Om swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Nama. pertama kami ucapkan sinampura majeng ring Hyang Parama Kawi, bhatara bhatari, Ratu Sesuhunan serta Bhatara Hyang Guru dan Leluhur. kami juga ingin ucapkan maaf yang sebesar besarnya apabila tulisan di blog ini mengandung hal hal yang tidak benar dan tidak tepat seperti sumber sumber yang berlaku di masyarakat. Om Tat Pramadat Kesama Swamam. Om Shanti Shanti Shanti Om
Pura Ulun Danu Batur di Songan merupakan salah satu dari Tri Kahyangan Jagat yang ada di Bali. Terletak di hulu Danau Batur (kaja kangin) atau lazim disebut Ulun Danu Batur. Keberadaan Pura ini bisa ditelusuri melalui purana Pura Ulun Danu Batur di Songan.
”MANGKE nemuaken apan manira ngamertaning wong Bali kabeh, tan paran mapinunas mertha ring parhyangan nira ring Hulun Danu, ngawe gemuh ikang rat”.
Itulah tertuang dalam kitab purana Pura Ulun Danu Batur di Songan.
Berdasarkan prakempa pura itu membuat krama Bali berbondong-bondong melakukan yadnya di pura yang berlokasi di bibir timur Danau Batur tersebut. Selain pengempon pura (warga Songan), krama Bali termasuk sejumlah pejabat (bupati) sudah ngayah di Pura Kahyangan Jagat itu sebelum upacara Bhatara Turun Kabeh. Ketua Panitia Pemugaran, I Kadek Ardhi Negara, yang didampingi Dane Jro Gede Ulun Danu, mengatakan Ida Bhatara akan mesineb pada 29 September, tepatnya pada tengah malam. Pujawali dilaksakan setiap purnamaning Sasih Kapat.
Dalam kitab purana, dijelaskan keturunan yang menjadi punggawa di wilayah Bali seperti Klungkung, Karangasem, Gianyar, Payangan, Tampaksiring, Badung, Mengwi, Tabanan, Bangli, Buleleng, wajib menghaturkan Panca Wali Krama pada sasih dan purnama kapat. Berdasarkan kajian purana itu pula, semua kabupaten di Bali melakukan upacara bhakti penganyaran.
Sesuai dengan piteket yang tertuang dalam prasasti dan purana, jika mereka melaksanakan kewajibannya maka kerahayuan, kesejahteraan masyarakat luas, para subak, akan tercapai. Hal itu juga yang disampaikan Bhatara Gnijaya, di mana disebutkan bahwa Bhatara yang berstana di Pura Ulun Danu Batur merupakan sumber dari segala sumber kehidupan di Bali.
Menyimak dari dekat Pura Tri Kahyangan Jagat yang berada di hulunya Danau Batur itu, dalam wewidangan (struktur) pura di sana terbagi dalam tiga halaman yang melambangkan sebagai tri mandala atau triloka yakni jeroan (swah loka), jaba tengah (bwuah loka) dan jabaan (bhur loka). Guna memberikan ruang bagi masyarakat, dan berstananya Dewa dan Dewi Danuh (Bhatari Ulun Danu) dibangun padmasana, meru tumpang sebelas, tumpang sembilan, tumpang tujuh, meru tumpang lima dan tumpang tiga.
Selain meru yang berjejer di dereten utama mandala, di dalam pura juga terdapat bangunan suci berupa pesamuan agung, bangunan mondar- mandir, pepelik, gedong parucui, paruman agung, gedong linggih tribhuana, serta pamuspaan Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Palinggih-palinggih ini juga tertuang dalam petuah yang disampaikan Mpu Kuturan untuk menghormati bhaktinya ke Hyang Dewi Danuh.
Di sebelah selatan atau ulun Danu Batur di Songan juga terdapat pura Segara (petirtaan). Untuk memohon keselamatan. Sejak waktu yang lalu, Umat Hindu yang tersebar di seluruh Bali bahkan sampai ada yang dari Lombok dan Jawa tanggil ke pura tersebut. Banyak petani (kelompok subak) membawa hasil panennya sebagai persembahan atas perairan yang selama ini dianugrahkan oleh Bhatara yang bersthana di Pura Ulun Danu Batur.
”Karena akulah memberikan kerahayuan untuk orang Bali, dengan memohon kerahayuan di bibir timur Danau Batur, dengan demikian akan menemukan kerahayuan, dan kesejahteraan masyarakat serta bumi Bali,” sebut salah satu Prakempa Pura Ulun Danu Batur di Songan.
