PURA LUHUR PUCAK BUKIT KEMBAR

atas (thn 1969) bawah (thn 2015)
Tersebutlah pada jaman dahulu saka 135 atau tahun 213 Masehi, Sanghyang Pasupati beryoga di Gunung Rajya, setelah yoganya mencapai tingkat kesempurnaan, makanya yoganya dilemparkan ke sebuah sungai yang berbatu, menyebabkan gempa yang sangat dahsyat secara terus menerus, kemudian dari batu yang ada di sungai lahirlah anak kecil kulitnya hitam legam, dan dari riak air yang mendidih lahir pula seorang bayi warna kulitnya putih. Menurut purana peristiwa tersebut terjadi di sungai Limpar dan menurut Kunalini Tattwa sungai Limpar adalah sungai Unda, disanalah bayi itu berdua hidup menikmati keindahan sungai dan semak belukarnya. Saking asyiknya bermain tidak dirasakan menyusup sampai ketengah semak belukar, yang dihuni oleh seekor Lembhu, seraya menyapa: Ya tuanku berdua, siapakah gerangan orang tuamu? Anak kecil itu lalu menjawab, maafkan aku Lembhu, aku tidak tahu dengan bapak dan ibuku, aku tidak tahu dari mana asal usulku, demikian jawabnya. Ki Lembhu akhirnya memberikan penjelasan, bahwasannya tuanku adalah putra Sanghyang Pasupati, tuanku bernama Dalem Kembar (Dalem Ireng dan Dalem Sweta), kisah tentang kelahiran tuanku berdua yaitu tuanku yang lahir dari batu disebut Dhalem Ireng, dan tuanku yang lahir dari buihnya air sungai disebut Dalem Sweta, itulah sebabnya paduka disebut Dalem Ireng dan Dalem Sweta, namun ijinkan saya memberikan nasehat kehadapan paduka berdua bahwasannya paduka berdua tidak seyoyanya memerintah bersama-sama, yang patut memegang tapuk pemerintahan adalah paduka Dalem Ireng, sebab paduka adalah penjelmaan Sanghyang Wisnu sudah sewajarnya memegang pemerintahan, demikian petuah Ki Lembhu. Kedua Dalem itu bertanya, dimanakah seharusnya saya memegang tapuk pemerintahan? Ki Lembhu memberikan penjelasan: sebab paduka lahir dari batu, apabila ada batu berwarna mengkilap saat diterpa sinar matahari, disanalah seharusnya paduka mendirikan pemerintahan, kemudian tempat itu berilah nama Batu Maklep, demikian hatur Ki Lembhu kehadapan Batu Ireng.
Sekarang diceritrakan Dalem Selem bersama Ki Lembhu berjalan menuju arah barat daya, dalam perjalanan Ki Lembu tak henti-hentinya memberikan petunjuk, bahwa pada saatnya nanti sudah sampai pada tujuan ayahnda akan hadir, dan tempat itu berilah nama Taro dan sesungguhnya saya ini adalah Ki Lembhu Nandini, setelah demikian bertutur kata secara kasat mata Ki Lembu tidak tampak lagi dari pandangan.
Setelah matahari tepat berada diatas khatulistiwa (tajeg surya) Dhalem Kembar secara tiba-tiba mendengar suara sayup-sayup(sabda mantra) yang mengisyaratkan: Hai anakku Dhalem Sweta engkau tidak patut memegang pemerintahan, hanya engkau Dhalem Ireng yang seyogyanya memegang pemerintahan. Setelah Dhalem mendengar sabda yang demikian itu, lalu keduanya saling membuat perjanjian dengan berintikan yaitu: sebab aku dan engkau lahir menjadi saudara kembar, semoga tidak pernah berpisah dan semoga dikemudian hari bisa bertemu kembali, demikian perjanjian antara Dhalem Sweta dan Dhalem Ireng. Hal kalian Dhalem Sweta mohon pamit dan melanjutkan perjalanan kea rah barat daya, menelusuri hutan rimba yang lebat, ditengah hutan belantara rasa haus, lapar dan dahaga tidak tertahankan, menyebabkan jasmaninya lemah lunglai tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan, hingga Dhalem Sweta terduduk istirahat, seolah-olah ingat akan pesan Ki Lembhu, bahwa dirinya putra Hyang Pasupati, namun secara tiba-tiba pada tempat istirahat tersebut tersembur air jernih, dengan sigap air tersebut segera diminumnya, sehingga tenaganya pulih kembali.

