnya Dewa Brahma, sang dewi keduanya ke keraton dengan memangku seorang putra.
Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat.
Heranlah kedua permaisuri itu melihat putranya demikian hebatnya makan, kadang-kadang satu kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya. Makin hari makin bertambahlah kesibukan ibunya untuk meladeni putranya yang luar biasa itu. Sampai-sampai merasa kewalahan untuk memberi makan dan selalu menuntut untuk makan.
Tersebutlah pada suatu hari ibunya sedang memasak di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk dimakan. Ibunya berkata : ”Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya belum masak”.
Demikian kata ibunya tetapi sang Watugunung tidak menghiraukan dan melahan mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum, pendeknya dalam keadaan masih panas sudah dihabiskan.
Melihat perilaku putranya demikian sangat tidak sopan, ibunya menjadi naik pitam dan mengambil sodo (siut) langsung memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang dideritanya. Ketika sakit dari lukanya sudah agak reda Watugunung meninggalkan keraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.
Dalam perjalanan sang Watugunung berbuat seenaknya, merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Penduduk di sekitar lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk.
Hal ini sangat mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan untuk mengahadapi tingkah polah anak itu, akhirnya masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu sang raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk membunuh Watugunung.
Setelah mendengar keputusan raja seluruh lapisan kekuatan daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan memukul dengan bermacam-macam senjata, serangan datang dari segala sudut yang kesemuanya tertuju ke badan sang Watugunung. Tetapi sayang seluruh serangan dan seluruh senjata penyerang tidak ada yang mempan. Sang Watugunung sedikit pun tidak ada yang cidera. Sang Watugunung terus mengadakan aksinya dengan mengobrak-abrik yang menyerangnya, menghancurkan kelompok penyerang yang hebat itu. Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Sang Raja sangat marah mengetahui keadaan rakyatnya dihancurkan oleh Watugunung.
Raja Girisrawa dengan hati yang membara turun ke medan perang dengan persenjataan yang lengkap untuk menghadapi sang Watugunung. Maka terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan itu. Perang tanding itu berlangsung 7 (tujuh) hari. Dan pada akhirnya Raja Giriswara dapat dikalahkan oleh sang Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung, mengenai kekalahan kerajaan Emalaya.
Tersebutlah sang Watugunung melanjutkan serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa.karena serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung yang hebat itu.
Akhirnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing. Namun akhirnya sampai raja Kuladewa dapat dikalahkan, dan tunduk kepada Watugunung.
Sang Watugunung melanjutkan serangannya kepada raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Keseluruhan dari kerajaan yang dikalahkan berjumlah 27 kerajaan dan sampai semua Rajanya tunduk kepada sang Watugunung. Tak ketinggalan juga rakyat beserta daerahnya menjadi jajahan sang Watugunung. Kesaktian ini diperolehnya pada saat lahirnya di kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Selama 150 tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya.
Dalam pemerintahannya itu beliau selalu menanyakan kepada raja-raja taklukannya. Katanya : ”Hai para raja apakah ada raja yang hebat lagi yang belum aku tundukkan?”. Para raja pun menjawab ” Daulat tuanku maha raja Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku tundukkan yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang sangat diagungkan oleh rakyatnya dan dihormatinya. Jika tuanku dapat mengalahkannya kedua raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku raja.
Demikianlah jawaban dari raja-raja yang didengar keterangannya. Dan raja Girisila membenarkan. Setelah mendengar keterangan dari para raja itu, Maharaja Girisila memerintahkan kepada rakyatnya supaya mempersiapkan diri lengkap dengan persenjataan guna menyerang kerajaan Kundadwipa.
Rencana ini didengar oleh kerajaan Kundadwipa maka dari itu rakyat Kundadwipa bersiap-siap untuk menyambut tamu yang tak diundang itu, tidak ketinggalan pula dengan persenjataan yang memadai.dan pada saat terjadinya pertempuran yang sengit, seram sampai aliran darah dari para korban menganak sungai.
Sama-sama perwira sama-sama gagah berani tidak ada yang mau menyerah pantang mundur. Korban dari kedua belah pihak makin banyak, korban jiwa korban harta dan yang lain-lainnya. Setelah pertempuran berlangsung yang menderita kekalahan adalah di pihak Kundadwipa. Maka kedua raja perempuan itu dikawini, karena lupa padahal itu adalah ibunya sendiri.
Pada suatu saat setelah lama bersuami istri, sang Watugunung menyuruh kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya. Sedang asyiknya pekerjaan memburu kutu itu dilakukan terjadilah gempa bumi, hujan dengan lebatnya disertai angin dan disambung oleh petir yang mengguntur di langit.