Pura Batu Bolong didirikan sebagai tempat pemujaan kepada Ida Bhatara Segara dan merupakan salah satu Pura Kayangan Jagat di Bali. Masyarakat Hindu di Bali selalu datang setiap hari ke pura ini untuk melakukan sembahyang memohon berkah dari Ida Bhatara Segara agar diberikan kerahayuan dan kerharmonisan. Selain itu Pura Batu Bolong merupakan tempat penyucian benda-benda sakral milik pura-pura yang ada di Bali seperti pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya. Ritual upacara seperti Melasti, Pekelem, Purnama kapat dan Piodalan selalu diadakan dipura ini.
Pura Batu Bolong terletak kira-kira 50 meter dari bibir pantai Canggu dengan posisi menghadap kearah selatan pulau dan berada di lahan seluas kira-kira 50 are, seperti halnya pura-pura kayangan jagat yang ada di Bali, pura ini juga memiliki Tri Mandala yaitu nistaning mandala (jaba sisi), madianing utama (halaman tengah) dan utamaning mandala (jeroan). Jaba sisi (outer courtyard), merupakan bagian terluar dari suatu kawasan pura. Di tempat ini biasanya ditemukan bangunan seperti dapur atau pewaregan. Kedua, Jaba tengah merupakan bagian tengah dari pura. Pada bagian ini biasanya dibangun Bale Kulkul, Bale kesenian dan tempat pesantian dan rapat (sangkep) para anggota pengempon pura. Ketiga, Jeroan merupakan bagian yang tersuci dari pura. Di Jeroan biasanya dibangun tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa berupa pelinggih-pelinggih seperti Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan Dewa Siwa sebagai pemeralina. Selain itu, ada juga bangunan Padmasana yang digunakan sebagi media pemujaan Tuhan dalam manisfetasinya sebagi Dewa Matahari (Sang Hyang Surya) yang memberikan sinar terang kepada semua mahluk hidup yang ada di dunia ini. Karena kesucian tempat ini maka tempat inilah para pemedek mengadakan persembahyangan dan pemujaan terhadap Tuhan. Jadi jelaslah bahwa kesucian pura tidak diukur berdasarkan radius atau ukuran tertentu tetapi hanya ditentukan oleh konsep Tri Mandala.
Sejarah awal pembangunan Pura Batu Bolong belum diketahui secara pasti, berbagai versi dan cerita terdapat dalam lontar yang ada di Bali yaitu Lontar menurut Empu Kuturan dan Lontar Lokakranti, serta Lontar Tutur Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.
Menurut Lontar Empu Kuturan dan Lontar Lokakranti Pura ini di bangun pada abad XIV, saat Empu Kuturan ikut serta bersama Raja Udayana mengadakan pertemuan di Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar. Dalam perjalanan mengikuti raja Empu Kuturan menemukan batu karang yang berada di sebelah selatan Linggasana (Tabanan) di situ dia melihat orang tua bertapa dengan khidmat. Lalu Empu Kuturan menegurnya. Namun, sang pertapa itu tidak bergeming dari tapanya. Setelah pertapa itu terjaga terjadilah pembicaraan dengan Empu Kuturan, dari hasil pembicaraan tersebut akhirnya tempat ini disepakati berdua diberi nama Parang Bolong.
Sedangkan menurut Lontar Tutur Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh, koleksi I Gede Suci, Pemangku Pura Puseh, Banjar Pipitan Canggu yang terkait dengan Lontar Dwijendra Tatwa, disebutkan bahwa Pura Batu Bolong didirikan tahun 1489 Masehi, abad XV. Ini berkaitan dengan anjangsana Ida Danghyang Dwijendra alias Danghyang Nirartha alias Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh turun ke Bali.
Bagi masyarakat pengempon Pura Batubolong yaitu yang berasal dari Banjar Kayutulang, Banjar Umabuluh, dan Banjar Pipitan, asal usul terbentuknya Pura Batu Bolong ini memang meragukan, karena terdapatnya banyak versi sejarah, dan minimnya peninggalan-peninggalan suci bersejarah lainnya dari Pura ini. Namun walaupun demikian, masyarakat pengempon Pura Batu Bolong percaya, bahwa Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) yang bersemayam di Pura ini akan selalu memberikan kesejahteraan dan keselamatan bagi umat disekitarnya.
Sebagian besar masyarakat sekitar pura bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, ini bisa terlihat dari sawah-sawah yang ada saat menuju kawasan pura sedangkan pada posisi sebelah timur pura akan terlihat perahu perahu para nelayan.
Pura Batu Bolong ini terawat baik, bersih dan asri. Untuk area parkir terdapat disebelah bangunan pura. Karena lokasi pura ini berada dipantai Canggu, bagi wisatawan yang berkunjung ke pura ini dapat juga menyaksikan indahnya panorama alam pantai Canggu yang memiliki panorama yang mempesona.
