- Ontang-anting, anak tungal, baik lelaki maupun perempuan.
- Kedana-kedini, dua bersaudara, yang satu lelaki yang satu perempuan.
- Uger-uger, dua bersaudara, lelaki semua.
- Lumunting, anak yang lahir tanpa ari-ari.
- Sendang kapit pancuran, tiga anak yang sulung laki-laki, yang tengah perempuan, dan yang bungsu laki-laki.
- Pancuran kapit sendang, kebalikan dari nomor 5.
- Kembang sepasang, dua perempuan semua.
- Sarimpi, empat orang perempuan semua.
- Pandawa, lima orang lelaki semua.
- Pandawi, lima orang perempuan semua.
- Pandawa ipil-ipil, lima anak, empat perempuan, yang bungsu lelaki, dll.
Om swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Nama. pertama kami ucapkan sinampura majeng ring Hyang Parama Kawi, bhatara bhatari, Ratu Sesuhunan serta Bhatara Hyang Guru dan Leluhur. kami juga ingin ucapkan maaf yang sebesar besarnya apabila tulisan di blog ini mengandung hal hal yang tidak benar dan tidak tepat seperti sumber sumber yang berlaku di masyarakat. Om Tat Pramadat Kesama Swamam. Om Shanti Shanti Shanti Om
MITOLOGI BHUTA KALA
MAKNA AMOR RING ACINTYA
PERJALANAN KE NERAKA
Perjalanan di mulai dari sebuah wilayah yang disebut dengan nama Ayatanastana, “ikang loka pantaraning swarga lawan naraka”, yaitu sebuah wilayah perbatasan diantara surga dan neraka. Ayatanastana adalah sebuah tempat dimana para pitara atau para roh orang yang telah meninggal di periksa dan adili, untuk kemudian dibawa ketempat yang sesuai dengan karmanya. Apakah yang bersangkutan layak mendapatkan kebahagiaan surga atau siksa hukuman neraka. Di tempat ini pula tampak roh atau para pitara yang tengah tergantung, dengan posisi kepala dibawah dan kaki diatas, yang terikat di sebuah batang bambu, yang mana dibawahnya adalah jurang yang sangat dalam. Seekor tikus tampak menggigit dan menggeroti batang bambu tersebut. Hukuman siksa “megantungan petung sawulih” ini dikatakan akibat dari putusnya keturunan yang bersangkutan. Sungguh pemandangan yang sangat mengiris hati.
Dari Ayatanastana, ke arah selatan adalah arah menuju ke neraka. Dari kejauhan tampak wilayah neraka, namun samar-samar, karena begitu jauh dan luasnya. Jalanan yang dilalui untuk menuju ke neraka sangat berbahaya dan menakutkan. Dengan jurang-jurang yang sangat lebar dan dengan kedalaman yang tidak dapat diukur, serta kegelapan yang bagaikan tak pernah putus. Batu-batu besar menggelinding dan meluncur kencang, menimpa, menabrak dan meremukan siapapun yang tak waspada saat melintas. Tampak ada banyak sekali roh-roh yang tidak bisa melewati tempat ini.
Di tengah jalan secara tiba-tiba muncul kobaran api yang membara sangat besar, “apui umurub angarab-arab”, yang menghalangi dan merintangi perjalanan. Begitu panasnya membuat keringat mengucur deras dan kulit mengkerut. Api itu membakar dan menghanguskan siapapun yang berusaha lewat di tempat itu. terdengar jeritan kesakitan para roh yang yang terbakar. Bau hangus dan angit menyeruak di udara tatkala kobaran api tersebut membakar roh-roh yang melewati jalanan tersebut.
