Irika wang padukuhan agaga paswahan mwang Panegalan mwang tan lipya aniwi ngkana, kadi Ajaring Bhatara Ajnyacakra, kalawan Kaki mwang Nini Kusumajati, kadyangganing patemwaning Akasa lawan Prethiwi, patemwaning Purusa lawan Pradana. Ri sampun lami lampahing Sang Hyang Kala Tiga amurti ngentering jagat rahina kasidha ning wengi, (Petikan Lontar Dewa Purana Giri Wana).
Maksudnya:
Di sanalah masyarakat desa bermukim membangun pertanian sawah dan ladang serta memuja di Pelinggih (Hyang Kancing Gumi), seperti diajarkan oleh Batara Ajnyacakra, bagaikan pertemuan Kaki dan Nini Kusumajati, seperti pertemuan langit dengan bumi, pertemuan Purusa dan Pradana. Setelah lama proses itu berlangsung, Sang Hyang Kala Tiga Murti melindungi bumi ini siang dan malam.
Di Desa Adat Batu Lantang Desa Sulangai Kecamatan Petang Kabupaten Badung terdapat pura yang diberi nama Pura Kancing Gumi. Kapan pura ini didirikan, belum ditemukan sumber-sumber yang meyakinkan dari sudut pandang ilmu sejarah. Meski demikian, ada sumber yang menguraikan sedikit tentang Pura Kancing Gumi tersebut yaitu Lontar Dewa Purana Giri Wana.
Lontar tersebut menguraikan tentang kasuksman keberadaan pura tersebut. Nampaknya nilai kasuksman tersebutlah yang perlu diungkap untuk menjadi bahan renungan kita dalam memelihara dan mendayagunakan nilai-nilai spiritual yang melatarbelakangi keberadaan pura tersebut. Lontar Dewa Purana Giri Wana menguraikan tentang keberadaan gunung dan bukit-bukit yang ada di Bali.
Uraian lontar tersebut mirip dengan Lontar Tantu Pagelaran yang menceritakan secara mitologi keberadaan gunung-gunung di Jawa sampai ke Bali. Cerita tentang keberadaan gunung dan bukit-bukit dalam Lontar Dewa Purana Giri Wana dijumpai juga dalam beberapa lontar lainnya di Bali. Dalam Lontar Dewa Purana Giri Wana tersebut diceritakan tentang Hyang Gunung Alas sebagai stana Lingga Pasupati. Stana tersebut telah ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang dengan sulur-sulurnya ada yang besar dan ada yang kecil dan telah tertimbun oleh tanah. Suatu hari datanglah masyarakat umum mendirikan padukuhan atau sejenis desa pakraman dengan membuat pondok-pondok dengan dikelilingi oleh telaga.
Masyarakat kemudian merabas sebagian hutan tersebut seperlunya dan juga meratakan tanah yang akan dijadikan sawah ladang. Saat merabas beberapa kayu dan meratakan tanah masyarakat menjumpai batu besar dan tinggi. Dicarilah pangkal batu tersebut. Tetapi tidak bisa dijumpai pangkal batu tersebut. Padahal tingginya sudah mencapai 15 depa. Kemudian batu tersebut diberi nama Sila Mangadeg yang artinya batu berdiri.
Kemudian areal wilayah tersebut diberi nama Batudawa atau Desa Adat Batu Lantang sekarang. Di areal tersebutlah masyarakat bertani dan juga memuja Tuhan di Batudawa tersebut. Batu Lantang tersebut kemudian disebut Pura Kancing Gumi sebagai stana Tuhan dengan sebutan Hyang Gunung Alas. Sepertinya Hyang Gunung Alas itulah sesungguhnya sebagai stana Lingga Pasupati.
Lingga Pasupati itu tiada lain adalah Sang Hyang Siwa yang memiliki tiga wujud (murti) menjadi Brahma, Wisnu dan Iswara atau Rudra. Cerita Batu Lantang ini mirip dengan cerita Linggodbawa dalam cerita di Bali beberapa cerita Purana. Cerita tentang Linggodbawa ini memang ada beberapa versi.Cerita dalam bentuk mitologi itu diceriterakan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu masing-masing mengaku pencipta alam semesta. Sedangkan dari diskusi dua dewa tersebut, tiba-tiba muncullah Lingga yang ujungnya ke atas menembus langit dan ujungnya ke bawah menembus bumi.
Kemudian Dewa Siwa datang terus meminta Dewa Brahma agar mencari ujung Lingga ke atas dan Dewa Wisnu mencari ujung Lingga yang ke bawah. Kedua dewa tersebut tidak berhasil menemui ujung Lingga tersebut terus kembali bertemu dengan Dewa Siwa. Saat itulah Dewa Siwa menjelaskan bahwa beliau bertiga itu adalah manifestasi Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) dengan tugas yang berbeda-beda. Dewa Brahma mencipta (Utpati), Dewa Wisnu sebagai pelindung dan pemelihara (Stithi), sedangkan Dewa Siwa sebagai Pamralina.