Pura Puncak Mundi terdiri dari tiga paleban pura yaitu Pura Beji tempat persembahyangan pertama, disusul Pura Krangkeng dan Pura Puncak Mundi yang merupakan stana Ida Bhatara Lingsir.
Bendesa Pangempon Pura Puncak Mundi, I Wayan Sukla mengatakan, pangempon Pura Puncak Mundi terdiri dari 504 kepala keluarga yang tersebar di sebelas banjar adat. Di antaranya Banjar Baledan Duur, Banjar Baledan Beten, Banjar Klumpu Kauh, Banjar Klumpu Kangin, Banjar Angas, Banjar Mentaki, Banjar Rata, Banjar Tiagan, Banjar Bila, Banjar Cubang dan Banjar Iseh.
Dihimpun dari berbagai sumber, Wayan Sukla menceritakan, keberadaan pura-pura di Pulau Nusa Penida, diilhami dari kisah pertemuan antara Bhatara Guru dan Dewi Uma. Dari pertemuan itu, lahirlah seorang putra yang diberi nama Bhatara Kumara. Namun, kelahiran Bhatara Kumara ternyata juga menjadi awal perpecahan antara Bhatara Guru dan Dewi Uma. Soalnya, Bhatara Kumara lebih senang diasuh ayahnya, dan hanya sesekali menghampiri ibunya ketika ingin disusui.
Karena kesal, Dewi Uma menganiaya Bhatara Kumara saat menyusui. Saking marahnya, kedua bola matanya memerah dan taringnya juga keluar. Bhatara Kumara pun dibanting sampai kepalanya pecah dan darahnya diminum Dewi Uma. Ternyata, perlakuan itu diketahui Bhatara Guru. Menyaksikan perilaku sang istri seperti kala, Bhatara Guru pun marah. Beliau mengutuk Dewi Uma agar menjelma ke dunia menjadi manusia.
"Selama menjalani kutukan, Dewi Uma diceritakan sempat tiba di tengah hutan. Di tempat sunyi itu, ada sebatang pohon beringin tinggi besar. Di sanalah beliau menangis, air susunya merembes keluar sampai ke tanah. Di tempat itu kemudian tumbuh pohon pisang raja (gedangsaba). Itulah sebabnya pisang tersebut sangat baik untuk makanan bayi," katanya.
Setelah lama menyesali perbuatannya, timbul keinginan beliau untuk membangun keraton yang tidak berbeda dengan swargaloka. Dewi Uma membangun sebuah asrama di puncak Bukit Mundi dan mendapat gelar Bhatari Rohini. Di asrama itulah, Bhatari Rohini melaksanakan yoga samadhi.
Singkatnya, Bhatara Guru juga tidak tahan mengasuh putranya sendirian. Sebab, Bhatara Kumara terus meminta disusui ibunya. Bhatara Kumara lantas didudukkan di plangkiran untuk menjaga para bayi. Seketika, Bhatara Guru kembali teringat dengan Dewi Uma yang sebelumnya dikutuk dan kini berstana di puncak Bukit Mundi. Bhatara Guru akhirnya memutuskan juga turun ke dunia pada tahun saka 50, tepatnya ke tempat Dewi Uma melaksanakan yoga samadhi di puncak Bukit Mundi. Bhatara Guru menjelma menjadi seorang dukuh atau pandita (rohaniwan) bernama Dukuh Jumpungan dan bertemu dengan Dewi Uma. Daerah ini kemudian diberi nama Nusa Panida, yang berasal dari arti Manusa Pandhita.
Demikian juga Dewi Uma kemudian menjelma menjadi seorang wanita yang bernama Ni Puri sebagai istri Dukuh Jumpungan di dunia dan menetap di Gunung Kila, Pucak Bukit Mundi. Pangempon Pura Puncak Mundi menyebut keduanya dengan nama Ida Bhatara Lingsir. Sesuai waktu yang terus berlalu tibalah saatnya tahun Saka 90, istri Dukuh Jumpungan melahirkan seorang putra bernama I Merja. Keturunan dari I Merja inilah yang diyakini menjadi awal sejarah terbentuknya kesekian pura yang ada di Nusa Penida, yang di awali dengan didirikannya Pura Puncak Mundi.