Setelah berjalan melewati kobaran api tersebut, tibalah di sebuah wilayah yang luas namun sangat-sangat panas. Debu yang sangat tebal berterbangan, begitu menyesakan dan membuat mata sangat pedih. Wilayah yang sangat-sangat luas ini disebut dengan Tegal Pamasaran. Di wilayah yang luasnya hampir tak terukur ini, tumbuh rumput dan ilalang yang sangat tajam bagaikan pedang. Sangat sulit bahkan tidak mungkin bagi para roh untuk mampu melewatinya. Mereka yang berada dan terjebak disini, kepanasan bagaikan terbakar oleh panas teriknya Matahari. “Lud panas ning Diwakara”. Wilayah ini senantiasa kering kerontang dan panas membara. Ditempat ini para roh, berebut saling mendahului untuk memperoleh tempat berteduh, mereka berteduh diantara bebatuan-bebatuan besar disana. Namun tanpa disangka, tiba-tiba bebatuan tersebut saling tercakup, menjepit para roh yang berteduh di situ. Tubuhnya hancur, darahnya muncrat, otaknya berhamburan keluar. Kemudian tampak para roh tersebut berhamburan, berlarian dikejar oleh “paksi krura rupa”, burung-burung pemakan bangkai yang berwujud sangat mengerikan dan menakutkan. Dengan mulut yang menganga lebar dan bulu-bulu yang sangat tajam setajam keris. Ditempat ini terdapat pepohonan yang berbuah keris, “mawah kadga”, yang sangat tajam. Buah-buahnya yang berupa keris yang tajam berjatuhan menimpa siapapun yang lewat dibawahnya. Sungguh pemandangan yang sangat-sangat mengerikan dan membuat siapapun ketakutan.
Berjalan melewati wilayah ini, ada sebuah aliran sungai. Sungai yang sangat besar dan dalam, dengan airnya yang kotor serta panas mendidih. Sungai ini dipenuhi oleh buaya-buaya yang berkepala raksasa yang menakutkan. “Sarodra mungup tang bajul atendas raksasa”. Dengan mulut yang senantiasa menganga, mengintai untuk menenggelamkan dan memangsa siapapun yang mendekat dan berusaha menyeberanginya.
Disini jalanan sangat licin, karena dipenuhi nanah dan cairan-cairan lemak bangkai yang menjijikan. Tulang belulang berserakan bagaikan kerikil di jalanan. Bau busuk dan bau amis menyebar diudara, menusuk hidung. Lalat berterbangan, ulat belatung, lintah dan berbagai mahkluk neraka yang menjijikan tampak ada disana.
Tempat yang begitu mengerikan dan menakutkan inilah yang disebut neraka, “Yamaniloka”.Tempat kediaman dari Dewa Yama, penguasa kematian. “Sira Bhatara Sang Hyang Yama ngaran ira, sang makawasa wasitwa ngke ring Nirayaloka”. Beliaulah yang berstana dan berkuasa di tempat ini. Di tempat ini, para roh yang semasa hidupnya dipenuhi dengan dosa-dosa memperoleh hukumannya yang setimpal.
Jerit tangis kesakitan dan teriakan minta tolong menggema dari para roh yang sedang menerima hukumannya. Berbagai jenis siksa neraka dapat dilihat disini. Kawah pasir panas tempat para roh bagaikan digoreng, serta berbagai siksa neraka lainnya.
Siapapun tidak akan mampu menolong mereka, para roh tersebut, untuk terbebas dari hukuman neraka tersebut. Namun dengan perbuatan bajik dan doa dari para keluarga dan keturunan mereka, siksa dan penderitaan di neraka akan terasa menjadi lebih ringan. Perbuatan bajik dan doa dari keluarga dan keturunannya, bagaikan rintik-rintik hujan saat panasnya musim kemarau, bagaikan desiran angin sepoi-sepoi saat panas teriknya matahari. Bagaikan setetes air saat dahaga, meskipun setetes namun memberi kelegaan. Meskipun sulit untuk membebaskan para roh tersebut dari siksa hukuman neraka, namun segala perbuatan bajik dan doa-doa keluarga dan keturunannya dapat memberikan sedikit kelegaan bagi mereka atau mungkin bahkan bisa membantu mereka terangkat dari panasnya bara api neraka.