Sepertinya mitologi adanya Batu Lantang di Pura Kancing Gumi tersebut mirip dengan cerita Linggodbawa dalam Purana tersebut. Dari penemuan batu panjang yang tidak berhasil dijumpai ujungnya ke bawah itulah mungkin dijadikan dasar untuk menyebutkan tempat pemujaan tersebut sebagai Pura ''Kancing Gumi''.
Masyarakat Bali terkenal dengan sikap hidup yang memadukan nilai-nilai sekala dan nilai niskala untuk membangun hidup yang seimbang. Apalagi dalam kehidupan yang agraris aspek niskala selalu dijadikan pegangan untuk melengkapi upaya-upaya sekala yang dilakukan umat dalam menyelenggarakan kehidupannya sebagai masyarakat agraris.
Membangun kesejahteraan lewat bertani dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sekala, seperti keadaan iklim dan dinamika cuaca yang amat menentukan keberhasilan suatu usaha tani. Aspek niskala dengan melakukan pemujaan pada Tuhan sebagai upaya untuk menjaga keluhuran moral dan menguatkan daya tahan mental dalam menghadapi berbagai persoalan hidup sebagai petani yang lebih banyak tergantung pada keadaan alam. Lebih-lebih pada zaman dahulu teknologi pertanian masih belum semaju sekarang. Dan, pemujaan kepada Tuhan itu mahapenting untuk membangun sikap yang optimis menghadapi hidup.
Demikian juga halnya masyarakat petani di wilayah Pura Kancing Gumi. Pemujaan kepada Tuhan dengan sarana Lingga Yoni oleh para petani di wilayah Batu Lantang tersebut dilakukan lewat simbol Sila Mangadeg yang disebut Batu Lantang itu. Perilaku religi dalam masyarakat petani pada zaman Sekte Siwa Pasupata menggunakan simbol Lingga Yoni sebagai sarana pemujaan pada Tuhan untuk memohon kesejahtraan agraris.
Karena itu Pura Kancing Gumi itulah media umat sekitarnya untuk memohon karunia Tuhan. Dengan memuja Tuhan di Pura Kancing Gumi itu umat merasa mantap melakukan kegiatan-kegiatan sekala menata kehidupannya.
Pura Kancing Gumi, Penjaga Kestabilan Bali
PURA Kancing Gumi sejatinya menjadi salah satu pura yang memegang arti penting dalam bentang kosmologi-spiritual Bali. Seperti namanya, pura ini merupakan kunci yang menentukan kestabilan Pulau Bali bahkan dunia. Karenanya, di kalangan warga Desa Adat Batu Lantang, pura ini diyakini sebagai penekek jagat (penguat atau penjaga stabilitas dunia).
Memang, ihwal kelahiran Pura Kancing Gumi dikaitkan dengan mitos masa-masa awal terjadinya Pulau Bali yang tidak stabil. Sebagaimana ditulis dalam sumber-sumber susastra tradisional seperti lontar atau pun purana, awalnya keadaan Pulau Bali dan Lombok sangatlah labil juga sepi tanpa penghuni. Ibarat perahu tanpa pengemudi, keadaan pulau ini oleng tidak menentu arahnya. Keadaan ini membuat Bhatara Hyang Pasupati kasihan dan ingin menstabilkannya. Kala itu di Bali baru terdapat empat gunung yakni Gunung Lempuyang di timur, Gunung Andakasa di selatan, Gunung Batukaru di barat dan Gunung Beratan di utara. Akhirnya, untuk menstabilkan Pulau Bali, Hyang Pasupati memotong puncak Gunung Semeru di Jawa Timur dan menancapkannya di Pulau Bali dan Lombok. Keadaan Pulau Bali dan Lombok pun stabil. Selanjutnya, dalam Dewa Purana disebutkan, setelah keadaan Pulau Bali stabil, Bhatara Hyang Pasupati menyebarkan amertha berupa lingga-lingga. Sebagai pacek (pancang) gumi Bali ditancapkan sebuah lingga di sebuah pebukitan yang belakangan dikenal dengan nama Batu Lantang. Lingga itulah kemudian dikenal sebagai Hyang Gunung Alas atau Hyang Kancing Gumi. Sumber-sumber sejarah menyebutkan, sebelum dikenal istilah pura di Bali lebih dikenal istilah hyang.