(ida ratu lingsir)
Karena keluarnya air tersebut dari batu selagi mengenang Sanghyang Pasupati, maka tempat itupun diberi nama Batu Hyang, mulai saat itulah banyak orang-orang Bali menghambakan diri pada Dhalem, lalu Dhalem bersabda: Hai kamu orang-orang Bali, karena kamu bhakti padaku dan karena engkau telah memahami hakekat bhakti kepadaku, maka sepantasnya tempat ini aku beri nama Batu Aji, setelah demikian akhirnya Dhalem melanjutkan perjalanan menuju arah barat, setelah sampai ditempat tujuan, disanalah beliau melepaskan lelah bersenang-senang, kemudian disana beliau mendirikan tempat pemukiman, lalu Dhalem bersabda: Hai kamu para hamba sahajaku sekalian, mulai saat ini tempat ini aku beri nama Antiga, dirasakan tempat itu sangat indah diterangi oleh sinarnya rembulan, yang menyebabkan hati beliau terpesona dengan keindahan alamnya, kemudian nama Antiga diganti oleh beliau menjadi Batu Bulan, kemudian beliau melanjutkan perjalanan menuju barat daya, dalam perjalanan yang sangat melelahkan itu, beliau melihat serumpun bambu yang menjulang tinggi bagaikan menyundul langit, pohon bambu itulalu dikutuk menjadi tempat yang luhur (tinggi), yang dikemudian hari akan terwujud sebuah kahyangan bernama Ulu watu (nama watu disesuaikan dari kelahiran Dhalem berasal dari watu).
Sekarang kembali diceritrakan Dhalem Ireng, karena terlalu lama beliau memimpin pemerintahan, tiba-tiba beliau teringat dengan saudaranya Dhalem Sweta, kata lubuk hatinya, apakah gunanya aku memegang pemerintahan, bila tidak mengetahui keberadaan saudaraku, niscaya kekuasaan tidak ada artinya, demikian kata hati beliau, sehingga hasrat dalam pikirannya memutuskan untuk pergi mencari kakaknya Dhalem Sweta, sehingga beliau menuju arah barat. Tidak diceritrakan dalam perjalanan, akhirnya beliau tiba pada suatu tempat dan bertemu dengan orang-orang desa, lalu Dhalem Ireng bertanya: apakah gerangan nama tempat ini ?, orang desa tersebut menjawab, ya tempat ini bernama Batu Hyang, dulunya atas kutukan Dhalem Sweta, demikian jawaban orang-orang desa tersebut, dimanakah Dhalem Sweta sekarang, demikian pertanyaan Dhalem Ireng, kalau tidak salah Dhalem Sweta berada di Batu Aji, demikian jawabannya.
Setelah mendengar jawaban yang demikian itu, dengan tergesa-gesa pergi menuju desa Batu Aji, dengan harapan dapat bertemu dengannya Dhalem Sweta, entah berapa lama perjalanan beliau, sampailah pada tempat yang dituju, dengan segera beliau lalu bertanya: dimanakah gerangan keberadaan Dhalem Sweta, tuanku kiranya Dhalem Sweta kini berada di desa Batu Bulan, demikian jawaban yang diperolehnya, akhirnya dari desa Batu Aji beliau menuju desa Batu Bulan, namun sayang sekali Dhalem Sweta sudah meninggalkan desa Batu Bulan, dan dari desa Batu Bulan terbetik berita bahwa Dhalem Sweta berada di desa Sakyamuni (sekarang Sakenan), setelah sampai di Sakenan beliau bertemu dengan Ki Dhukuh, lalu bertanya, ya paman Dhukuh, dimanakah gerangan keberadaan Dhalem Sweta?, ya tuanku Dhalem Sweta sekarang berada di desa Jimbaran, demikian jawaban Ki Dhukuh.