Melihat tanda-tanda itu para dewa sangat khawatir kejadian apakah yang bakal terjadi selanjutnya. Maka sekalian dewa menghadap Dewa Siwa. ”Haturnya yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan alam yang hebat seperti sekarang ini? Kemungkinan besar ada manusia yang berbuat tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila, membenarkan yang tidak benar berlaku seperti binatang”.
Mendengarkan keterangan Dewa seperti itu, Dewa Siwa segera memanggil pendeta para dewa yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) supaya menyelidiki perbuatan manusia di dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini.
Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki perbuatan manusia di dunia ini. Diketahuilah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua istrinya. Dengan segera Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka). Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa. Kata beliau ”Yang mulia Dewa Siwa kami datang dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami lakukan dengan sangat teliti ternyata memang memang ada manusia berbuat yang tidak memenuhi tata susila kemanusiaan yaitu sang Watugunung mengambil kedua ibunya dipakai istri (dipakai permasuri). Hal yang demikianlah sangat tidak tepat dilakukan oleh manusia”.
Mendengar laporan yang sangat meyakinkan itu Sang Hyang Sahasra menjadi naik pitam dan menjatuhkan kutukan yang ditujukan kepada sang Watugunung, sabda beliau : ”Hai kau sang Watugunung semoga engkau mati dibunuh Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) karena perbuatan yang sangat dursila itu yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai permaisuri (memperistri ibu kandung), mengambil ”babu sodaran, mengambil tumin temen, kewaulan, babu dimisan, keponakan ring nyama, rerama ringmisan, suta sodaran dan cucu”.
Semua yang tersebut di atas tidak boleh dijadikan istri. Jika ada manusia yang melakukan hal itu, patut dibuang ke laut, dan jiwanya supaya disiksa oleh rakyat Bhatara Yama pada alam neraka (Bhur Loka). Apabila kelak menjelma agar dalam kehidupannya itu selamanya menderita kesengsaraan”.
Demikian kutuk Sang Hyang Tri Purusa.
Tersebutlah pada suatu hari sang Watugunung melakukan pemburuan kutu yang dilakukan oleh kedua istrinya pada atau di atas kepala sang Watugunung yang besar itu. Saat asyiknya mencari kutu sambil menggaruk-garuk kepada maha raja, ketika melipat-lipat rambut yang kurang teratur itu kedua istrinya tercengang seketika, karena melihat bekas luka pada kepala yang sedang dielus-elusnya itu. Maka teringatlah beliau dengan perbuatannya yang terdahulu yaitu memukul kepala putranya dengan sodo (siut) sehingga menimbulkan luka di kepala putranya demikian pertimbangan di dalam hati, beliau tidak dapat berbuat apa-apa hanya diam tercengang, bahwa yang dipakai suami adalah putranya sendiri.
Karena kedua pasang tangan istrinya menjadi agak lemas dan percakapan kecil seketika menjadi hening. Dalam keheningan itu sang Watugunung bertanya kepada kedua permaisurinya: ”Hai adinda kenapa diam seketika apa yang menyebabkan coba jelaskan supaya kakanda mengetahui hal itu”.
Pertanyaan itu lama tidak dijawab karena dadanya merasa sesak, akhirnya menjawab : ”Ampun tuanku raja, adapun yang menyebabkan kami berdiam karena karena kami ngerempini (ngidam)”.
Sang Watugunung balik bertanya: ”Bagaimana adinda mengidam?”. Apa yang adinda idamkan katakanlah! : "Kakanda yang terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada permaisuri Sang Hyang Wisnu”, demikianlah permaisuri beliau menjawab. “Sangat sayang aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah dinda berdua mengetahuinya?” Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah”. "Ya kalau demikian kanda bersedia untuk mencarinya”.
Sang Watugunung mulai memusatkan pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga dengan kekuatan batinnya tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang ketujuh.
Sang Watugunung turun ke lapis tanah yang ketujuh sampai di sana disambut oleh Aribuana: Ah-ahih-ih apa maksud kedatanganmu?” mohon dijelaskan.
Sang Watugunung menjawab: “Aum Bhatara, adapun kedatanganku kemari, sebab berita yang kudengar di dunia, bahwa Bhatara adalah yang amat pengasih, apa saja yang diminta oleh manusia Bhatara izinkan”. "Apa yang kau sebutkan itu memang benar” jawab Sang Hyang Wisnu. "Kalau memang benar hal tersebut sekarang permintaanku adalah, saya mohon permaisuri Hyang Wisnu. bagaimana engkau izinkan bukan, katakanlah segera” Sang Hyang Wisnu segera menjawab“Oh permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak boleh meminta istriku cobalah minta yang lainnya, tentu aku akan penuhi, kehebatan, senjata dan lain-lainnya”.