Sehingga, bagi siapapun yang ingin membantu leluhurnya agar terbebas atau teringankan dari siksa neraka serta terangkat dari alam bawah, tidak ada cara lain selain melakukan berbagai perbuatan bajik dan senantiasa mempersembahkan doa-doa yang tulus kepada mereka. Semakin besar kebajikan yang dilakukan oleh keturunan atau Prestisantanannya, serta semakin tulus doa-doa yang dipersembahkan, semakin besar pula kemungkinan para leluhurnya untuk dapat cepat terbebaskan dari siksa hukuman neraka, dan bisa kembali pulang ke Pitralokha atau ke surga
Disarikan dari Adiparwa & Lontar Swargarohanaparwa
Sumber
FILOSOPI TIRTHA
Tirtha (tirta) adalah air suci atau holy water melalui mantra weda yang mampu menumbuhkan perasaan dan atau pikiran suci dari kekotoran fisik dan spiritual, sehingga merupakan simbolis pembersihan Tri Pramana (bayu, sabda, dan idep). Dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu oleh para sulinggih sehingga proses ngarga tirtha yang dihasilkan betul-betul amatlah suci.
Tirta juga disebutkan berasal dari akar kata :
“tr” yang berarti “triyate anena” atau diseberangkan,dengan kata lain orang diseberangkan dari lautan dosa yang dengan jalan tirtha yatra sesungguhnya juga bermakna untuk menyucikan diri dari pengaruh dosa.
Demikian disebutkan tirtha sebagaimana dijelaskan dalam ajaran-ajaran Agama Hindu sesuai dengan adat Bali yang dalam tirthayatra, perjalanan suci atau wisata disebutkan pula bahwa tirtha memiliki pengertian :
Tirtha juga berarti air suci, air kehidupan atau nectar, juga berarti tempat-tempat suci yang ada air sucinya.Disamping itu tirtha juga berati atau memiliki makna sebagai orang-orang suci, karena umumnya orang-orang suci berada ditempat-tempat suci yang ada airnya.
Titha sebagai air suci melalui doa, puja dan mantra weda yang sehabis melaksanakan sembahyang seperti halnya dalam upacara pagedong-gedongan disebutkan dapat diucapkan mantra sebagai berikut :
Dipercikan tiga kali di kepala,
Om Budha pawitra ya namah
Om Dharma maha tirtha ya namah
Om Sanggya maha toya ya namah
Diminum tiga kali,
Om Brahma pawaka ya namah
Om Wisnu amertha ya namah
Om Iswara jnana ya namah
Diraup tiga kali di kepala,
Om Siwa sampurna ya namah
Om Sadhasiwa paripurna ya namah
Om paramasiwa suksma ya namah
Melukat, mantra :
Om Salilam wirnalem toyem, toyem tirthasya bajanam Subhiksa ya samataya, dewanam lisana-sanam.
Makurah, nginum, meraup (sebanyak tiga kali), mantra;
Om Pawitram gangga tirthaya, mahabhuta mahodadi Bajra prani maha tirtham, papasanam kalinadem
Kisah dan jenis tirtha dan manfaatnya oleh seorang pinandita atau sulinggih sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan mewinten diceritakan sebagai berikut :
Dahulu tatkala terjadinya pemutaran mandara giri yang diceritakan dalam lontar adi parwa disebutkan Amrta sebagai air suci kehidupan abadi yang muncul dari dasar Ksirarnawa.Tirta Prascita, sebagai sarana untuk penyucian atau mensucikan bangunan, peralatan elektonik atau kendaraan yang baru dibeli, kemalangan / sebel / cuntakadari seseorang atau biasanya dipergunakan terlebih dahulu sebelum suatu upacara yadnya dimulai atau dipuput oleh Pedande / Pandita seperti yang disebutkan dalam kutipan banten prayascita.