Sukla menambahkan, pujawali di Pura Puncak Mundi dilaksanakan setiap enam bulan, setiap Budha Umanis Prangbakat. Dudonan piodalan akan diawali dengan sangkepan dan matur piuning pada Anggara Kliwon Wuku Tambir. Kemudian ngemargiang pecaruan, nedunang sesuunan sepisanan ngaturang pengias pada Anggara Kliwon Wuku Prangbakat. Selajutnya, Ida Bhatara katur masucian ke Pura Beji lan ngaturang piodalan pada Budha Umanis Wuku Prangbakat. Setelah piodalan, selanjutnya ngaturang penganyar pada Wrespati Paing Wuku Prangbakat sampai Sukra Pon Wuku Prangbakat
Pura Puncak Mundi merupakan pura penataran Agung dengan bagian-bagiannya (jaba sisi,jaba tengah, dan jeroan). Bila para umat Hindu yang hendak sembahyang / tirta yatra ke Nusa Penida urutan tangkilnya persembahyangan di Pura Puncak Mundi yang pertama kali sebelum ke pura Dalem Peed. Di Pura Puncak Mundi bersthana Ida Bhatara Lingsir, yang mana pura yang satu ini terdiri dari tiga pura pelebahan (pura Beji, pura Krangkeng, dan Pura Puncak Mundi). Pura Beji merupakan tempat persembahyangan pertama sebelum ke pura-pura yang lain, misalnya pura Krangkeng dan Pura Puncak Mundi, lanjut ke Pura Dalem Peed. Di desa Batu Kandik lokasi pura Penataran Agung Puncak Mundi, setiap 210 hari sekali (sesuai pawukon Hindu Bali) piodalan/petoyan di Pura Puncak Mundi yakni pada : Rabu/Buda Umanis Perangbakat.-
Ada banyak goa suci di Bali yang biasanya digunakan sebagai tempat ritual untuk upacara tertentu. Beberapa Goa juga diperuntukkan sebagai pura penting seperti Goa Gajah dan Goa Lawah. Salah satu Goa yang memiliki fungsi demikian bernama Pura Goa Giri Putri di Desa Suana, Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pura Giri Putri ini akan memberikan pengalaman berbeda yang jarang sekali ditemukan di kawasan pariwisata lainnya di Bali.
Sejarah Pura ini diprediksi sejak jaman Neolitikum. Di jaman ini, dikatakan bahwa manusia hidup tanpa norma, perasaan dan bahkan aturan. Mereka selalu hidup sebagai ancaman bagi manusia lainnya, siapa yang lebih kuat, ia akan bertahan di dunia ini. Untuk menyelamatkan nyawa dan berkeluarga, goa ini digunakan sebagai tempat berlindung. Dan kemudian dunia ini semakin besar dan pura ini digunakan sebagai tempat meditasi dan fungsi spiritual.
Kata Giri Putri diberikan kepada goa terbesar di Pulau Nusa Penida berdasarkan beberapa alasan. Kata Giri berarti bukit dan kata Putri berarti wanita. Kata-kata tersebut diberikan berkaitan dengan goa suci ini sebagai pemujaan Siwa dengan manifestasi dewi yang memiliki sifat melindungi, merawat, dan mencintai manusia.
Terkait data geografis yang diberikan oleh Universitas Warmadewa pada tahun 2007, goa ini diperkiraan memiliki panjang sekitar 262 meter dan letaknya sekitar 150 meter diatas permukaan laut. Di dalam goa ini terdapat saluran air, stalagmit, stalagtit, kelelawar dan ular. Ada empat area utama di kawasan goa yang digunakan sebagai area persembahyangan utama. Yang pertama letaknya di depan goa dan tiga lainnya ada di dalam Goa. Sebelum tahun 1990, goa ini hanya digunakan sebagai tempat wisata bagi wisatawan lokal (khususnya pada hari Galungan dan Kuningan). Selain itu, air di dalam Goa digunakan sebagai air suci untuk upacara.
Satu fakta unik tentang Goa ini adalah jalur masukknya sangat kecil. Jalurnya hanya sebesar ember. Bahkan orang dewasa rasanya tak akan mampu masuk ke dalam. Namun, hanya kelihatannya demikian. Saat anda mencoba masuk, maka anda akan dapat melaluinya tanpa mendapat hambatan yang berarti. Terlebih lagi, orang-orang akan terkesima saat masuk ke dalam dan melihat ruangan di dalam goa yang begitu luas dan besar sehingga mampu memuat sekitar 5000 orang.
Pura ini juga memiliki hubungan erat dengan dua pura lain yang juga termasuk pura terbesar di Pulau Nusa Penida. Saat upacara besar berlangsung pada bulan ke sepuluh (berdasarkan perhitungan Kalender Bali) tiap tahun, Upacara Besar juga dilaksanakan di Pura Puncak Mundi dan Pura Dalem Ped. Sehingga, saat orang-orang berkunjung ke Nusa Penida untuk tujuan sembahyang, tiga Pura di atas akan menjadi tujuan utama mereka. Namun, orang-orang biasanya cenderung menginap di Pura Dalem Ped karena hawanya lebih hangat dan fasilitasnya lebih lengkap. Kondisi Goa ini jauh lebih baik dibandingkan di tahun 1990. Di masa lalu, goa ini nampak lebih gelap, dingin dan menakutkan. Namun, sekarang goa ini nampak lebih terang dan terawat dengan baik.