“Jika demikian halnya Dewa Wisnu berbohong tidak menepati (tidak setia) kepada ucapan namanya, oh janganlah mengaku pada sadhu dharma (beriman dan saleh), kamu berikan atau tidak, kalau kamu berikan istrimu engkau selamat, kalau tidak engkau izinkan berbahayalah engkau”.
Sang Watugunung sangat marah. “Aum, seperti apa yang kamu katakan, kalau aku tidak izinkan, bagaimana kehendakmu cobalah bilang”. “Kalau Bhatara tidak izinkan, marilah segera kita berperang. Apakah kamu berani? katakan” Bertambah-tambah marahlah sang Watugunung, kata-katanya kasar.
Demikian pula Hyang Wisnu (sangat marah) segera menjawab: "kalau benar seperti apa yang kamu katakan, aku betul-betul tidak memenuhi permintaan, karena apa yang kamu katakan hal itu tidak benar (tidak wajar)”. Ketika itu sang Watugunung sangat marah, demikian pula Sang Hyang Ari, maka terjadilah pertempuran yang amat dasyat saling kejar mengejar, tusuk menusuk, pukul memukul dengan garangnya.
Tujuh puluh yuga lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan sang Watugunung, seribu kepalanya, dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti bintang, amat menakutkan, rupanya seperti api berkobar-kobar menyala. Sang Hyang Wisnu memurti (membesar wujudnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra, bertaring tajam (suligi), atau (berbelai) bajra yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura itu, besar badannya. Karena sang Watugunung tidak dapat dikalahkan oleh dewa, tidak terkalahkan oleh manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati dibawah dan di atas, tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura.
Setelah Sang Hyang Wisnu berwujud Badawang (Kurma), yang amat menakutkan, barulah beliau berperang. Bagaikan gelombang laut yang murka, bergetarlah dunia ini, sehingga menyebabkan para dewa sibuk bertanya. Sang Hyang Siwa pun berkata kepada para dewa: ”Hai anakku semua, apakah kiranya yang terjadi sehingga terjadi getaran - getaran yang hebat”.
Coba katakan!
Bhagawan Narada menjawab: ”Seperti apa yang bhatara katakan, hal itu terjadi karena ada manusia yang congkak berbuat yang tidak wajar, tidak lain manusia itu adalah si Watugunung, minta permaisuri dari Sang Hyang Wisnu, itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran, karena perbuatan si Watugunung amat berdosa."
Mendengar laporan Hyang Narada demikian, lalu sang Watugunung dikutuk oleh Bhatara Sangkara. ”Jah tah smat, semoga si Watugunung mati, karena perilakunya yang amat berdosa mau memperistri dari salah seorang dewa, terus-menerus sampai pada penjelmaan kelak kemudian hari terbunuh oleh kebesaran Hyang Ari” demikianlah kutuk Sang Hyang Sangkara.
Tersebutlah lagi pertempuran Sang Hyang Ari berhadapan dengan si Watugunung, lalu keluarlah api yang amat hebat dari kurma perwujudan Hyang Wisnu, disemburlah si Watugunung, dibelit oleh bajra ditikam dengan cakra. Akhirnya kalahlah sang Watugunung, tembus dadanya. Berkatalah sang Watugunung: ”Ih Hyang Wisnu sekarang matilah aku dengan marahnya lalu mengatakan, aku tidak akan henti-hentinya bermusuhan dengan dirimu, sampai kepada penjelmaanku yang ketujuh aku tidak akan melupakan hal ini."
Hyang Wisnu berkata: ”benar katamu itu, tetapi dimanakah engkau akan menjelma? Katakanlah! Sang Watugunung menjawab aku akan menjelma di Lengka dengan nama Dasasia dan sebaliknya menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana akan menjelma nanti?" Hyang Aribuana menjawab (bersabda): ”Ih Watugunung, kalau demikian katamu aku akan menjelma di Yodyapura; pada maharaja Dasaratha dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!” akhirnya meninggallah sang Watugunung.
Demikianlah diceritakan tentang sang Watugunung yang termuat dalam lontar Medangkamulan lembar 1a – 9b.
Tentang cerita lahirnya Wuku yang pernah termuat dalam majalah Bhagawanagara, disebut pula dipetik dari lontar Medan Kamulan dengan jalan cerita yang agak berbeda seperti di bawah ini.