"Di Bali memang disebarkan banyak lingga. Akan tetapi, lingga di Pura Kancing Gumi ini memiliki peranan khusus sebagai panekek jagat," ujar Pemangku Pura Kancing Gumi, Jero Mangku Putu Cinta. Meski begitu, hingga kini masih sulit dilacak kapan sejatinya Pura Kancing Gumi ini didirikan. Hanya saja, berdasarkan penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Denpasar dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali-NTB-NTT-Timtim yang dilaksanakan tahun 1991 menyimpulkan lingga yang berada di areal pura merupakan sebuah menhir. Menhir merupakan bentuk megalitik dari zaman prasejarah yang umumnya difungsikan sebagai tempat pemujaan.
Struktur Pura Kancing Gumi sangatlah sederhana. Areal pura tidak lebih dari empat are dengan dibatasi tembok penyengker. Awalnya, pembatasnya hanyalah ancak saji. Pelinggih atau bangunan suci utama berupa lingga yang berupa patahan batu berjumlah sembilan. Ada juga gedong sari, catu meres, catu mujung, bale peparuman serta padma yang baru didirikan saat pelaksanaan karya agung. Yang agak unik, Pura Kancing Gumi berada dalam satu areal dengan Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Penataran Agung.
Pengempon utama Pura Kancing Gumi yakni sekitar 42 kepala keluarga (KK) dari Desa Adat Batu Lantang. Namun, karena status pura ini kahyangan jagat, setiap kali pujawali, banyak umat dari pelosok Bali berduyun-duyun tangkil ke pura ini.
Secara fungsional, bagi warga Desa Adat Batu Lantang, Pura Kancing Gumi juga menjadi tempat untuk memohon keselamatan bagi yang sakit. Begitu juga binatang piaraan atau pun tetanaman di sawah dan ladang yang diserang hama. Pun, bila terjadi musim keramau yang berkepanjangan, ke pura inilah warga setempat memohon hujan. Sebaliknya juga memohon menolak hujan jika sedang dilaksanakan upacara besar.
Makna Pemujaan Lingga di Pura Kancing Gumi
Dalam Lontar Dewa Purana Giri Wana Hyangning Gunung Alas petikan Desa Adat Batu Lantang dinyatakan bahwa di Pura Kancing Gumi itu adalah Hyang Gunung Alas sebagai stana dari Batara Lingga Pasupati. Para petani yang menemukan pura tersebut merasa sangat yakin bahwa pemukiman yang mereka bangun di sekitar Pura Kancing Gumi sekarang itu sudah merupakan karunia Tuhan. Mengapa masyarakat begitu mempercayai keberadaan batu lantang itu?
Pemujaan Tuhan dengan sarana Lingga Yoni tersebut pada zaman Hindu Siwa Pasupata dengan budaya megalitikumnya untuk memohon kemakmuran pertanian dalam artian luas. Lingga Yoni itu adalah imaginasi spiritual dalam memuja Tuhan untuk membangun keseimbangan Purusa dengan Pradana. Dalam bahasa sekarang keseimbangan hidup lahir batin.
Purusa dalam bahasa Sansekerta berarti jiwa, sedangkan Pradana berarti badan fisik. Dalam simbol sakral Lingga Yoni itu Purusa dilambangkan dengan Lingga dan Pradana dilambangkan dengan Yoni. Dalam ritual keagamaan Hindu Siwa Pasupata, air suci dengan segala sarananya dituangkan di ujung Lingga. Air suci dengan sarana pelengkapnya yang mengalir dari ujung Lingga itu mengalir sampai di Yoninya yang memiliki saluran.
Dari saluran tersebutlah air suci tersebut ditampung dengan sarana yang sakral. Air suci yang ditampung dari saluran Yoni itulah dipercikan ke areal pertanian dengan doa-doa tertentu. Dengan prosesi ritual seperti itu umat Hindu di Bali saat itu amat yakin akan keberhasilan usaha pertaniannya. Prosesi ritual dengan Lingga Yoni itu tentunya tidak berdiri sendiri. Prosesi ritual itu adalah wujud upaya niskala, tentunya upaya-upaya sekala harus dilakukan sesuai dengan norma kehidupan di sekala.
Lingga sebagai lambang Purusa atau Tuhan sebagai Jiwa Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit memiliki bentuk yang unik. Bagian bawahnya berbentuk segi empat yang disebut Brahma Bhaga. Di atasnya berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga. Sedangkan puncaknya berbentuk bulat panjang disebut Siwa Bhaga.
Sarana sakral Lingga Yoni ini adalah wujud budaya spiritual Hindu dari Sampradaya Siwaistis. Hyang Gunung Alas di Pura Kancing Gumi itu disebut Lingga Pasupati. Nama ini adalah sebagai salah satu sebutan Dewa Siwa. Siwa sebagai Sang Hyang Pasupati adalah manifestasi Tuhan untuk dipuja dalam menguasai diri. Istilah Pasupati berasal dari bahasa Sansekerta dari kata ”pasu” dan ”pati”. Pasu artinya hewan dan pati artinya menguasai atau merajai.
Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Pasupati adalah pemujaan untuk dapat menguasai sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Dalam Bhagawad Gita disebut Asuri Sampad yaitu kecenderungan keraksasaan. Sedangkan dalam ajaran Upanisad yang juga direkonstruksi dalam kitab Wrehaspati Tattwa disebut Klesa yaitu lima kekotoran yang ada dalam diri manusia.
Mereka yang mampu menguasai sifat-sifat kebinatangan atau sifat-sifat keraksasaanlah yang akan mudah meraih karunia Tuhan. Alam lingkungan ciptaan Tuhan itu diolah dengan cara-cara yang bijak dan rasional sehingga terjadilah interaksi positif antara manusia dengan alam sebagai sama-sama ciptaan Tuhan.
Dengan demikian manusia hidup sejahtera dengan mengolah isi alam dan alam pun tetap lestari. Karena itu Yoni lambang alam dan Purusa lambang jiwa manusia. Agar terjadi interaksi positif antarmanusia dan alam itu maka olahlah alam sebagaimana Sang Hyang Tri Murti yang disimbolkan oleh Lingga itu menciptakan, memelihara dan mempralina alam dengan segala isinya yang juga ciptaan Tuhan itu.
Hal inilah yang menyebabkan umat yang pedek tangkil ke Pura Kancing Gumi itu mendapatkan paica berupa benang Tri Dhatu dan Bija. Benang Tri Dhatu tersebut berupa tiga helai benang warna merah, hitam dan putih dililit menjadi satu dan digelangkan di tangan umat pemedek. Hal ini melambangkan adanya raksa bandha yaitu untuk menjaga ikatan dengan jalan bakti kepada Sang Hyang Tri Murti.
Ini berarti sebagai suatu janji diri kepada Sang Hyang Tri Murti untuk senantiasa hidup untuk berkreasi menciptakan (utpati) sesuatu yang sepatutnya diciptakan, memelihara (stithi) sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan menghilangkan (pralina) sesuatu yang seyogianya dihilangkan seperti kebiasaan-kebiasaan buruk yang bertentangan dengan dharma dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.
Pemberian bija yaitu campuran beras yang utuh dengan air cendana dan kunyit sebagai lambang untuk menciptakan benih-benih kebenaran dan kebaikan dalam hidup ini agar tumbuh sejahtera, kesehatan dan keseimbangan hidup. Bija Dewanya adalah Sang Hyang Kumara yaitu putra Batara Siwa.
Pemberian benang Tri Dhatu dan Bija itu juga bermakna untuk menumbuhkan tiga ikatan spiritual yaitu Dewa Abhimanam yaitu ikatan spiritual untuk patuh pada arahan Sang Hyang Tri Murti menegakkan ajaran Tri Kona dalam memelihara kehidupan. Dharma Abhimana adalah janji spiritual untuk senantiasa hidup di jalan dharma. Desa Abhimana adalah janji spiritual untuk senantiasa mengabdikan diri pada desa tanah kelahiran sendiri.
Yang juga patut dijadikan bahan renungan adalah isi Lontar Dewa Purana Giri Wana Hyangning Gunung Alas cerita tentang Panca Pandita sebagai putra dari Ida Sang Hyang Gnijaya. Panca Pandita tersebut lahir dari Yoga Panca Bhayu Astawa dari Ida Sang Hyang Gnijaya. Dari yoga tersebut berturut-turut lahirlah lima putra yaitu Sang Brahmana Pandita, Mpu Mahameru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan yang terkecil Mpu Bharadah.
Sang Bhramana Pandita berganti nama menjadi Mpu Geni Jaya setelah kawin dengan Batari Hyang Manik Geni — putri dari Ida Batara Maha Dewa. Karena Gunung Agung meletus maka untuk mengembalikan keadaan agar pulih kembali maka Ida Sang Hyang Geni Jaya menugaskan putra-putranya agar ke Bali untuk menegakkan kembali kehidupan yang wajar dan sejahtera.
Hal ini sesuai dengan penugasan Ida Sang Hyang Parameswara kepada putra-putranya, terutama kepada Sang Hyang Gnijaya sakti agar datang ke Bali untuk kesejahteraan dan keamanan alam dan masyarakat di Pulau Bali. Karena sebelumnya Ida Sang Hyang Parameswara sudah membawa gunung-gunung dan bukit-bukit dari Jambudwipa (India) sebagai tempat beliau melakukan yoga dahulu. Demikian dinyatakan dalam Lontar Dewa Purana Giri Wana Hyangning Gunung Alas yang menguraikan keberadaan Pura Kancing Gumi.