Pura Jati di tepian Danau Batur diyakini sebagai tempat suci Bhagawanta Dewi Danu yang berstana di Pura Batur. Itu sebab, keberadaan kedua tempat suci ini saling terkait, tidak bisa dipisahkan.
Kawasan Batur, Kintamani menyimpan banyak pura-pura tua yang memiliki sejarah dan makna tersendiri dalam kehidupan agama dan budaya masyarakat Bali. Satu di antaranya adalah Pura Jati. Pura ini terletak di tepian barat daya Danau Batur yang termasuk wilayah Desa Batur Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Dalam buku Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali yang ditulis Ketut Soebandi disebutkan, pura ini tergolong salah satu pura atau kahyangan panyungsungan jagat sebagai tempat memuja dan memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam fungsinya sebagai Bhatara Hyang Gangga. Terutama pada saat memohon air suci Kamandalu sebagai salah satu sarana penting dalam penyelenggaraan suatu upacara keagamaan. Pura Jati ini dibangun oleh Mpu Jayamaireng bersama sanak saudaranya sesuai amanat kawitannya (leluhurnya). Sedangkan Mpu Jayamaireng adalah salah seorang leluhur Warga Pasek Kayu Selem yaitu Kayuselem, Celagi, Tarunyan dan Kayuan. Sedangkan berdasarkan babad Kayu Selem yang ditulis pada Isaka Warsa 1840 oleh Jero Mangku Ulunswi, Desa Tejakula Buleleng, bahwa Pura Jati Batur didirikan oleh Putra Hyang Kamareka yang bernama Mpu Genijaya Kayu Ireng. Di dalam babad tersebut tidak disebutkan siapa yang di-sthana-kan di Pura Jati. Hanya ada sebutan ngelinggihang Ida Bhatara Bujangga Sakti yang dimohon untuk menyelesaikan semua upacara keagamaan untuk umat Hindu saat itu termasuk untuk penduduk Bali Mula. “Pura Jati merupakan pura Bhagawanta dari Pura Ulun Danu Batur,” terang Jero Gede Alitan Pura Ulun Danu Batur.
Perpindahan pura Ulun Danu Batur dari kaki Gunung Batur ke Desa Kalanganyar (sekarang disebut Desa Batur) terjadi pada 1926, saat Gunung Batur meletus dengan dahsyat sehingga Desa Batur yang ada di kaki Gunung Batur rusak, porak poranda, termasuk Pura Ulun Danu Batur juga dilanda lahar Gunung Batur. Ajaibnya, letusan Gunung Batur saat itu tidak mengusik Pura Jati Batur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Pura Ulun Danu Batur. Buktinya, jaba sisi Pura Jati Batur masih merupakan tanah asal yang seperti keadaan sebelum tahun 1926.
Tentang asal mula pembangunan Pura Jati, dalam Babad Pasek Kayuselem antara lain disebutkan sebagai berikut
”mwaah wusing mangkana mwah sira sang Mpu Jayamaireng papareng lan sanak ira sutha potraka kebeh, anangunaken Kahyangan inarahan ”Pura Jati”, maka cihnaning jati, wawangunan ira siniwi dening wang Bali kabeh katattwanya. Wekasanyan hana sahananing kalanya anangun aken karya mahayu Bhatara nuhur tirtha Kamandalu, wenang santanan ira asing werung ring Aji Purana angastawa ngaturana Widhi Widana, ngastawa Bhatara Gangga… dan seterusnya”
Artinya lebih kurang sebagai berikut:"
Dan setelah itu, Mpu Jayaireng bersama sanak keluarganya serta semua anak cucunya membangun sebuah pura bernama ”Pura Jati”sebagai tanda kebenarannya. Bangunan itu menjadi tempat suci sebagai pemujaan orang Bali semuanya. Kemudian apabila orang Bali melakukan upacara yang disebut mahayu Bhatara, harus nuhur tirtha (mohon air suci) ”Kamandalu”. Ini harus dipahami oleh keturunannya yaitu mengenai apa yang disebut Aji Purana, melakukan pemujaan dengan cara menyelenggarakan upacara Widhi Widana dengan memuja Bhatara Gangga. Demikianlah tata caranya dulu dan itulah sebabnya disebut Pura Jati, sebagai pertanda telah menghaturkan pajati."