TAHAPAN PERSEMBAHYANGAN DI PURA GIRI PUTRI
Setelah melewati pintu goa yang sempit, pemedek akan merasakan vibrasi yang luar biasa saat memasuki Pura Khayangan Jagat Goa Giri Putri di Nusa Penida, Klungkung, Bali. Pemedek pun tak hanya sembahyang sekali, tapi enam kali. Energi positif akan dirasakan bagi yang memiliki ilmu kebatinan.
Tahapan persembahyangan di Goa Giri Putri dimulai dengan menaiki puluhan anak tangga menuju tempat persembahyangan pertama yakni Pelinggih Ida Hyang Tri Purusa Lan Ganapati, yang merupakan akses satu-satunya untuk memasuki Goa Giri Putri.
Persembahyangan kedua dilaksanakan untuk menghaturkan sembah bhakti di Pelinggih Ida Hyang Wisnu dan Wasuki, serta terdapat pula lingga yoni yang melambangkan stana Dewa Siwa yang letaknya tidak jauh dari pelinggih utama.
Jero Mangku Nyoman Dunia menjelaskan, Dewa Wisnu merupakan Dewa Pemelihara dalam kepercayaan agama Hindu.
Sementara Hyang Naga Basuki salah satu manifestasi Hyang Widhi Wasa dengan sifat penolong, penyelamat, dan pemberkah kemakmuran, diwujudkan dalam bentuk naga bersisik emas berkilauan, penuh pernik mutiara, serta senantiasa berupaya tetap menjaga keseimbangan alam bawah (pertiwi) demi kesejahteraan umat manusia beserta makhluk lainnya.
Setelah itu dilanjutkan melakukan prosesi ketiga, keempat, dan kelima yang letaknya tidak jauh dari tempat persembahyangan kedua.
Ketiga tempat tersebut merupakan Linggih Ida Hyang Dewi Gangga (tempat melukat), Ida Hyang Giri Pati, dan Ida Hyang Giri Putri. Pemedek diharuskan untuk melakukan penglukatan terlebih dahulu sebelum melakukan persembahyangan. Penglukatan tersebut dimaksudkan untuk memohon kepada Dewi Gangga agar secara lahir batin terlepas dari hal-hal negatif. Ketiga tempat ini dapat dikatakan terletak dalam satu kompleks, sebab letaknya berdekatan.
Saat melakukan persembahyangan di Pelinggih Ida Hyang Giri Pati tempat duduk yang disediakan berlapis marmer berwarna putih, sebab pada lantai dasarnya berupa kerikil hias yang selalu basah oleh basuhan air dan tirta yang berlimpah dari tetesan goa. Tidak jarang pemedek juga terkena tetesan dari stalagtit yang aktif menetaskan air dari atap goa. Tampak pula tim kebersihan selalu mengepel lantai putih dari kotoran bekas pijakan kaki pemedek.
Usai melaksanan penglukatan dan persembahyangan di Pelinggih Ida Hyang Giri Pati dilanjutkan melakukan persembahyangan di Linggih Ida Hyang Giri Putri yang letaknya dalam ceruk dinding goa. Untuk menuju ke sana para pemedek harus mengantre untuk menaiki anak tangga. Karena tempat sembahyang yang sempit, pemedek yang berada di bawah harus sabar menunggu pemedek di atas selesai sembahyang.
Anak tangga yang dihiasi patung dua naga pada dinding tangga terkesan megah. Permukaan anak tangga yang licin mengharuskan para pemedek lebih berhati-hati melangkah, tak jarang mereka memegang tubuh naga sebagai bantuan berpijak.
Saat melaksanakan persembahyangan di Linggih Ida Hyang Giri Putri para pemedek saling berhimpit untuk mendapatkan tempat duduk, karena memang tempatnya kecil, udara pun terasa pengap, dan mata terasa perih karena asap dupa. Ada tiga kipas angin yang disediakan untuk menghilangkan rasa pengap tersebut.
Menurut Jero Mangku Dunia persembahyangan di Pelinggih Ida Hyang Giri Putri merupakan pelinggih utama dalam rangkaian persembahyangan di Goa Giri Putri. Terdapat dua pelinggih yang terbuat dari batu paras putih khas Nusa Penida, bersisian dengan mata air dari atap goa yang selalu menetes. Ada juga tempat untuk bersemadi (bertapa) yang berada agak menjorok kedalam sekitar tujuh meter dari pelinggih. Tempat payogan ini dipercaya adalah tempat peraduan Hyang Giri Putri dengan Hyang Giri Pati.