MAKNA UPACARA MEWINTEN
Mewinten atau pawintenan adalah upacara yadnya pewintenan yaitu pembersihan diri secara lahir batin :
Secara lahir, diri dibersihkan atau dimandikan dengan air yang telah disatukan dengan berbagai aneka bunga/kembang;Sedangkan secara batin, memohon kepada Hyang Widhi Tuhan (Yang Maha Esa) agar dapat diberikan penyucian diri, tuntunan dan bimbingan dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat suci seperti kesusilaan, kitab Weda, susastra weda, lalu selanjutnya dapat diamalkan dan dijalankan dalam kehidupan diri sendiri maupun kepada orang lain yang memerlukannya.
Mawinten berasal dari bahasa jawa kuno, mawa arti nya bersinar dan inten arti nya intan (permata) berwarna putih/suci kemilau/bersinar dan mempunyai sifat mulia, bila diuraikan mempunyai pengertian, dengan upacara Mawinten ini orang yang melaksanakannya secara lahir batin akan suci, berkilau dan bersinar bagaikan permata juga dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Umat Hindu di Bali meyakini, wajib hukumnya melaksanakan upacara Mawinten ini yang berguna untuk penyucian diri secara lahir batin dan sarat dengan nilai nilai kerohanian yang tinggi dan mendalam. Upacara Mawinten bisa dilaksanakan oleh siapa saja.
Dalam Mawinten ada 3 tingkatan upacara dan itu tergantung dari keadaan orang yang akan menjalankannya :
Mawinten dengan ayaban pawintenan saraswati sederhana adalah upacara pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan, yang melaksankannya pawintenan ini, yang baru belajar agama, pegawai kantor agama, dll.Mawinten dengan banten ayaban bebangkit upacara medium adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bathara Gana yang berfungsi sebagai pelindung manusia, yang melaksankannya pawintenan ini para tukang, sangging, tukang banten, dll.Mawinten dengan ayaban catur upacara utama adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa : Iswara, Brahma, Mahadewa dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang melaksanakannya pawintenan ini para sulinggih : pemangku, dalang, pendeta, dll.
Pada umumnya pelaksanakan upacara Mawinten ini, di lakukan saat menjelang upacara Penyineban atau hari penutupan Piodalan (ulang tahun pura) yang disebut dengan Nyurud Hayu. Nyurud artinya memohon dan Hayu artinya keselamatan. Jadi nyurud hayu adalah memohon keselamatan Kepada Hyang Widhi Wasa, Bhatara-Bhatari dan Leluhur. Upacara Mawinten ini bisa juga dilaksanakan pada saat bulan purnama, dengan maksud agar pembersihan dan penyucian terhadap dirinya benar benar bersih serta terang benderang dan berkilau seperti sinar bulan purnama
Tempat penyelenggaraan upacara Mawinten ini umumnya di Pura. Prosesi Mewinten untuk Pamangku, biasanya dilaksanakan ditempat dimana mereka akan mengabdikan diri sebagai Pamangku, misalnya di
Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dhang Kahyangan, Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat atau di Sanggah atau Merajan.
Adapun pemimpin upacara Mawinten adalah seorang Pendeta (sulinggih). Di beberapa desa di Bali atau di luar Bali yang tidak mempunyai pendeta, upacara Mawinten dapat dilaksanakan dengan cara memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa yang diantar oleh pamangku senior, dan Mawinten ini disebut Pawintenan ke Widhi.
Proses upacara Mawinten adalah sebagai berikut :
Upacara persiapan: diawali dengan pembersihan lahir seperti menyapu halaman pura, menata dengan baik alat-alat upacara pawintenan sesuai dengan tempatnya, memasang busana perlengkapan untuk palinggih yang akan dipakai menstanakan Tuhan dan manifestasiNya, upacara penyucian palinggih dengan menghaturkan sesajen.
Upacara menstanakan Tuhan dan manifestasiNya, selanjutnya mempersembahkan upakara-upakaranya dengan tujuan mohon agar beliau berkenan menjadi saksi dalam penyelenggaraan upacara pawintenan tersebut, sehingga upacara berjalan tertib, aman dan lancar.
