sumber : youtube
========================================================================
Pura Luhur Pucak Petali terletak di Desa Adat Jatiluwih, Penebel, Tabanan. Menurut beberapa catatan sejarah, pura ini dibangun oleh Bhagawan Rsi Canggu bersama Arya Wangbang pada zaman pemerintah Adhipati Samprangan Sri Kresna sekitar saka warsa 1272 atau 1350 masehi. Salah satu sumber yakni Tattwa Maharsi Markandya diuraikan pembangunan pura ini berhubungan dengan kisah Ida Bagus Angker yang merupakan putra dari Rsi Wesnawa Mustika.
Setelah Rsi Mustika wafat di Besakih karena bertapa cukup lama memohon kestabilan negara, Bagus Angker pindah dari Sengguhan Klungkung ke Giri Kusuma. Beliau melakukan yoga samadhi, mempersatukan pikiran sucinya. Tempat beliau beryoga akhirnya dinamakan Gunung Sari, sementara tempat tinggal Ida Bagus Angker dinamakan Jatiluwih, sebab sudah melakukan dwijati dengan bhiseka Ida Bhujangga Rsi Canggu.
Beliau bersama Arya Wangbang dibantu oleh masyarakat sekitar membangun khayangan yang diberi nam Pura Petali. Bhujangga Rsi Canggu sangat tersohor dalam sastra agama, ilmu kebatinan, baik buruknya hari hingga ilmu pengobatan beliau kuasai. Tentu saja keberadaan Pura Petali ini menjadi pusat kegiatan spiritual Rsi Canggu beserta pengikut dan masyarakat di sana saat itu.
Menurut keyakinan masyarakat sekitar Pura Petali sesuai dengan namanya, pura ini merupakan pengikat bumi atau pengikat jagat raya. Jadi pura ini merupakan, pusat produksi gelombang spiritual yang mampu memberikan perlindungan kepada umat manusia dan alam semesta. Awalnya ketika ditemui, pura ini hanya berupa susunan bebatuan berbentuk tugu, terletak di tengah hutan yang berada pada ketinggian ( gunung). Masyarakat sekitar setelah melakukan permohonan kemudian membangun pura di tempat tersebut. Namun berdasarkan petunjuk gaib yang didapatkan, tinggi bangunan pura tidak boleh melebihi batang pohon yang tumbuh juga secara misterius di lokasi tersebut.
Di tempat ditemukannya semacam bangunan tugu yang terbuat dari batu dan direkatkan dengan tanah liat tersebut, kini telah dibangun beberapa pelinggih. Pelinggih tertinggi merupakan gedong tamblingan dengan tumpang lima, sementara gedong berikut kerinan dan gedong simpen. Selain itu, terdapat beberapa piyasan. Pada tanah seluas sekitar 10 hektar ini, lokasi pura tertata dengan indah berupa jaba tandeg, jaba tengah dan jeroan. Di jaba tengah terdapat beberapa pelinggih dan beji.
Desa Adat Jatiluwih sejak turun temurun telah menjadi pengempon dan pura peninggalan zaman kuno. Sementara Puri Tabanan sebagai pengenceng. Piodalan di pura ini jatuh pada Buda Kliwon Ugu. Lima banjar Adat di Desa Adat Jatiluwih yakni Jatiluwih Kawan, Jatiluwih Kanginan, Kasambahan Kaja, Kesambahan Kelod dan Kesambi bahu-membahu dalam penyelenggara upacara yadnya.
Lokasi pura ini masih berdekatan dengan Pura Luhur Maha Warga Bhujangga Waisnawa, namun dengan posisi lebih rendah. Demikian pula kedua pura ini masih terdapat kaitan sejarah. Hanya Pura Luhur Waisnawan kini berstatus kawitan yang disungsung oleh Maha Warga Bhujangga Waisnawan. Sementara Pura Petali menjadi sungsungan jagat.
Pusat Aktivitas Spiritual
Para pendiri pura di Bali telah menyalakan semangat yoga, persatuan dengan Tuhan pada berbagai titik-titik nadi Bali. Sebagaimana halnya Pura Petali yang merupakan pusat dari aktivitas spiritual Rsi Canggu dan segenap pengikutnya. Aktivitas spiritual seperti upacara-upacara agama, tapa yoga samadhi dipusatkan pada zaman itu di pura ini, dengan maksud untuk memohon kerahayuan jagat dan kemurnian hati.
Selain sebagai pusat aktivitas pemujaan, menurut beberapa catatan sejarah, tempat ini juga merupakan pusat pengkajian dan pengajaran sastra agama bagi para pengikut Rsi Canggu dan masyarakat sekitar Jati Luwih. Terlebih mengingat Rsi Canggu merupakan ahli dalam hal pengajaran Weda dan sastra-sastra agama. Tempat ini hendaknya juga dijadikan sebagai tempat pengkajian ajaran Weda di samping pelaksanaan yadnya sesuai dengan petunjuk satra-sastra suci.
Dibangun untuk Kegiatan Asrama
Pura Petali sejak awal memang dirancang untuk kegiatan ashram. Dalam pustaka Bhuwana Tattwa Maharesi Markandeya dinyatakan antara lain,
“Apa sira wus putus, mangke sira Ida Bagus Angker ingaranan Ida Bhagawan Resi Canggu. Ngkana sira Bhagawan Resi Canggu kalawan Arya Wang Bang iniring wang wadwa akweh akarya Parahyangan ngaran Pura Patali.”