Dan yang disebut Bhujangga tidak lain ialah Sanak Pitu yaitu Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, Mpu Dangka beserta putra, dan sisyanya semua dipersilahkan melakukan puja. Permulaan upacara pada sasih Kapitu (sekitar Bulan Januari), yaitu upacaranya Butha Yadnya.
Berdasarkan buku ”Pura Jati Batur” yang ditulis Ida Bagus Gede Agung Soetha Wijaya, Pura Jati hanya memiliki dua palingggih pokok yaitu Pesimpangan Bhatari / Dewi Danu dengan pelinggih Meru Tumpang 3 dan pelinggih Bhatara Bhujangga Sakti yang tidak lain adalah pelinggih Ida Bhatara Sakti Dwijendra yang datang ke Bali pada abad ke-15 dari Jawa Timur. Kehadiran pendeta ini dalam rangka menyebarkan ajaran Siwa-Buddha yang dijaga dan dipeluk penganut Hindu di Bali hingga saat ini.
Posisi dua meru pelinggih ini berjejer menghadap ke barat di sisi kanan dan kiri pelinggih utama Padmasana rong 3 yang berdiri di tengah. Pelinggih Bhatari Danu adalah Meru Tumpang tiga yang ada di sebelah utara (atau sebelah kanan Padmasana Rong 3). Sedangkan stana Bhatara Bhujangga Sakti di sebelah selatan (atau di sebelah kiri palinggih Pelinggih Padmasana Rong 3).
Setelah di Pura Jati didirikan pura pemujaan kepada Ida Bhatara Sakti Dwijendra, maka hal ini berlanjut ke desa penyungsung perampian Bhatara Sakti Ulun Danu Batur. Di setiap pura yang disungsung masyarakat perampian Pura Ulun Danu Batur juga didirikan palinggih Bhujangga Sakti yang bervariasi dengan bentuk bangunan suci menyerupai padmasana atau menyerupai aslinya di Pura Jati yang berbentuk Meru Tumpang tiga.
Berdasarkan penuturan Dane Jero Gede Makakalihan Pura Ulun Danu Batur, yaitu Jero Gede Kanginan (Jero Gede Duwuran) dan Jero Gede Kawanan (Jero Gede Alitan), bahwa pralingga Ida Bhatara Sakti Pura Jati berbentuk Padanda lengkap dengan Pawedaan. Ini merupakan bukti dari keyakinan masyarakat Batur bahwa pelinggih Bhatara Sakti di Pura Jati adalah pelinggih Bhatara Sakti Dwijendra yang membawa agama Hindu Siwa-Buddha.
Wali atau Piodalan di Pura Jati Batur tidak menggunakan sistem Panca Wara, Sapta Wara atau Wuku atau sistem pawukon, namun menggunakan sistem sasih (surya-chandra pramana). Piodalan di Pura Jati Batur berlangsung sekali setahun yaitu pada Purnama sasih Kasa pinanggal Ping 13. Piodalan ini cukup unik karena biasanya piodalan dilaksanakan pada Purnama atau Tilem.
Terkait upacara piodalan, jenis sesajen yang dipersembahkan, utamanya saat menyelenggarakan upacara Widhi Widana, berupa suci asoroh, itik hitam jambul yang sudah pernah bertelur, suci yang lengkap, dan ketupat kelanan, ajuman disertai canang, segahan mapang leb, itik hidup warna hitam dan jambul, ayam hitam. Daksina lengkap dengan santun, sesuai dengan tingkatannya yaitu nista, madya dan utama- upacara.
Ukuran tingkatan karya bisa dilihat di antaranya dari jenis uang kepeng yang digunakan. Pada tingkat uatama, uang berjumlah 700, madya 500, nista 425 kepeng. Semua mesti genap, tak hendak dikuranglebihkan. Bila tak sesuai ketentuan, maka persembahan yang dihaturkan tak mencapai tujuannya.