“Air suci atau tirta yang berada di dekat Pelinggih Ida Gyang Giri Putri ini rasanya benar-banar tawar. Inilah tirta yang diyakini memiliki kekuatan. Ada juga tempat untuk bersemadi di sana. Beberapa bulan yang lalu ada yang bersemadi selama 42 hari. Tapi siangnya dia keluar, dia hanya bertapa pada malam hari untuk mendapatkan ketenangan lahir dan batin,” ungkap Jero Mangku Dunia.
Terakhir persembahyangan dilakukan di Pelinggih Ida Hyang Siwa Amerta, Rambut Sedana, Melanting, Ratu Syahbandar, Dewi Kwan Im, Dewa Langit, dan Dewa Bumi. Tempat sembahyang ini dihiasi oleh ornamen yang berwarna merah, seperti naga dari kertas merah, lampion merah, terdapat juga patung dewa-dewi khas China.
Jero Mangku Dunia menceritakan, semua dewa yang melinggih di tempat persembahyangan terakhir, merupakan Dewa Pemurah, Pengasih, Penyayang, Penolong, Kebijaksanaan, serta Dewa-dewi Kemakmuran. Secara Umum ini merupakan konsep Siwa-Budha sebagaimana halnya yang biasa ditemukan di pura besar di Bali. Biasanya banyak yang datang membawa pejati untuk memohon agar usahanya lancar.
“Di sini bisa dikatakan meminta SIM untuk berdagang karena banyak juga yang menghaturkan pejati memohon agar usahanya lancar,” jelasnya sembari tertawa.
Secara garis besar, rentetan persembahyangan di Khayangan Jagat Pura Goa Giri Putri untuk memohon ketenangan dalam diri, serta melatih kesabaran, keuletan, dan kegigihan menghadapi berbagai halangan dalam hidup ini.
Semua itu tertuang saat mengantre di pintu masuk goa, merasakan pengapnya udara di dalam goa, udara panas, saling berdesakan satu sama lain, dan akhirnya melihat sinar matahari dari pintu keluar. Setelah melewati itu semua akan dirasakan kenyamanan dan kehangatan dalam diri.
Jero Mangku Dunia menjelaskan di goa tersebut terdapat getaran-getaran atau vibrasi energi positif yang dirasakan bagi yang memiliki ilmu kebatinan. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi umat untuk selalu datang ke Pura Goa Giri Putri yang melakukan pujawali pada Purnama Kelima (satu tahun sekali).
Dalam mengenali vibrasi tersebut umat juga menyadari akan kekuatan yang ada di luar kekuatan dirinya sehingga terjadi perenungan yang berbuah introspeksi diri untuk melangkah ke jalan yang lebih baik.
Tahapan Persembahyangan di Pura Khayangan Jagat Goa Giri Putri
1. Linggih Ida Hyang Tri Purusan dan Ganapati
2. Linggih Ida Hyang Wisnu dan Wasuki
3. Linggih Ida Hyang Dewi Gangga (tempat melukat)
4. Linggih Ida Hyang Giri Pati
5. Linggih Ida Hyang Giri Putri
6. Linggih Ida Hyang Siwa Amerta, Rambut Sedana, Ratu Mas Manik Melanting, Ratu Syahbandar, Dewi Kwan Im, Dewa Langit dan Dewa Bumi.
Pura Penataran Agung Ped Semburkan Atmosfer Kekuatan Ratu Gede Nusa
Di sebuah desa, persisnya di Desa Ped, Sampalan, Nusa Penida, ada sebuah pura yang sangat terkenal di seluruh pelosok Bali. Pura Penataran Agung Ped nama tempat suci itu. Berada sekitar 50 meter sebelah selatan bibir pantai lautan Selat Nusa. Karena pengaruhnya yang sangat luas yakni seluruh pelosok Bali, Pura Penataran Agung Ped disepakati sebagai Pura Kahyangan Jagat. Pura ini selalu dipadati pemedek untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kerahayuan, dan ketenangan. Hingga saat ini, pura ini sangat terkenal sebagai salah satu objek wisata spiritual yang paling diminati.
Pada awalnya, informasi tentang keberadaan Pura Penataran Agung Ped sangat simpang-siur. Sumber-sumber informasi tentang sejarah pura itu sangat minim, sehingga menimbulkan perdebatan yang lama. Kelompok (Puri Klungkung, Puri Gelgel dan Mangku Rumodja -- Mangku Lingsir) menyebutkan pura itu bernama Pura Penataran Ped. Yang lainnya, khususnya para balian di Bali, menyebut Pura Dalem Ped.