Upacara – upacara yang terkait dengan mewinten adalah :
Upacara melukat yaitu pembersihan diri dari yang akan diwinten dengan sarana air kelapa muda (klungah) yang telah dijadikan Tirtha oleh pendeta/pinandita melalui doa, puja dan mantra weda. Selanjutnya dipercikkan ke ubun-ubun dan badan yang diwinten.Upacara mabyakala bertujuan memberikan pengorbanan suci kepada mahluk halus (bhutakala) agar tidak mengganggu jalannya upacara.Upacara dengan banten prayascita; memohon kekuatan-kekuatan Tuhan/manifestasiNya agar yang diwinten dapat memiliki pandangan yang suci.Upacara pengukuhan (masakapan / pawiwahan, padudusan, marajah) yaitu upacara penetapan sesuai dengan jenis profesi kepamangkuan yang ditekuni, ditandai dengan sarana penyucian asapnya api (dudus) dan menulisi organ tubuh yang diwinten dengan aksara-aksara suci.Upacara mejaya-jaya.Upacara sembahyang, bertujuan mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa mohon tuntunan dan bimbinganNya agar yang diwinten dapat menjalankan kewajibannya sesuai jenis dan tingkatan pawintenannya.
Upacara Mawinten ini juga merupakan salah satu kewajiban setiap umat Hindu dalam upaya mewujudkan kesejahteraan lahir maupun kebahagiaan bathin (jagadhita dan moksa). Mengingat dari pandangan filosofis upacara Mawinten sarat dengan nilai-nilai
kerohanian,etika,moral, danagama yang tinggi dan mendalam.
Dari rangkaian upacara Mawinten yang disebutkan di atas, mempunyai makna sebagai berikut :
Dengan menenangkan diri dan memusatkan pikiran, maka akan dapat lebih terarah untuk mulai mempelajari ilmu pengetahuan.Mengendalikan diri dan menuntun seseorang untuk berpikir, berkata dan berbuat sesuai dengan ajaran dharma.Merupakan tahapan atau jenjang dalam pendakian spiritual.Meningkatkan kebersihan dan kesucian diri pribadi.Pengabdian, pelayanan kepada Hyang Widhi Wasa dan masyarakat
Bagi mereka yang sudah melaksanakan Mawinten diwajibkan melakukan brata, tapa, yoga, semadhi. Makin tinggi tingkat Mawintennya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, semedhi-nya, dan mereka harus rela melepaskan diri dari unsur ke duniawan.
NGELUNGAH, UPACARA UNTUK BAYI YANG MENINGGAL
Ngelungah adalah upacara atiwa – tiwa bagi anak-anak yang berumur di atas tiga bulan dan belum tanggal giginya, bila meninggal dunia maka diaben dengan upacara ngaben Ngelungah ini. Kalau bagi anak yang belum berumur tiga bulan, bila meninggal almarhumhanya dikubur saja. Namun, anak yang berumur diatas tiga bulan dan sudah tanggal giginya almarhum diaben seperti orang dewasa demikian disebutkan ngelungah ini dalam sumber kutipan konsep panca yadnya dan filosofi nilai dalam kelangsungan hidup menurut umat hindu yang tata cara dari ngelungah ini disebutkan sebagai berikut :
Mempermaklumkan ke Pura Dalem, dengan upacara: canang meraka, daksina, ketipat kelanan, telor bekasem dan segehan putih kuning.Memaklumkan ke Mraja Pati dengan upacara: canang, ketupat, daksina dan peras.Mempermaklumkan pada sedahan Setra, dengan upacara: canang meraka dan ketipat kelanan.Permaklumkan pada bangbang rare, dengan upacara : sorohan, pengambian, pengulapan, peras daksina, klungah nyuh yang disurat Omkara.Banten pada roh / atman bayi, seperti: bunga pudak, bangsah pinang, karaseb sari, punjang dan banten bajang.Tirta pangrampuh atau pengrapuh yang dimohon di Pura Dalem dan Mraja Pati. Semua tetandingan banten itu tempatkan di gegunduk bangbang, pemimpin upacara yaitu sulinggih memohon pada bhatara/bhatari agar roh bayi cepat kembali menjadi suci. Bila selesai memercikkan tirta, banten ditimbun dan bangbang diratakan kembali.