Tersebutlah setelah istri sang Watugunung keduanya minta permaisuri sang Hyang Wisnu sebagai pembatunya (babu), dengan segera sang Watugunung mengutus sang Warigadian ke Surga, membawa surat ke hadapan Hyang Ari. Setelah surat itu di bawa, Hyang Wisnu amat marah dan segera menantang sang Watugunung untuk bertempur.
Hal itu disampaikan oleh sang Warigadian yang mengakibatkan sang Watugunung menjadi marah, segera memerintahkan memukul kentongan, rakyatnya semua berkumpul lengkap dengan senjata, segera menyerbu ke surga. Terjadilah pertempuran yang sangat dasyat bunuh membunuh antara kedua pihak, sampai Sang Hyang Wisnu merasa tertekan karena serangan dari pasukan Watugunung.
Diceritakan sang Watugunung sedang berada di tempat tidur disertai oleh kedua orang permaisurinya.
Istri sang Watugunung menanyakan kejadian peperangan yang telah terjadi dan juga menanyakan hal tersebut sang Watugunung berkata: ”Janganlah adikku berdua memberitahu kepada orang lain (awywa wera), kesaktianku ini tidak akan dapat dikalahkan oleh para dewa, bhuta, danawa, kala, raksasa, manusia. Namun ada yang dapat mengalahkan, jika ada orang sakti (nara wisesa) berwujud kurma (empas/badawang), berkuku yang kuat itulah yang dapat membunuh diriku”.
Tentang percakapan tersebut didengar oleh Bhagawan Lumanglang yang sedang dalam keadaan berupa laba-laba. Bhagawan Lumanglang segera kembali ke surga, menghadap Dewa Wisnu seraya memberitahukan keadaan Watugunung. Besok paginya sekitar pukul 9 (dawuh tiga), Dewa Wisnu sudah berwujud kurma, berkepala seribu, kuku tanganya sangat panjang dan sangat kuat, segera berangkat untuk bertempur melawan sang Watugunung.
Saat itu adalah Redite Kliwon, peperangan berlangsung sangat sengitnya. Sang Watugunung dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada).
Itulah sebabnya disebut ”Watugunung mati terbunuh oleh Bhatara Wisnu, hari kematiannya ini dinamai ”Candung Watang”.
Besoknya adalah hari Anggara Pahingnya mayatnya ditarik-tarik oleh Sang Lumanglang, sehingga hari itu disebut hari ”paid-paidan”.
Hari Budha Pon datanglah Bhagawan Budha, sang Watugunung dihidupkan kembali, tetapi hanya satu dauh, kemudian dibunuh kembali oleh Batara Wisnu, hari itu disebut Budha Urip.
Hari Wrhaspati datanglah Bhagawan Wrhaspati dengan rasa kasihan benar kepada sang Watugunung, sehingga dihidupkan kembali tetapi sebentar, kemudian dibunuh kembali oleh Hyang Wisnu, hari itu disebut Panetan.
Pada hari sukra Kliwon, Hyang Siwa mengetahui bahwa sang Watugunung mati dan turunlah beliau untuk menghidupkan kembali sang Watugunung, harinya disebut dengan Pangredanan.
Saat itu datanglah Bhatara Wisnu hendak membunuhnya kembali namun dapat dicegah oleh Bhatara Siwa, sabdanya: ”Hai anakku, janganlah hendaknya sang Watugunung dibunuh, biarkanlah untuk hari-hari selanjutnya supaya diingat orang sebagai bahan pertimbangan atau perbandingan.” Maka menjawablah sang Bhatara Wisnu, sabdanya: ”Yang Watugunung amat besar dosanya, mengawini orang yang sudah bersuami dan memperistri ibunya sendiri. Dikemudian hari tidak boleh orang yang sudah bersuami dan memperistri ibunya sendiri”. Bhatara Wisnu pun mengutuk sang Watugunung, sabdanya: ”Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh)."
Jawaban sang Watugunung:
”Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon apabila hamba jatuh di darat hendaknya turun hujan dan bila hamba jatuh di laut supaya hari panas terik, agar hamba tidak kedinginan."
Permohonan sang Watugunung semua dikabulkan serta rakyat sang Watugunung serta pada Dewa yang menjadi korban dalam pertempuran itu dihidupkan kembali. Demikianlah diceritakan kisahnya dalam Mitologi Hindu Dharma, Watugunung menjadi terbawah dan terakhir dari pawukon, yang juga disebutkan Hari Raya Saraswati sebagai perayaan ilmu pengetahuan yang dirayakan pada wuku watugunung.