Maksudnya :
"Setelah beliau mencapai tingkatan rohani yang lebih tinggi ( wus putus ) sebagai Dwijati, selanjutnya beliau Ida Bagus Angker bergelar Ida Bhagawan Resi Canggu. Demikianlah beliau Bhagawan Resi Canggu bersama dengan Arya Wang Bang diikuti oleh masyarakat banyak mendirikan tempat suci bernama Pura Patali."
Menurut tokoh Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, tradisi guron-guron dalam sistem pendidikan Hindu di Bali bertujuan untuk meningkatkan rohani umat bahkan sampai mencapai status dwijati melalui proses diksa. Setelah berstatus dwijati, proses selanjutnya mendirikan pasraman untuk menuntun masyarakat yang bersedia menjadi murid atau sisya. Lewat proses guron-guron itulah seorang dwijati yang juga disebut Sang Meraga Putus melakukan Panadahan Upadesa artinya menyebarkan pendidikan kerohanian dan menjadi Sang Patirthan. Mengutip Saramuscaya 40, lebih lanjut Ketut Wiana mengatakan, Pasraman itu merupakan tempat umat mohon penyucian, di samping sebagai Sang Satyavadi dan Sang Apta
Lebih lanjut Wiana yang juga dosen di IHD Negeri Denpasar itu mengatakan, pendidikan kerohanian itu bertujuan agar masyrakat dapat hidup mengikuti proses berdasarkan konsep Catur Asrama. Tiap- tiap Asrama memiliki batasan-batasan disiplin hidup tertentu. Pada tahap Brahmacari, prioritas hidup adalah untuk mendalami dharma. Pada tahapan hidup Grhastha priorits hidup untuk mewujudkan Artha dan Kama. Sedangkan dalam tahapan Wanaprastha dan Bhiksuka prioritas hidup adalah untuk mewujudkan tujuan hidup tertinggi yaitu moksha.
Demikianlah beliau melaksanakan konsep itu dengan membangun pasraman. Setelah Ida Bagus Angker meraga putus dengan gelar Bhagawan Resi Canggu, beliau menjadi Adi Guru Loka. Artinya menjadi gurunya masyarakat luas. Bukan semata-mata guru dari warga atau wangsanya saja. Bukan di-diksha sebagai seorang dwijati terlebih dahulu melangsungkan upacara mapamit pada sanak keluarganya. Secara formal beliau tidak lagi menjadi milik keluarga saja. Artinya beliau tidak lagi sebagai ayah, kakek, kakak, adik, dst. Besoknya setelah berstatus dwijati beliau menjadi gurunya masyarakat luas, tentunya termasuk mantan keluarganya.
Itulah sebabnya, menurut Wiana, keberadaan Pura Patali di Desa Jati luwih Kecamatan Penebel ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Pura Resi dan Pura Jati Luwih Kawitan Bujangga Waisnawa tersebut. Dinyatakan pula, putra Ida Bhagawan Resi Waisnawa Canggu, Ida Bhagawan Guru menikah dengan putra Dalem Watu Renggong yang bernama I Dewa Ayu Laksemi. Ini artinya Pura Patali di bangun oleh Ida Bhagawan Canggu pada zaman pemerintah Dalem Watu Renggong yang memerintah Bali tahun 1460-1550 Masehi.
Pelinggih utama di Pura Patali ini adalah berbentuk bebaturan atau terpasang sebagai stana Ida Batara Luhur Pura Patali. Di pura ini terdapat satu benda peninggalan tradisi megalitikum berupa bat persegi yang sisinya tidak beraturan. Peninggalan inilah yang diebut Pejenengan Ida Batara Pucak Patali. Dan proses pendirinya, kita akan melihat bahwa Pura Patali ini merupakan Pasraman Ida Bagus Angker, leluhur wangsa Bujangga Waisnawa. Karena itu tepat sekali kesimpulan peneliti pura dari IHD ( UNHI sekarang ) tahun 1982 yang menyatakan bahwa Pura Patali sebagai Pura Dang Kahyangan, artinya pura sebagai pasraman suci dari rsi.
Di Pura ini terdapat juga berbagai pelinggih pasimpangan seperti meru Tumpang Lima di sudut timur laut oada areal Jeroan Pura Utama Mandala. Meru Tumpang Lima ini sebagai media pemujaan Bhatara Dewi Danu di Danau Tamblingan. Upcara Pujawali di Pura Patali ada;ah setiap emnam bulan wuku, yakini tiap Buda Kliwon Wugu. Dengan adanya pemujaan pada Dewi Danu,berarti Pura Patali di samping sebagai pura pasraman juga sebagai pura untuk memohon keselamatan pertanian dan arti luas.
Dengan adanya pelinggih pesimpangan Ida Bhatara Dewi Danu, di Pura Patali ini umat diingatkan untuk menjaga kelestarian danau sebagai sumber air. Kalau melestarikan danau sebagai sumber air tentunya tidak mungkin tidak melakukan upaya Wana Kerti artinya menjaga kelestarian hutan.
Di luar areal pura, yakni di sebelah utara temnok penyengker pura terdapat pelinggih Beji. Di Pelinggih inilah umat memohon bahab tirtha yang digunakan di pura Patali pada saat ada upacara baik upacara piodalan atau pujawali maupun saat hari raya upacara-upacara keagamaan lainnya.