Menurut Almarhum Ida Pedanda Gede Made Gunung, jawaban belia tentang upacara bayi meninggal adalah : Dalam agama hindu, upacara untuk bayi meninggal dilakukan berbeda dengan upacara pada orang dewasa yang sudah meninggal. Dalam lontar Yama Tatwa disebutkan bahwa bayi yang sudah lahir namun meninggal sebelum mencapai umur 42 hari, haruslah dikubur pada saat itu juga tanpa memerlukan dewasa khusus. Selanjutnya jika pada orang dewasa yang meninggal dilakukan upacara ngaben, maka pada bayi yang meninggal sebelum usia 42 hari tersebut tidak diaben, hanya melakukan upacara nyapuh gumukan.
Sedangkan jika bayi yang meninggal sudah berusia diatas 42 hari namun belum meketus / tanggal gigi, maka dilakukan upacara Ngelungah. Ngelungah disebut juga Ngasturi yaitu rangkaian upacara ngaben dan memukur yang dijadikan satu kesatuan, sehingga jika sudah ngelungah tidak perlu lagi upacara memukur karena pada saat ngelungah sudah menggunakan don bingin. Jika ada anak kecil yang meninggal dan sudah pernah meketus / tanggal gigi, maka pada anak tersebut dilakukan upacara ngaben dan memukur sama seperti orang dewasa.
Jika ada ibu – ibu yang keguguran dan sudah berupa janin, maka janin tersebut haruslah dikubur pada saat itu juga. Tidak diperbolehkan menginapkan mayat janin atau bayi di rumah. Penguburan tersebut dilakukan tanpa memerlukan dewasa dan tanpa membunyikan kulkul banjar, atau disitilahkan ngemaling dan tidak memerlukan upakara khusus, cukup dengan canang sari saja. Sedangkan bagi orang tua yang bayinya meninggal berlaku cuntaka yang berbeda, untuk sang ibu cuntaka selama 42 hari dan si bapak selama 12 hari.
MAKNA TAPAK DARA
PENUNGGUN KARANG ATAU SEDAHAN KARANG
MAKNA PANCA SEMBAH
2. Sembah kedua menggunakan sarana Bunga, biasanya menggunakan bunga warna putih atau Kuning yang ditujukan kepada Ida Hyang Siwa Raditya. Tujuan dari sembah kedua ini adalah Mohon Penyaksian dari Beliau agar prosesi Sembahyang kita disaksikan dan dituntun secara Niskala oleh Beliau.
3. Sembah ketiga menggunakan sarana Kwangen atau Bunga warna yang ditujukan kepada Manifestasi Hyang Widhi tempat kita sembahyang. Misalnya saat sembahyang di Pura Puseh berarti sembah kita ditujukan Kepada Dewa Wisnu dan Bhatari Sri yang berstana di Pura Puseh. Tujuan dari sembah ketiga ini adalah sebagai sujud bakti kita kepada Manifestasi Tuhan yang berstana di Pura Tersebut atas anugrah dan tuntunan yang telah diberikan kepada kita. Oleh karena itulah sebagai Umat kita harus mengetahui di masing-masing Pura siapa Manifestasi Tuhan yang berstana disana sehingga kita lebih mudah dalam menyebut dan memuja Beliau.
4. Sembah ke empat menggunakan sarana Kwangen atau Bunga, ditujukan kepada Manifestasi Tuhan yang berstana di Pura tempat kita sembahyang untuk memohon anugrah dari Beliau agar masuk ke dalam diri. Pada prosesi inilah kebanyakan Umat belum bisa merasakan dengan betul Anugrah yang Beliau turunkan ke dalam diri karena Pintu Rohani / Cakra dalam diri masih tertutup. Padahal inilah ritual yang sangat penting yang seharusnya dilakukan karena dengan bisa merasakan dan menerima anugrah Tuhan secara langsung maka otomatis diri kita akan mendapat Perlindungan, Kekuatan, dan Tuntunan hidup yang luar biasa dari Tuhan sehingga Hidup kita menjadi lebih mudah dan terbebas dari gangguan orang2 jahat yang ingin menggangu kita dengan kekuatan ilmu hitam. Disinilah perlunya semua Umat untuk membuka Pintu Rohani / Cakra terlebih dahulu agar bisa menerima secara langsung Anugrah Sinar Suci yang diberikan oleh Tuhan saat kita sembahyang.
5. Sembah kelima menggunakan sarana tangan kosong / tanpa sarana yang bertujuan untuk mengucap Syukur dan Terima Kasih atas Tuntunan dan Anugrah yang diberikan saat kita Sembahyang.
Demikian sekilas mengenai makna, fungsi, dan tujuan dari Panca Sembah. Semoga bermanfaat kepada Semeton Mandala Suci serta Umat Hindu Semuanya.
URUTAN PANCA SEMBAH DAN MANTRANYA
Urutan – urutan sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama adalah seperti di bawah ini, dengan catatan apabila dipimpin oleh Sulinggih atau Pinandita maka umat melafalkan mantram/doa di dalam hati.
1) Sembah tanpa bunga (Muyung)
Mantram:
OM ATMA TATTVATMA SODDHA MAM SVAHA
Artinya:
Om Atma atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.
2) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.
Mantram:
OM ADITYASYAPARAM JYOTI
RAKTA TEJO NAMO’STUTE
SVETAPANKAJA MADHYASTHAH
BHASKARAYO NAMO’STUTE
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.
3) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
OM NAMO DEVAYA, ADHISTHANAYA, SARVA VYAPI VAI SIVAYA, PADMASANA EKAPRATISTHAYA, ARDHANARESVARYAI NAMO NAMAH SVAHA
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.
4) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.
Mantram:
OM NUGRAHAKA MANOHARA,
DEVA DATTANUGRAHAKA,
ARCANAM SARVA PUJANAM,
NAMAH SARVANUGRAHAKA,
OM DEVA DEVI MAHASIDDHI,
YAJNANGGA NIRMALATMAKA,
LAKSMI SIDDHISCA DIRGHAYUH
NIRVIGHNA SUKHA VRDDHISCA.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.
5) Sembah tanpa bunga (Muyung).
Mantram:
OM DEVA SUKSMA PARAMACINTYAYA NAMAH SVAHA.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.
6) Metirtha.
Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:
OM PRATAMA SUDHA, DVITYA SUDHA, TRITYA SUDHA, CATURTI SUDHA, PANCAMI SUDHA, SUDHA, SUDHA, SUDHA VARIASTU NAMAH SVAHA.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormat kepada-Mu.
Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:
Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:
OM ANG BRAHMA AMRTHA YA NAMAH
OM UNG WISNU AMRTHA YA NAMAH
OM MANG ISVARA AMRTHA YA NAMAH
Artinya:
Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Mu semoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).
1. Minum Tirtha tiga kali:
OM SARIRA PARIPURNA YA NAMAH,
OM ANG UNG MANG SARIRA SUDHA,
PRAMANTYA YA NAMAH,
OM UNG KSAMA SAMPURANYA NAMAH.
Artinya:
Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur segala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih, terang dan sempurna.
Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:
OM SIVA AMERTHA YA NAMAH,
OM SADHA SIVA AMERTHA YA NAMAH,
OM PARAMA SIVA AMERTHA YA NAMAH.
Artinya:
Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semoga memeberi amrtha pada hamba.
7) Memasang bija:
Bija untuk di dahi:
OM SRIYAM BHAVANTU
(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba).
Bija untuk di bawah tenggorokan:
OM SUKHAM BHAVANTU
(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).
Bija untuk ditelan:
OM PURNAM BHAVANTU
OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SVAHA.
(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).
8) Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:
OM SANTIH, SANTIH, SANTI OM