(Dasa Muka / Rahwana)
Sekarang diceritrakan Dhalem Ireng dengan segera menuju desa Jimbaran, pada saat yang baik itu beliau bertemu dengan hamba sahaja (dayang) Dhalem Sweta, dimana dayang tersebut sedang mempersiapkan santapan yang akan disuguhkan kepada majikannya Dhalem Sweta, dengan melihat santapan tersebut tiada tertahan nafsunya untuk menikmati, maka dengan lahapnya Dhalem Ireng menyantap hidangan tersebut, terkejutlah si dayang yang bernama Ni Pring Gading, lalu bertanya: siapakah gerangan tuan, hamba tidak mengenal tuan sebelumnya, mengapa tuan berani memakan santapan yang akan kami hidangkan untuk tuan hamba Dhalem Sweta, mendengar kata Ni Pring Gading yang demikian itu, mendadak Dhalem Ireng berhenti menyantapnya, lalu beliau bertanya: Hai dayang dimanakah kini berada Dhalem Sweta, ya tuanku beliau kini berada di tempat pagagan (ladang padi gaga), demikian jawab si dayang.
Dengan segera Dhalem Ireng berjalan menuju tempat pagagan, namun Dhalem Sweta tidak pula dijumpai, sebab Dhalem Sweta sudah kembali menuju desa Jimbaran, dalam perjalanan pulang beliau sempat menyinggahi ladang orang-orang kampung, namun setelah tibanya Dhalem Sweta di istana, dengan sangat hormat dayang Ni Pring Gading humatur, maafkan tuanku Bhatara Dhalem Sweta, ijinkan hamba melaporkan kehadapan duli tuanku, bahwasanya ada seorang yang datang dengan bentuk tubuh besar, tinggi kekar rupanya bagaikan setan, orang tersebut telah berani lancang membuka langsung menyantap santapan tuanku raja, tiada tertahan takut hamba, dan lagi pula orang tersebut menanyakan paduka tuanku raja.
Mendengar hatur si dayang yang demikian itu, sungguh tiada tertahan murkanya Bhatara Dhalem Sweta dan dengan segera kembali lagi ketempat pagagan, hal kian sampailah pada tempat pagagan dan bertemu dengan Dhalem Ireng, karena saking emosionalnya pertempuran kedua belah pihak tidak dapat dihindari, perang tandingpun terjadi, sama-sama bersenjata keris, salik tusuk, namun keduanya tidak ada terlukai karena sama-sama kebal, karena tiada yang terkalahkan, akhirnya kedua belah pihak sama-sama kepayahan, dalam pada itu beliau berdua saling tegur sapa, Siapakah gerangan anda, aku bernama Dhalem Ireng, aku Dhalem Sweta, setelah bertegur sapa, barulah menyadari tentang asal usul dan pesan Ki Lembhu Sanghyang Pasupati yang masing-masing membawa senjata yaitu: Dhalem Sweta bersenjatakan Keris Kala Katenggeng, dan Dhalem Ireng bersenjatakan Keris Miring Agung, barulah beliau menyadari bahwa yang diajak perang tanding adalah saudaranya sendiri, sehingga suasana berubah dari tegang menjadi terharu, sama-sama meceritrakan pengalaman masing-masing. Akhirnya Dhalem Ireng berkata kepada kakaknya Dhalem Sweta. Ya kakakku Dhalem Sweta, banyak sekali kakanda memberikan nama desa dan yang terakhir kanda berada di desa Jimbaran, sudah seyogyanya kanda disebut Dhalem Putih Jimbaran, sekarang ijinkanlah saya mohon pamit, sayapun juga berniat memberikan nama suatu tempat atau desa yang bercirikan watu, yang merupakan ciri bahwa aku pernah melintasi daerah tersebut. Dan ijinkan adinda menuju kearah utara, kalau demikian baiklah, namun kanda mohon tempat kita berperang tadi kita namakan Bukit Kali.
Kini diceritrakan Dhalem Ireng berjalan menuju kearah utara, setelah lama berjalan, lalu beliau menjumpai areal kebun kelapa, namun tiba-tiba air lautan menyemburkan gelombang, menyebabkan hatinya sangat marah. Dhalem Ireng, lalu tempat itu dikutuk diberi nama Seseh, dari Seseh beliau melihat kearah timur, terlihat warna tanah yang putih, tanah itu diungsikan oleh beliau, sampailah beliau pada tanah yang berwarna putih dan beliau terkejut pada saat menginjakkan kakinya pada sebuah batu, tiba-tiba batu tersebut berlobang, sehingga tempat itu beliau kutuk bernama Batu Nyorong atau Batu Bolong, dari Batu Bolong Dhalem Ireng lagi melanjutkan perjalanan menuju kearah timur, dalam perjalanan beliau melalui batu yang licin sehingga kakinya terpeleset ke dalam air, dengan segera pula memberikan kutukan, bahwa pada tempat beliau terjatuh diberi nama Batu Belig, dari Batu Belig lagi beliau melanjutkan perjalanan kearah timur, ditengah perjalanan yang melelahkan tiba-tiba beliau terjatuh terkulai (ulung=Bhs. Bali). Maka tempat itu diberi nama Batu Tulung.
Dari Batu Tulung beliau menempuh perjalanan yang cukup jauh sehingga rasa haus dan dahaga tiada tertahankan, akhirnya beliau memuja kebesaran Tuhan memohon karunianya, seketika itu tersemburlah air, lalu diminumnya, sehingga rasa haus dan dahaganya hilang, maka tempat itu diberi nama Batu Bedak (sekarang lebih dikenal Batu Bidak). Sekarang dikisahkan beliau Dhalem Ireng dari Batu Bedak melanjutkan perjalanan menuju ke utara dan sampailah beliau di wilayah Bukit Asah, dari ketinggian bukit itu melihat jurang yang dalam melihat dari mata batinnya.
Tempat itu sangat religius, disanalah beliau beryoga semadi, dalam alam yoganya muncullah Dhalem Bali, Panca Wisnu, Panca Dewata, lalu terdengar sabdha mantra yang sayup-sayup bunyinya:
Hai, anakku Dhalem Ireng, aku ini adalah ayahmu Sanghyang Pasupati, aku juga disebut Sanghyang Lingga Bhuwana, ayahndamu ini berstana di Pucak Candi Purusada, tempat ini aku beri nama Batu Pucak Kembar, semoga sepanjang jaman menjadi kahyangan, sebagai sarana umat manusia menghaturkan rasa syukur dan bhaktinya melakoni kehidupannya. Hai, anakku Dhalem Ireng aku juga berkahyangan di Gunung Agung (Tohlangkir). Apabila aku berkahyangan di Gunung Watukaru, aku disebut Hyang Jaya Netra, apabila aku berkahyangan di Bukit Jati aku disebut Hyang Siwa Pasupati, bila aku berkahyangan di Gunung Trate Bang (trate= tunjung) dan (Bang=merah), maka aku disebut Hyang Besa Warna, apabila aku berstana di Gunung Bratan aku disebut Hyang Danawa, demikianlah agar kamu mengingat selalu, lalu Dhalem Ireng bertanya: Maafkan paduka Bhatara, apakah sebabnya tempat ini disebut Batu Pucak Kembar? Demikian pertanyaan Dalem Ireng, kemudian dijawab oleh Paduka Hyang Lingga Bhuwana, yang berstana di Pucak Candi Purusada yang berlokasi di desa Kapal, hai anakku Dhalem Ireng, karena engkau dilahirkan kembar, disini telah terwujud suatu bukti saksi dua buah batu, itulah sebabnya dinamakan Batu Pucak Kembar (batu tersebut kini berada di Taman Cakra. Pent).
Demikian konon sabdha Sanghyang Pasupati kepada anaknya Bhatara Dhalem Ireng, pada saat itu menunjukkan tahun saka 322 atau tahun 400 Masehi, mulainya keberadaan Batu Pucak Kembar atas wara nugraha Sanghyang Lingga Bhuwana/Hyang Pasupati kepada Dhalem Ireng, pada saat itu kembali Sanghyang Pasupati memberikan titah kepada anaknya Dhalem Ireng, anakku Dhalem Ireng, berangkatlah dengan segera ke Bukit Uluwatu, setelah kamu sampai disana berkemaslah untuk menyatukan pikiran dengan sarana beryoga semadhi, biar kamu cepat menyatu kehadapan Sang Pencipta, setelah mendengar petunjuk Sanghyang Pasupati yang demikian itu, lalu beliau bergegas pergi menuju Bukit Uluwatu, disana Dhalem Ireng berkonsentrasi menyatukan bayu sabdha idhep dengan yoga semadhi, tiada diceritakan yoganya berhasil, akhirnya Dhalem Ireng moksah menyatu kehadapan Sanghyang Acintya, Demikian Purana Batu Pucak Kembar, keberadaanya di Bukit Asah.
Purana Pura Luhur Pucak Kembar disalin dan diterjemahkan oleh I Ketut Sudarsana dan I Gusti Ngurah Oka Anom, Desa Adat Pacung, Baturiti, Tabanan.