Seorang penekun spiritual dan penulis buku asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma dalam tulisannya tentang Selayang Pandang Pura Ped beranggapan bahwa kedua sebutan dari dua versi yang berbeda itu benar adanya. Menurutnya, yang dimaksudkan adalah Pura Dalem Penataran Ped. Hanya, satu pihak menonjolkan penatarannya. Satu pihak lainnya lebih menonjolkan dalemnya.
Selain itu, beberapa petunjuk yang menyebutkan pura itu pada awalnya bernama Pura Dalem. Dalam buku Sejarah Nusa dan Sejarah Pura Dalem Ped yang ditulis Drs. Wayan Putera Prata menyebutkan Pura Dalem Ped awalnya bernama Pura Dalem Nusa. Penggantian nama itu dilakukan tokoh Puri Klungkung pada zaman I Dewa Agung. Penggantian nama itu setelah Ida Pedanda Abiansemal bersama pepatih dan pengikutnya secara beriringan (mapeed) datang ke Nusa dengan maksud menyaksikan langsung kebenaran informasi atas keberadaan tiga tapel yang sakti di Pura Dalem Nusa.
Saking saktinya, tapel-tapel itu bahkan mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik yang diderita manusia maupun tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya, Ida Pedanda Abiansemal juga sempat kehilangan tiga buah tapel. Ternyata, begitu menyaksikan tiga tapel yang ada di Pura Dalem Nusa itu adalah tiga tapel yang sempat menghilang dari kediamannya. Namun, Ida Pedanda tidak mengambil kembali tapel-tapel itu dengan catatan warga Nusa menjaga dengan baik dan secara terus-menerus melakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Kesaktian tiga tapel itu bukan saja masuk ke telinga Ida Pedanda, tetapi ke seluruh pelosok Bali. Termasuk, warga Subak Sampalan yang saat itu menghadapi serangan hama tanaman seperti tikus, walang sangit dan lainnya. Ketika mendengar kesaktian tiga tapel itu, seorang klian subak diutus untuk menyaksikan tapel tersebut di Pura Dalem Nusa.
Sesampainya di sana, klian subak memohon anugerah agar Subak Sampalan terhindar dari berbagai penyakit yang menyerang tanaman mereka. Permohonan itu terkabul. Tak lama berselang, penyakit tanaman itu pergi jauh dari Subak Sampalan. Hingga akhirnya warga subak bisa menikmati hasil tanaman seperti padi, palawija dan lainnya.
Sesuai kaulnya, warga kemudian menggelar upacara mapeed. Langkah itu diikuti subak-subak lain di sekitar Sampalan. Kabar tentang pelaksanaan upacara mapeed itu terdengar hingga seluruh pelosok Nusa. Sejak saat itulah I Dewa Agung Klungkung mengganti nama Pura Dalem Nusa dengan Pura Dalem Peed (Ped).
Meski demikian, hal itu seolah-olah terbantahkan. Karena seorang tokoh masyarakat Desa Ped, Wayan Sukasta, secara tegas menyatakan bahwa nama sebenarnya dari pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Ped. Terbukti dari kepercayaan warga-warga sekitar saat ini. Walaupun ada yang menyebutkan pura itu dengan sebutan Pura Dalem, yang dimaksud bukanlah Pura Dalem yang merupakan bagian dari Tri Kahyangan (Puseh, Dalem dan Bale Agung). Melainkan Dalem untuk sebutan Raja yang berkuasa di Nusa Penida pada zaman itu. Dalem atau Raja dimaksud adalah penguasa sakti Ratu Gede Nusa atau Ratu Gede Mecaling, katanya.
Ada lima lokasi pura yang bersatu pada areal Pura Penataran Agung Ped. Pura Segara, sebagai tempat berstananya Bhatara Baruna, terletak pada bagian paling utara dekat dengan bibir pantai lautan Selat Nusa. Beberapa meter mengarah ke selatan ada Pura Taman dengan kolam mengitari pelinggih yang ada di dalamnya. Pura ini berfungsi sebagai tempat penyucian.
Mengarah ke baratnya lagi, ada Pura utama yakni Penataran Ratu Gede Mecaling sebagai simbol kesaktian penguasa Nusa pada zamannya. Di sebelah timurnya ada lagi pelebaan Ratu Mas. Terakhir di jaba tengah ada Bale Agung yang merupakan linggih Bhatara-Bhatara pada waktu ngusaba.
Masing-masing pura dilengkapi pelinggih, bale perantenan dan bangunan-bangunan lain sesuai fungsi pura masing-masing. Selain itu, di posisi jaba ada sebuah wantilan yang sudah berbentuk bangunan balai banjar model daerah Badung yang biasa dipergunakan untuk pertunjukan kesenian.
Seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped sudah mengalami perbaikan atau pemugaran. Kecuali benda-benda yang dikeramatkan. Contohnya, dua arca yakni Arca Ratu Gede Mecaling yang ada di Pura Ratu Gede dan Arca Ratu Mas yang ada di Pelebaan Ratu Mas. Kedua arca itu tidak ada yang berani menyentuhnya. Begitu juga bangunan-bangunan keramat lainnya. Kalaupun ada upaya untuk memperbaiki, hal itu dilakukan dengan membuat bangunan serupa di sebelah bangunan yang dikeramatkan tersebut.
Adanya perbaikan-perbaikan yang secara terus-menerus itu, membuat hampir seluruh bangunan yang ada di Pura Penataran Agung Ped terbentuk dengan plesteran-plesteran permanen dari semen dan kapur. Termasuk asagan yang lazimnya terbuat dari bambu yang bersifat darurat, tetapi dibuat permanen dengan plesteran semen. Paling tidak, hal itu telah memunculkan kesan kaku bagi pura yang diempon 18 desa pakraman tersebut. Pengemponnya mulai Desa Kutampi ke barat. Adanya sejumlah bangunan-bangunan pura yang dikeramatkan, berdampak pada lingkungan pura. Atmosfer keramat diyakini sudah tercipta sejak awal keberadaan pura tersebut.
Purusa-Pradana di Pura Dalem Penataran Peed
Ya atmada balada yasya visva
upasate prasisam yasya devah
yasya chaya-amrtam yasya mrtyuh,
kasmani devaya havisa vidhema.
(Rgveda.X.121.2).
Maksudnya:
Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan spiritual (rohani) dan fisikal (jasmani). Semua sinar sucinya yang disebut Deva berfungsi atas kehendak Tuhan. Kasih-Nya adalah keabadian, krodanya adalah kematian. Kami semuanya mengaturkan sembah kepada-Nya.
Pura Dalem Penataran Peed di Nusa Penida itu adalah pura untuk memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa tersebut.
Karena itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Peed untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupun daya fisikal. Karena hanya keseimbangan peran dan fungsi rohani dan jasmani itulah hidup yang harmonis di bumi ini dapat dicapai.
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta unsur Purusa dan Pradana ini divisualkan dalam wujud pemujaan di Pura Dalem Penataran Peed. Visualisasi itu merupakan perpaduan konsepsi Hindu dengan kearipan lokal Bali. Di Pura Dalem Penataran Peed ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan sebagai pelinggih utama di Pura Dalem Penataran Peed. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Bhatara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala simbol kekuatan fisik material berupa ruang dan waktu. Bhuta itu membentuk ruang dan Kala adalah waktu. Waktu timbul karena ada dinamika ruang. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohini dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa -- kompyang dari Dukuh Jumpungan.
Dukuh Jumpungan itu lahir dari pertemuan Bhatara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Bhatara Guru berupa awan kabut yang disebut limun. Karena itu disebut Hyang Kalimunan. Kama Bhatara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah digembleng berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian, dan oleh Hyang Tri Murti terus diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.
Ratu Gede Nusa ini berpenampilan bagaikan Bhatara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan sbb: saat Bhatara di Gunung Agung, Batukaru dan Bhatara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus (1.500) orang halus (wong samar).
Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas wara nugraha Bhatara di Gunung Agung. Bhatara di Gunung Agung memberi wara nugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa brata-nya yang keras. Atas tapa brata itulah Bhatara di Gunung Agung memberi anugrah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan perbuatan baik dan benar sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Di Pura Dalem Penataran Peed ini Ida Bhatara Dalem Penataran Peed dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa berada areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Peed. Pelinggih Dalem Penataran Peed ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Bhatara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Peed. Di Pura Dalem Penataran Peed ini merupakan penyatuan antara pemujaan Bhatara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi.
Dengan demikian Pura Dalem Penataran Peed itu sebagai Pemujaan Siwa Durgha dan Pemujaan Raja disebut Pura Dalem. Sedangkan disebut sebagai Pura Penataran Peed karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi pemujaan Bhatari Uma Durgha. Artinya, Pura Penataran Peed ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi pemujaan Bhatari Uma Durgha.
Di pura inilah bertemunya unsur Purusa dari Bhatara di Gunung Agung dengan Bhatari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur ciptaan Tuhan inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut Rambut Sedhana. Baik sarana hidup untuk memajukan kesejahteraan maupun sarana untuk mempertahankan kesehatan dan menghilangkan berbagai penyakit.
Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Peed ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Bhatari Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan baik dan setepat mungkin. Uang itu sebagai alat untuk mendapatkan berbagai sarana hidup agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menyukseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar mencapai Moksha.
Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyimpanan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Peed ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi Raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung.